Jumat, 26 Maret 2010

Kritik Sastra Roman Atheis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

“Sastra”, istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sesuatu yang dahulu kita anggap sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan puisi dan prosa ternyata tidak sesederhana itu. Kita harus banyak menggali dan mempelajarai lebih banyak lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra tersebut. Sastra tersebut dapat diibaratkan dengan samudra yang sangat luas, yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat mengukur kedalamannya dan memanfaatkan kekayaannya.

Sastra sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara objektif (Gunatama, 2005:8). Hal ini mengembalikan definisi sastra kepada cara bagaimana seseorang memilih untuk membaca, bukan kepada sifat-sifat karya tertulis tersebut. Apakah benar bahwa sebagian besar karya-karya yang dikaji sebagai sastra di pusat-pusat kajian akademik diciptakan untuk dibaca sebagai sastra? Banyak yang sebenarnya tidak dibuat demikian. Sebuah karya mungkin bermula sebagai sejarah atau falsafah dan setelah itu digolongkan sebagai sastra. Atau, karya itu mungkin bermula sebagai sastra kemudian berfungsi lain karena disanjung nilai psikologisnya. Yang penting adalah bukan asal-usulnya, tetapi bagaimana karya itu diperlukan manusia. Jika mereka memutuskan itu sastra, jadilah karya itu sebagai sebuah karya sastra.

Dalam ilmu sastra terdapat berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah Kritik Sastra. Seperti yang dikutip Seloka Sudiara (2005) dalam buku Kritik Sastra karya Andre Hardjana pengertian kritik sastra adalah sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik, yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Dijelaskannya lebih lanjut bahwa kata pembaca dalam definisi singkat itu digunakan dengan senagaja untuk menunjukkan bahwa kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa dan dengan sendirinya melekat dalam pengalaman sastra. Seorang pembaca sastra dapat membuat kritik sastra yang baik, apabila betul-betul berminat kepada sastra, terlatih kepekaan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi dalam menunjukkan kerelaan jiwa untuk menyelami dunia karya sastra.

Di Indonesia, istilah maupun pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan memperoleh pendidikan dari atau di negara Barat, yakni sekitar awal abad kedua puluh. Kendatipun demikian, dalam sejarah kehidupan kesusastraan di Nusantara ini, penilaian dan penghukuman terhadap sastrawan dan karyanya bukan tidak pernah terjadi sebelumnya.

Menurut Vincil C. Coulter dalam buku Reading in Language and Literature (Seloka Sudiara, 2005:22) mengemukakan beberapa prinsip kritik sastra. Salah satu prinsipnya yaitu sastra adalah suatu cara atau mode berpikir yang universal. Prinsip ini didasari atas pertimbangan bahwa dalam sastra terungkap ciri-ciri karakteristik manusia dalam segala zaman dan segala tingkat perkembangannya. Artinya, apabila kita mengkritik haruslah bertumpu atau menggunakan kacamata zamannya (pada saat kapan dan di mana karya sastra itu dibuat).

Membaca sebuah karya sastra, dalam hal ini cerita fiksi, pada hakikatnya merupakan kegiatan apresiansi sastra secara langsung. Maksudnya adalah : kegiatan memahami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis yang baik terhadap karya sastra tersebut ( Aminudin, 19953 : 35 ). Sastra, atau kesusastraan, menurut Swingewood (dalam Faruk, 1994:39), merupakan suatu rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian dimunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang bersifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan amanat tertentu. Al-nasr atau prosa adalah karya sastra yang menggambarkan pikiran dan perasaan namun tidak terikat pada aturan bait dan rima (Syayib, 1964:328).

Roman sebagai salah satu hasil dari karya sastra memang sangat menarik untuk diteliti dan diketahui lebih dalam lagi mengenai karya tersebut. Roman berasal dari kata “roman” yang artinya adalah cerita dalam bahasa Romawi. Roman dalam kaitannya dengan sastra berarti cerita yang ditulis dalam bentuk prosa, menceritakan tentang kehidupan manusia secara lahir maupun bathin. Roman memiliki keunikan tersendiri dengan karya sastra yang lain. Namun, dewasa ini roman dan novel sering tidak dihiraukan perbedaanya. Bahkan pembaca sering tidak menghiraukan perbedaan yang ada antara roman dan novel yang ada. Mereka lebih tertarik terhadap isi dari buku yang dibacanya. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya kemajuan dan kreatifitas sastrawan dalam menghasilkan karya-karyanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis bermaksud untuk mencari nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja. Dalam mencari nilai-nilai tersebut penulis menggunakan pendekatan mimesis, objektif, sosiologis, psikologis, ekspresis, dan pendekatan moral.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja?

2. Bagaimanakah tema, setting (latar), penokohan, alur, dan gaya bahasa yang terdapat dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja?

3. Bagaimanakah kelemahan dan keunggulan Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja.

2. Untuk mengetahui tema, setting (latar), penokohan, alur, dan gaya bahasa yang terdapat dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja.

3. Untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja.

1.4 MANFAAT PENULISAN

Dalam menganalisis sebuah karya sastra khususnya roman secara tidak langsung, kita dapat memahami unsur-unsur yang mendukung sebuah karya sastra tersebut. Misalnya unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Selain itu, dengan menerapkan teori Robert Stanton kita mampu menelaah sebuah karya sastra khususnya roman. Dengan mampu menelaah roman, kita akan mampu dengan mudah memahami sebuah karya sastra. Kita tidak hanya mengetahui jalan ceritanya saja, tetapi juga unsure-unsur yang mendukungnya.

Selain itu, kita sebagai calon pendidik akan mampu mengimplementasikan hasil dari telaah terhadap Roman ATHEIS sebagai bahan pembelajaran. Kita tidak hanya mampu memberikan teori tetap[I penerapan langsung terhadap anak didik. Tidak hanya itu, hasil dari analisis ini juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk tugas penelitian.

1.5 METODE PENULISAN

Dalm penulisan makalah ini digunakan metode kajian pustaka. Kajian pustaka adalah metode yang digunakan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan makalah ini. Bahan tersebut berupa buku-buku yang dijadikan sebagai referensi dalam penulisa. Dengan buku-buku tersebut kita kemudian melakukan pembahasan.

BAB II

LANDASAN TEORI

Roman sebagai salah satu hasil karya sastra sangat menarik untuk kita ketahui dan pelajari. Di dalam roman kita akan menemukan beberapa unsur yang membentuknya. Kita mengetahui bersama bahwa setiap karya sastra selalu ada unsur yang membangunnya. Unsur-unsur tersebut bersatu padu sehingga menghasilkan gabungan yang membentuk karya sastra.

Untuk menganalisis roman ATHEIS karya Achdiat K. Miharjda, penulis menggunakan beberapa teori yang relevan.

2.1 Pengertian Pendidikan

Beberapa konsep tentang pendidikan telah dirangkum oleh Freeman Butt (dalam Martha, 2005:51). Konsep tersebut dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul “Sejarah Pendidikan Barat sesuai Kultur/Budaya” seperti disajikan berikut ini.

* Pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi lainnya.

* Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini manusia diajarkan kesetiaan dan kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatih dan dikembangkan ke arah itu.

* Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses individu dibantu mengembangkan kemampuan, bakat, dan minatnya.

* Pendidikan adalah rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman yang akan menambah arti dan kesanggupan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya.

* Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini, seseorang menyesuaikan diri terhadap kehidupan modern. Dengan demikian ia dapat mempersiapkan diri ke kehidupan yang lebih modern.

2.2 Pengertian Pedagogi dan Andragogi

Istilah pedagogi berasal dari bahasa Yunani, yakni paid yang berarti `anak` dan agogos yang berarti `memimpin` atau `membimbing`. Secara khusus, selanjutnya pedagogi diartikan sebagai suatu ilmu dan seni dalam mengajar anak-anak. Perkembangan selanjutnya, istilah pedagogi tersebut berubah artinya menjadi ilmu seni dan mengajar.

Andragogi berasal dari bahasa Yunani, yakni kata andr yang berarti `orang dewasa` dan agogos yang berarti `memimpin` atau `membimbing`. Dari situ kemudian dirumuskan bahwa, andragogi adalah ilmu seni dalam membantu orang dewasa belajar. Andragogi memiliki asumsi yang berbeda dengan pedagogi dalam memandang dan melaksanakan praktek pendidikan.

2.3 Pengertian Sastra

Ada beberapa pengertian tentang sastra berikut ini.

1) Pengertian sastra dalam Eagleton, Terry. 1983 (Literary Theory and Introduction) adalah sebagai berikut.

* Sastra adalah tulisan yang bersifat imajinatif.

* Perbedaan antara “fakta” dan “cerita” tidak terlalu bermanfaat sebab perbedaan itu sendiri meragukan.

* Sastra, mungkin dapat didefinisikan bukan karena sifatnya sebagai cerita atau sesuatu yang imajinatif, tetapi karena penggunaan bahasanya secara khusus.

2) Para formalis melihat bahwa sastra merupakan kumpulan penyimpangan bahasa dari kebiasaan. Bahasa sastra adalah bahasa yang khas. Pada pandangan formalis sifat sastra adalah fungsi hubungan yang berbeda antara satu jenis wacana dengan jenis yang lain.

3) Sastra sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara objektif. Hal ini mengembalikan definisi sastra kepada cara bagaimana seseorang memilih untuk membaca bukan kepada sifat-sifat karya yang tertulis itu.

4) Secara ontologis, sastra adalah karya ciptaan atau fiksi yang bersifat imajinatif, atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hak-hak lain atau sastra adalah teks-teks yang bahasanya dimanipulasi atau disulap oleh pengarangnya sehingga menghasilkan efek asing.

2.4 Ukuran

Di samping menggunakan beberapa teori, dalam mengkritisi penulis juga menggunakan beberapa ukuran. Ukuran tersebut adalah sebagai berikut.

1. Ukuran kebenaran

Ukuran kebenaran (truth) merupakan bentuk ukuran lain yang sering digunakan. Seorang penelaah, sewaktu membaca suatu karya sastra, mempertanyakan apakah yang diungkapkan pengarang itu mempunyai hubungan dengan kebenaran yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra yang dikatakan memiliki ukuran kebenaran adalah karya sastra yang mampu membayangkan atau mencerminkan kehidupan atau peristiwa kehidupan yang ada.

2. Ukuran didaktik

Ukuran lain yang lazim dipakai dalam melakukan kritik sastra adalah ukuran didaktik. Dengan ukuran didaktik orang menentukan keberhasilan suatu karya sastra berdasarkan kebolehan karya itu memberikan pengaruh positif, yang menyampaikan pesan pembinaan moral dan kepribadian, serta meningkatkan kecerdasan pembacanya.

2.5 Pendekatan Dalam Kritik Sastra

Kritik sastra pernah dikotak-kotakan dengan berbagai cara menurut sifat, tujuan, sejarah, atau lingkungan social geografis tertentu. Hal tersebut memperhatikan bagaimana para kritikus dan para ilmuan sastra encoba mendekati sastra melalui berbagai jalan dan ikhtiar. Namun, tidaklah semua pendekatan itu bersifat mutlak dan berdiri sendiri; yang salah satu dengan yang lainnya saling berhubungan.

1. Pendkatan mimesis

Pendekatan ini berangkat dri pemikiran bahwa sastra, sebagaimana hasil seni yang lain, merupakan pencerinan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakn tiruan atau pemaduan antara kenyataan dan imajinasi pengarang. Bisa juga dikatakan bahwa sastra merupakan hasil hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan. Menurut ri toteles, istilah mimesis mempunyai makna yang lebih tinggi dari sekedar kenyataan. Istilah tersebut mengandung makna kebenaran yag lebih umum, kebenaran yang universal, bukan sekadar kenyataan seperti apa adanya.

Pendekatan ini lama sekali memengaruhi kehidupan kritik sastra di Eropa. Bahkan di Rusia (zaman komunis), pendekatan ini menjadi ajaran atau doktrin resmi. Mereka hanya dapat mengakui sastra yang mengemukakan realism sosialis. Pendekatan ini juga diterima di republik rakyat china (RRC) dengan sekadar variasi. Mereka menyebutnya secara eksplisit sebagai gabungan realism revolusioner dengan romantisme revolusioner. Di Indonesia pendekatan ini diawali oleh lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) sebuah organ partai komunis Indonesia (PKI), pada permulaan tahun lima puluhan sampai 1965.

2. Pendekatan objektif (struktural)

Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dngan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu.

Penelaahan sastra melalui pendekatan struktural ini menjadi anutan para kritikus aliran struktualisme, yang di Indonesia tercermin pada kritikus kelompok atau aliran rawamangun.

3. Pendekatan sosiologis (the sociological approch)

Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu, telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus pada atau lebih banyak memperhatikan aspek-aspek sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan (Saini, 1989; Sumardjo, 1989; Haridas, 1986; Soekito, 1989).

4. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra.

Adakalanya pembahas sastra yang menganut aliran psikologi selain mencoba menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya, juga menggunakan pengetahuannya tentang persoalan-persoalan dan lingkungan psikologis untuk menafsirkan suatu karya sastra tanpa menghubungkan dengan biografi pengarangnya. Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokohnya dalam sebuah roman atau drama dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuaan psikologi.

5. Pendekatan ekspresif

Pendekatan ini menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau (terutama) penyair dalam mengekpresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran keberhasilan sebuah karya sastra. Yang menjadi ranah garapan para pengkritik adalah ranah kejiwaan pengarang.

6. Pendekatan moral

Pendekatan ini berangkat dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebut.

BAB III

SINOPSIS CERITA ROMAN ATHEIS

Judul : ATHEIS

Pengarang : Achadiat K. Mihardja

Penerbit : Balai Pustaka

Kota Terbit : Jakarta

Cetakan ke : kedua puluh lima

Tahun Terbit : 2002

Jumlah halaman : 232 halaman

Ringkasan Cerita :

Sebelum Hasan pindah ke Bandung, untuk meneruskan sekolahnya, di Mulo dia adalah seorang pemuda yang sangat taat terhadap agama. Hal ini memang sesuai dengan keadaan di daerahnya yaitu daerah Penyeredan, dimana kehidupan agama Islam begitu kental. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk agama Islam ortodok dan ikut dalam suatu kelompok tarekat agama tertentu.

Selama di Mulo, Hasan berpacaran dengan seorang gadis yang bernama Rukmini, yaitu teman sekolahnya di Mulo. Namun cinta mereka harus kandas ditengah jalan, sebab Rukmini kemudian harus menerima lamaran seorang saudagar kaya dari Jakarta karena hal tersebut merupakan permintaan dari kedua orang tuanya. Akibat kegagalan cintanya dengan Rukmini itu Hasan menjadi sangat prustasi. Untuk melupakan Rukmini, Hasan masuk kesuatu aliran terekat agama yang juga dianut oleh kedua orang tuanya.

Kehidupan agama Hasan yang kuat, dan ketekunannya dalam beribadah mulai terusik dan goyah ketika teman masa kecilnya Rusli yang pada waktu itu memperkenalkan seorang janda yang bernama Kartini. Kartini adalah potret seorang perempuan yang hidup dalam lingkungan modern. Pada akhirnya Hasan jatuh cinta dengan janda itu karena wajahnya yang mirip dengan mantan kekasihnya Rukmini.

Pada awalnya, karena Hasan adalah seorang yang taat beragama, dia tergugah dan hendak menyelamatkan Rusli dan Kartini yang tidak beragama itu. Rusli dan Kartini telah beberapa kali dinasehatinya dan diberi khotbah agama supaya sadar dan mau kejalan yang benar. Namun karena Rusli itu termasuk orang yang pintar berbicara dan memiliki pengetahuan yang luas, Hasan lama-kelamaan malah berbalik. Malah dia yang mulai terpengaruh pada pikiran-pikiran Rusli maupun Kartini. Keimanan Hasan makin lama makin lemah akibat kedekatannya dengan kedua orang itu. Semakin lama semakin lemah sinar keimanan Hasan, yaitu ketika Rusli memperkenalkannya dengan seorang pemuda yang berpikiran anarkis yang bernama Anwar. Karena imannya yang sudah sangt lemah, serta pikiran-pikiran Anwar dan teman-temannya yang anarkis sudah mempengaruhi dan merasuk dalam tubuh Hasan, Hasan pada tahap selanjutnya sudah mulai dan berani melawan ayahnya.

Kedekatannya dengan janda Kartini yang bebas itu, kemudian membawanya pada pernikahan yang dilakukan secara bebas pula. Namun kehidupan keluarga Hasan dan Kartini tidak berjalan dengan bahagaia dan tidak berlangsung lama, sebab Hasan maupun Kartini sama-sama manusia modern dan selalu ingin berbuat atau berkehendak bebas. Kartini yang bebas selalu bergaul dengan bebas pada siapa saja, termasuk pada Anwar. Bahkan menurut pandangan Hasan, antara Kartini dengan Anwar sudah terjadi sebuah perselingkuhan.

Akibat prahara dan keruwetan rumah tangganya itu, malah berdampak baik pada Hasan. Kesadarnnya akan dosa, baik terhadap Tuhan maupun kedua orang tuanya mulai bangkit lagi. Akhirnya Hasan memutuskan untuk meninggalkan teman-temannya yang sesat itu dan menceraikan Kartini untuk kembali kejalan Tuhan yaitu jalan kebenaran. Setelah bercerai dengan Kartini, Hasan kembali ke kampungnya, dimana dia ingin memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada kedua orang tuanya. Namun sayang ayahnya menolak permintaan maaf anaknya itu, sampai akhirnya dia meninggal dunia.

Hati Hasan begitu hancur mendapat kenyataan itu. Dia sedih karena disaat-saat ayahnya sudah hampir menghembuskan nafas terakhir, tetapi belum mendapat maaf dari ayahnya. Di atas segala keputusasaannya itu, Hasan mencari sumber utama mengapa dia sampai menjadi orang yang begitu jahat yang sangat bertolak belakang dengan kehidupannya yang dahulu. Setelah dipikir-pikir, ternyata menurut pikiran Hasan bahwa penyebab semua itu adalah Anwar. Dengan nafsu ingin membunuh dan dendam yang sangat membara, Hasan ingin mencari Anwar dan membalas dendam. Karena matanya yang sudah dibutakan oleh dendam, Hasan tidak menghiraukan keadaan sekelilingnya. Padahal pada waktu itu keadaan sangat berbahaya. Bunyi sirine meraung-raung dimana-mana, dia tidak peduli. Dia terus mencari Anwar. Namun naasnya, sebelum bertemu dengan Anwar, Hasan tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang menembus tubuhnya. Hasan terkapar ditengah jalan, di atas aspal berlumuran darah. Sebelum meninggal Hasan sempat mengucapkan Allahu Akbar, sebagai tobat dan penyesalan atas segala dosa yang telah diperbuatnya.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 PENDEKATAN MIMESIS

Dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja merupakan mimesis dari kehidupan nyata. Walaupun telah kita ketahui bahwa karya fiksi merupakan penggabungan dari kenyataan dan imajinasi pengarang. Kita dapat melihat dalam roman tersebut ada beberapa hal yang menyatakan hal tersebut.

Di lereng gunung telaga Bodas di tengah-tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi dibalik hijau pohon-pohon jeruk Garut yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan sejuk. Kampung penyeradan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah kecil. Yang kecil yang jauh lebih besar jamlah-jumlahnya dari yang besar, adalah kepunyaan buruh-buruh tani yang miskin, dan yang besar ialah milik petani-petani kaya(artinya yang mempunyai tanah kurang lebih sepuluh hektar) yang disamping bertani, bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk, dan hasil bumi lainnya. Di antara rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar dari batu itu, ada lagi beberapa rumah yang dibikin dari setengah batu. Artinya, lantainya dari tegel tapi dindingnya hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedangkan atasnya dari dinding batu biasa. Rumah-rumah demikian itu kepunyaan penduduk yang sentana, artinya yang mempunyai tanah barang sehektar duahektare. (Atheis, hal 16)

Kutipan di atas menyatakan bagaimana keadaan tempat tinggal Hasan di kampung. Penulis mampu mendiskripsikan keadaan desa tersebut dengan baik, sehingga pembaca bisa lengsung membayangkan bagaimana tempat tersebut. Latar yang disampaikan memang mencerminkan keadaan penduduk pedesaan pada masa tersebut.

Perasaan demikian itu dulu pernah ada padaku, yaitu ketika aku baru meninggalkan kampung halaman pindah sekolah ke kota besar, ke Mulo di bandung. (Atheis, hal 27)

Pada kutipan di atas menggambarkan bagaimana tingkatan sekolah pada masa tersebut. Mulo merupakan kependekan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu jenjang pendidikan setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Saya rasa sejak sekolah HIS di tasimalaya dulu. Sejak itu kita tidak pernah berjumpa lagi. (Atheis, hal 31)

Pada kutipan di atas menggambarkan bagaimana tingkatan sekolah pada masa tersebut. Mulo merupakan kependekan dari Hollands Inlandse school, yaitu jenjang pendidikan sekolah rakyat dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.

4.2 PENDEKATAN OBJEKTIF

Pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang haromnis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu.

Berikut adalah analisis berdasarkan pendekatan objektif.

4.2.1 Tema

Dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja yang dijadikan sebagai tema adalah tentang kehidupan sosial masyarakat. Dalam roman “Atheis” ini, hal yang paling mendasar yang dijadikan sebagai tema adalah cerita tentang bagaimana kehidupan agama seseorang yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pendidikan agamanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkungan sebuah kota besar. Tema dalam roman ini sungguh sangat memikat dan pantas kalau roman ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi pelajar dan mahasiswa.

  1. Tema Minor

Dalam roman “Atheis” yang merupakan tema minor adalah masalah etika dan agama. Dalam roman ini kita menemukan adanya pertentangan etika dan masalah agama antar tokoh-tokohnya. Disatu sisi Hasan yang memiliki etika yang baik harus bergaul dengan Kartini dan Anwar yang memiliki etika yang kurang baik. Dalam roman ini kita mengetahui bagaimana keteguhan hati dan etika Anwar bisa berubah karena pengaruh dari tokoh Kartini dan Anwar. Walau pada akhrinya Hasan mulai sadar akan kekeliruannya, tapi semua itu sudah terlambat. Hasan sudah terlanjur menyakiti hati kedua orangtuamya, dan samapi akhir hayatnya Hasan tidak memperoleh maaf dari ayahnya. Agama juga merupakan hal yang sangat penting dan dijadikan tema minor dalam roman ini. Agama sebagai suatu kepercayaan dan tatanan kehidupan harus berubah dari norma-norma yang sudah digariskan. Kita menemukan bagaimana keragu-raguan Hasan menghadapi pengaruh globalisasi dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Roman ini menggambarkan kekuatan iman Hasan harus goyah karena pengaruh dari teman-temanya, yaitu Anwar dan Kartini.

b. Tema Mayor

Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum atau makna-makna tambahan yang mempertegasakan eksistensi makna karya itu. Penafsiran harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta itu secara keseluruhan dapat membangun cerita.

Dalm roman ini yang merupakan tema mayor adalah tentang kehidupan agama seseorang yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pendidikan agamanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkungan sebuah kota besar

4.2.2 Tokoh dan Penokohan

a. Tokoh

Tokoh-tokoh dalam karya fiksi merupakan tokoh-tokoh rekaan. Tokoh-tokoh dalam sebuah cerita tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif atau tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa merupakan satu alasan penting peranan tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh pengarang (Sumardjo,1986:63). Koflik-konflik yang terdapat dalam suatu cerita yang mendasari terjalinnya suatu plot, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokohnya, baik yang bersifat protagonis maupun antagonis. Pada dasarnya tokoh dalam sebuah cerita dibagi menjadi dua jenis, yakni (1) tokoh utama, (2) tokoh bawahan. Tokoh utama senantiasa berhubungan dalam setiap peristiwa dalam cerita (Stanton, 1984:17). Tokoh bawahan menurut Griemes (dalam Gunatama, 2005:78) merupakan tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang tokoh utama

Dalam roman “Atheis” yang berperan sebagai tokoh utama adalah (1) Hasan dan (2) Kartini. Kedua tokoh ini dalam roaman atheis senantiasa hadir dalam setiap kejadian atau peristiwa. Sedangkan yang berperan sebagai tokoh adalah (1) Rusli, (2) Raden Wiradikrama dan istrinya (orang tua Hasan), (3) Rukmini, (4) Anwar, (5) Haji Dahlan, (6) bung Parta, (7) Nata, dan (8) Sitis.

b. Penokohan

Penokohan merupakan satu bagian penting dalm membangun sebuah cerita. Penggambaran tokoh suatu cerita rekaan dapat ditampilkan dengan berbagai cara (Tasrif dalam Gunatama, 2005 :78), diantaranya (1) phisycal description, (2) potrayal of thoughstream of councious thought, (3) reaction to event, (4) direct author analysis, (5) discussion of envirounment, (6) reaction of others of character, dan (7) conversation of other about character. Penokohan berperan dalam menampilkan keseluruhan ciri atau watak seseorang tokoh melalui suatu percakapan (dialog) dan tingkah laku (action). Selain istilah perwatakan, digunakan dalam cerita, juga sering digunakan istilah watak tokoh dalam suatu cerita.

Dalam roman “Atheis” terdapat beberapa tokoh serta karakteristiknya, seperti :

1. Hasan

Seorang pemuda berpendidikan yang awalnya begitu lekat dengan kehidupan agama karena memang didikan agama yang baik dari kedua orangtuanya. Namun dalam perkembangannya, setibanya dikota Bandung, kehidupan Hasan mulai berubah menjadi orang yang setengah-setengah terhadap agamanya.

Berikut adalah kutipan yang menggambarkan kepribadian Hasan,

Pada usia lima tahun aku sudah dididik dalam agama. Aku sudah mulai diajari mengaji dan sembahyang. Sebelum tidur, ibuku sudah biasa menyuruh aku menghafal ayat-ayat atau surat-surat dari alquran. Sahadat, salawat dan kyhlu, begitu juga fatehah aku sudah hafal dari masa itu. Juga nyanyi puji-puji kepada Tuhan dan Nabi.

Selain daripada itu banyak aku diberi dongeng tentang surga dan neraka. Dan biasanya ibu mendongeng itu sambil berbaring di sampingku, setengah memeluk aku. Dan aku menengadah dengan mataku lurus melihat ke para-para tempat tidur seperti melihat layar bioskop. Maka terpaparlah di atas layar itu bayang-bayang khayalku tentang peristiwa-peristiwa dalam neraka.

Anak yang nakal, yang tidak mau bersembahyang akan masuk nerak, begitu kata ibu. “di neraka anak yang nakal itu akan direbus dalam kancah timah yang bergolak-golak. Tidak ada yang bisa menolong, ibu bapaknya pun tidak bisa menolong.

Pada kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Hasan semasa kecilnya adalah seorang anak yang penurut. Dia termasuk anak yang baik,karena sejak kecil sudah diajarkan sembahyang dan ilmu agama yang baik. Hasan juga telah dididik dengan budi pekerti yang luhur.

2. Rusli

Seorang pemuda teman Hasan yang telah sangat terpengaruh oleh kehidupan kota besar. Dan dia inilah yang mempengaruhi kehidupan Hasan. Rusli merupakan orang yang modern kehidupannya. Dunia barat dan globalisasi telah mempengaruhi kehidupan dan pola pikirnya.

Hanya dalam dua hal kami kami tidak pernah bersama-sama, yaitu kalau Rusli berbuat nakal, dan apabila aku sembahyang. Orang tuaku melarang nakal, menyuruh sembahyang. Orang tua Rusli tak peduli.

Dan kalau kami bersama-sama pergi ke masjid, maka aku untuk sembahyang, sedang Rusli untuk mengganggu khatib tua yang tuli atau untuk memukul-mukul bedug. Dan tak jarang pula aku sendiri diganggunya dalam sembahyang, dikili-kilinya telingaku, aku dipeluknya dari belakang, kalau aku sedang berdiri hendak melakukan rekaat pertama.

Rusli bercerita, bahwa setelah tamat dari dari sekolah rendah di tasik malaya, ia lantas mengunjungi sekolah dagang di jakarta. Tapi tidak tamat, hanya sampai kelas tiga, oleh karena ia lantas tertarik oleh pergerakan politik. Sebagai seorang pemuda yang berkobar-kobar semangat kebangsaannya, ia masuk anggota salah satu anggota partai politik. Setelah partai politik tersebut dilarang dan banyak pemimpin-pemimpinnya ditangkap, maka Rusli menyingkir ke singapura.

Di kota besar itu ia banyak bergaul dengan kaum pergerakan dari segala bangsa. Nafkah dicarinya dengan jalan bekerja sebagai sopir taksi, tempo-tempo berdagang kecil-kecilan. Soal nafkah memang tidak menjadi soal berat bagi rusli, oleh karena sebagai seorang pemuda bujangan ia tidak mempunyai banyak kebutuhan.

(Atheis, hal 35)

Dari kutipan tersebut, kita telah dapat mengetahui bagaimana karakter dan watak Rusli. Rusli merupakan seorang pemuda yang cukup ulet dan semangatnya berkobar-kobar untuk mengikuti pergerakan. Sifat ini memang sudah ada sejak Rusli masih kecil. Rusli tidak pernah menjalankan sembahyang dengan baik. Rusli termasuk anak yang nakal karena kuang mendapat perhatian dari orang tuanya.

3. Orangtua Hasan

Adalah orang tua yang sangat taat beragama, yang dengan tekun mendidik Hasan terhadap pelajaran-pelajarann agama. Mereka sangat menyayangi Hasan. Bagi mereka Hasan adalah segalanya dan harus mendapat yang terbaik. Sejak kecil mereka te;lah mendidik Hasan untuk menjadi orang yang baik dan berguna pada suatu saat. Mereka juga orang tua yang sangat taat dan patuh terhadap perintah agama. Hal ini dapat kita temukan pada kutipan berikut,

Ia seorang pensiunan manteri guru. Dengan pensiunannya yang besarnya hanya enam puluh rupiah, ia bisa hidup sederhana di kampung itu. Sebelum pensiun, berpindah-pindah saja tempat tinggalnya. Mula-mula sebagai guru bantu di kota tasik malaya, lantas pindah ke ciamis, ke banjar dan beberapa tempat kecil lgi, sampai pada akhirnya ia dipensiun sebagai menteri guru di ciamis.

Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil jalan hidup ditempuhnya dengan tsbeh dan mukena. Iman islamnya sangat tebal. Tidak ada yang lebih nikmat dilihatnya daripada orang yang sedang bersembahyang, seperti tidak ada pula yang lebih nikmat bagi penggemar film daripada menonton film bagus.

Memang baik ayah maupun ibuku kedua-duanya keturunan keluarga yang alim pula. Ujung cita-cita mereka mau menjadi haji. Tapi oleh karena kurang mementingkan soal mencari kebendaan, maka mereka tidaklah mampu untuk melaksanakan pelayaran ketanah suci. (Atheis, hal 16-17)

Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan dan watak orang tua Hasan. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi imannya terhadap agama sangat tinggi. Mereka merupakan orang-orang yang saleh dan beriman.

4. Rukmini

Rukmini adalah seorang perawan atau gadis yang sangat dicintai oleh Hasan , namun Rukmini kemudian menikah dan menjadi istri seorang saudagar di Jakarta.

Rukmini adalah seorang anak haji kosasih. Yaitu seorang pedagang besar di kota bandung. Ia baru saja tamat sekolah kepandaian putri yang diselenggarakan oleh missie. Tapi biarpun bersekolah katolik, ia tetap rajin melakukan sembahyang, berpuasa, dan lain-lain lagi perintah agama islam. Memang perasaan keagamaan pada gadis itu sangat tebal. Walaupun begitu, ia tidak kaku dalam pergaulan, selalu riang dan ramah, suka sekali bercakap-cakap dan pandai pula bersolek. Cita-citanya sama dengan aku, mau mengabdi dan memajukan agama kita. (Atheis, hal 48)

Dari kutipan tersebut, kita telah mengetahui bagaimana watak dari Rukini. Dia adalah seorang gadi yang pintar dan juga baik hati. Ilmu agamanya cukup tinggi dan juga seorang perempuan yang saleh, Rukmini gadis yang pandai bergaul dan juga panda menjaga perasaan orang lain.

5. Kartini

Seorang perempuan modern, yang selanjutnya menjadi kekasih dari Hasan. Kartini merupakan seorang perempuan yang sangat modern. Hal ini karena pengaruh perkembangan zaman dan pergaulan Kartini yang sangat luas.

matanya lincah berikilau-kilauan. Ia memakai kebaya crepe warna kuning mengkilap. Pada dadanya sebelah kiri terklukis sekuntum bunga aster berwarna nila dengan tiga helai daunnya yang hijau tua. Kainnya jelamprang yang dipakaikan secara “gejed mulo” artinya demikian rupa hingga dalam dia melangkah, betisnya yang kuning langsep itu seolah-olah tilem timbul, sekali langkah kelihatan, sekali lagi tertutup oleh kainnya. Sehelai kain leher yang panjang dari sutera hijau muda berbunga-bunga merah membelit kendur pada lehernya. Bibirnya merah dengan lipstic dan pipinya memakai roug yang tidak terlalu merah. Segala-galanya serba modern, tetapi tepat sederhana, tidak berlebih-lebihan”.(Atheis, hal 40)

Kutipan di atas bagaimana penampilan Kartini yang menunjukan bahwa ia merupakan seorang perempuan yang modern dan dinamis. Tingkah lakunya memang banyak terpengaruh dengan kehidupan modern. Namun kemodernan Kartini masih tetap sederhana dan menambah kecantikannya.

6. Anwar

Anwar seorang pemuda anarkis, yang begitu mempengaruhi kehidupan Hasan. Anwar seorang pemuda yang begitu kental dengan kehidupan pergerakan. Ia merupakan tokoh pemuda yang cukup berpengalaman dengan dunia pergerakan. Selain itu anwar juga merupakan seorang pemuda yang selalu ingin diperhatikan oleh orang lain. Dalam kutipan berikut akan digambarkan bagaimana sifat dan karakteristik Anwar.

“ bagi Anwar hal itu agaknya kurang menyenagkan hatinya. Sudah biasa ia menjadi pusat perhatian orang. Berusaha menjadi pusat. Kalau Bung Parta melucu, Anwarlah yang paling keras tertawanya.kalau Bung Parta mengemukakan pendapat atau suatu teori, anwarlah yang paling dahulu berseru: betul! Betul! Betul! Dan kalau Bung Parta menyeropot kopi manisnya, maka anwar pulalah yang mempersilakan orang-orang lain meminum kopinya atau mengambil kue-kuenya. Dia sendiri menjangkau lagi pisang goreng.

Tapi rupanya cara demikian itu belum cukup juga bagi Anwar. Ia mau lebih mendapat perhatian umum. Barangkali juga memang ia mau mengemukakan pendapatnya secara jujur. Pendeknya, Bung Parta yang selama ini tidak pernah didebati orang, tiba-tiba mendapat perdebatan dari Anwar”.

Kutipan tersebut, memberikan kita gambaran tentang bagaimana karakteristik anwar. Dia adalah seorang anarkis yang selalu ingin menjadi pusat perhatian. Dari kutipan tersebut, kita juga mengetahui bahwa anwar adalah seorang yang suka mencari muka dihadapan orang lain. Dan satu hal yang lain, adalah bahwa Anwar orang yang cukup rakus dan suka makan.

7. Siti

Siti adalah seorang babu yang soleha. Dia juga seorang babu yang memiliki iman yang cukup kuat. Ia sangat pandai dalam mendongen. Siti merupakan seorang babu yang bisa mengerti tentang keadaan Hasan. Semasa kecil, Hasan banyak meluangkan waktu bersama dengan Siti.

Siti suka sekali mendongeng, dan sebagai biasanya pandai pula ia mendongeng. Dan tentu saja yang biasa didongengkannya itu dongeng yang hidup subur diantara para santri itu. Aku seakan-akan bergantung kepada bibirnya, mendengarkan. Terutama sekalai kalau siti menceritakan abunawas dan raja harul al-rasyid.

Tapi biarpun begitu tidak ada cerita yang lebih berkesan dalam jiwaku yang masih hijau itu daripada cerita-cerita yang plastis tentang hukuman-hykyman neraka yang harus didrita oleh orang-orang yang berdosa didalam hidupnya di dunia.

‘mereka’ kata siti harus melalui sebuah jembatan pisau yang sangat tajam, lebih tajam daripada sebuah pisau cukur, sebab pisau itu tajamnya seperti shelai rambut dibelah tujuh. (Atheis, hal 23)

Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa siti merupakan seorang babu yang memiliki pengetahuan cukup tinggi tentang agama Islam. Hal ini dapat kita simpulkan dari dongeng-dongeng yang disampaikan oleh Siti. Kesimpulan ini juga ditunjang dari latar belakang Siti yang merupakan seorang santri yang taat.

8. Nata

Nata adalah seorang jongos atau pembantu laki-laki. Nata sendiri adalah suami dari Siti. Sama dengan Siti, Nata pun adalah seorang santri yang cukup taat. Dalam hal ini nata merupakan seorang santri yang cukup memiliki pikiran yang kritis tentang agama Islam. Kita dapat melihat karakter dari Nata, berdasarkan kutipan berikut ini.

Untuk harmoni di dalam rumah tangga, maka babu dan bujang punterdiri dari sejodoh orang-orang yang alim juga. Nata, lakinya pernah belajar mengaji pada sebuah pesantren. (Atheis, hal 23)

Kutipan tersebut memberikan kita gambaran betapa Nata, maupun istrinya merupakan orang yang saleh. Nata merupaka sosok suami yang memiliki tanggung jawab terhadap istri dan pekerjaan.

9. Bung Parta

Bung Parta adalah seorang tokoh pergerakan. Ia sangat pandai menyampaikan atau mengemukakan gagasan tentang dunia pergerakan. Dalam menyampaikan pandangan-pandangannya itu, ia sering menggunakan lelucon untuk lebih meresap apa yang disampaikannya itu, sehingga lebih mudah diterima oleh pendengarnya. Berikut adalah kutipan yang menyatakan bagaimana karakteristik Bung Parta.

Ketika masih berumur kira-kira 17 tahun, ia sudah turut berjuang dikalangan serekat islam. Ia pandai sekali berpidato. Sebagai propagandais dan demagog rupanya sukar mencari bandingannya, suatu tenaga yang luar biasa bagi SI. Akan tetapi kemudian ia bertukar haluan. Ia terpengaruh oleh aliran sosialis radikal yang ketika itu baru mulai merembes ke tanah air kita Indonesia. Maka serekat islam lantas ditentangnya dengan keras-kerasnya. Pernah ia berpidato di salah sebuah rapat umum yang diadakan pada bulan puasa. Begitulah ceritanya dengan berkelakar. Di atas podium ia lantas minum dimuka hadirin yang kebanyakannya terdiri dari orang-orang islam yang berpuasa. Tentu saja berteriak-teriak serta memaki-maki , malah ada juga yang melempar-lempar dengan apa saja yang bisa dilemparkannya ke podium. (Atheis, hal 112)

Kutipan diatas menggambarkan bagaimana sifat dan perwatakan dari Bung Parta. Ia merupakan seorang tokoh yang cukup radikal dan memiliki pengaruh yang besar. Dalam kehidupannya, ia sudah mengalami berbagai kejadian yang membuat pengalamnnya bertambah.

10. Haji Dahlan

Haji Dahlan adalah seorang haji yang berasal dari banten. Nama aslinya sebelum jadi haji adalah Wiranta. Haji Dahlan merupakan seorang haji yang memiliki ilmu atau pandangan yang cukup luas tentang ajaran agama Islam. Hal ini dapat kita ketahui dari kutipan berikut.

Banyak sekali serta dengan penuh semangat haji dahlan menguraikan pendapatnya tentang agama islam. “apa artinya bungkusan kalau tidak ada isinya. Betul tidak kak? Yang kita perlukan terutama isinya, bukan? Tapi biarpun begitu, isipun tidak akan sempurna kalau tidak berbungkus. Ambil saja mentega atau minyak samin. Akan sempurnakah makanan itu kalau tidak dibungkus? Kan tidak. Atau pisang ini? Oleh karena itu, maka sereat, tarakat, hakekat,dan makrifat semuanya itu sama=sama perlu bagi kita. Sereat yaitu ibarat buungkus, tarekat yaitu….tapi ah, lebih baik saya ambil kiasan yang lebih tepat. Kiasan mutiara saja. Mutiara itumakrefat hakekat, tujuan kita. Sareat yaitu kapal.tenaga dan pedoman kita untuk mendayung kapal dan kemudian menyelam kedasar segara untuk mengambil mutiara itu, ialah tarekat. Kita tidak mungkin dapat mutiara kalau tidak punya kapal dan tidak punya tenaga serta pedoman untuk mendayung dan menyelam ke dalam segara. Alhasil se,muanya perlu ada dan perlu kita jalankan bukan? Kapal tidak akan ada artinya kalau kita tidak ada tenagauntuk mendayungnnya dan tidak ada pula pedoman melancarkan ke jalan yang benar. Itulah maka sareat dan tareka perlu kedua-duanya, bukan?”

(Atheis, hal 17-18)

Dari kutipan tersebut, kita mengetahui bahwa bagaimana karakter dari Haji Dahlan. Beliau adalah seorang haji yang memiliki kemampuan dalam berkotbah yang cukup baik. Beliau mampu menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam melalui perbandingan-perbandingan atau contoh-conntoh. Dengan contoh-contoh tersebut, orang yang diajak berbicara lebih cepat mengerti tentang apa yang disampaikan. Haji Dahlan merupakan seorang haji yang cukup baik, karena telah mau memberikan nasehat kepada orang lain tentang ajaran agama.

4.2.3 Latar (Setting)

Untuk mengetahui ketapatan latar dalam sebuah karya dapat dilihat dari beberapa indikator. Abrams (Gunatama, 2005:84) menyebutkan tiga indikator yang meliputi, yakni (1) general locale, (2) historycal time, (3) social cirxumstances. Barangkali dari indikator itulah akan dapat dilihat kesesuaian unsur-unsur pembentuk cerita. Jika indikator tersebutditerapkan dalam telaah latar sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan juga dari konteks diagesisnya kaitannya dengan prilaku masyarakat dan dan watak para tokohnya sesuai dengan situasi pada saat karya tersebut diciptakan. Karena itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika, peristiwa, perkembangan karakter pelaku sesuai dengan pandangan masyarakat yang bberlaku saat itu. Menurut Toda (1984:41) bahwa latar itu adalah suatu kejadiaan terjadi yang dikenal sebagai ruang tokoh-tokoh melandaskan laku. Dan latar yang berupa alam dapat berfungsi dari keinginan manusia (Gunatama, 2005:84)

  1. Latar Tempat

Latar ini berhubungan dengan masalah tempat suatu cerita terjadi. Wujud latar ini secara konkrit menampilkan (1) latar tempat di luar rumah, dan (2) latar tempat di dalam rumah. Kedua latar ini melingkupi pelaku atau tempat terjadinya peristiwa ataupun tempat terjadinya peristiwa ataupun seluruh cerita. ; lingkungan kehidupa, misalnya lingkungan sekolah, dan lingkungan pabrik ; sistem kehidupan, misalnya kehidupan perguruan tinggi ada rektor, dekan, dosen, dan mahasiswa ; alat-alat atau benda, misalnya di pabrik ada mesin dan lori ; dan watak terjadinya peristiwa, misalnya pagi, siang, sore, bulan agustus, dan musim kemarau.

1. latar tempat di luar rumah

Roman ini sebagian besar mengambil latar atau setting daerah Pesundan, baik itu kehidupan agama masyarakatnya, adapt istiadatnya, maupun kehidupan sosial masyarakatnya..

Di lereng gunung telaga Bodas di tengah-tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi dibalik hijau pohon-pohon jeruk Garut yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan sejuk. Kampung penyeradan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah kecil. Yang kecil yang jauh lebih besar jamlah-jumlahnya dari yang besar, adalah kepunyaan buruh-buruh tani yang miskin, dan yang besar ialah milik petani-petani kaya(artinya yang mempunyai tanah kurang lebih sepuluh hektar) yang disamping bertani, bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk, dan hasil bumi lainnya. Di antara rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar dari batu itu, ada lagi beberapa rumah yang dibikin dari setengah batu. Artinya, lantainya dari tegel tapi dindingnya hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedangkan atasnya dari dinding batu biasa. Rumah-rumah demikian itu kepunyaan penduduk yang sentana, artinya yang mempunyai tanah barang sehektar duahektare. (Atheis, hal 16)

Dari kutipan tersebut telah menggambarkan latar tempat dan kehidupan masyarakat pedesaan di desa panyeradan di daerah Pasundan. Kutipan tersebut menggambarkan secara diteil mengenai tempat sebuah peristiwa, serta tatanan kehidupan yang berlaku.

Loket bagian jawatan air dari kota praja tidak begitu ramai seperti biasa. Ruangan di muka loket-loket yang berderet itu sudah tipis orang-orangnya. Memang haripun sudah jam satu lebih. Yang masih berderet di muka loketku hanya beberapa orang saja. Aku asyik meladeni mereka. Seorang demi seorang meninggalkan loket setelah diladeni. Ekor yang terdiri dari orang-orang itu makin pendek, hingga pada akhirnya hanya tinggal satu orang saja. (Atheia, hal 30)

Kutipan tersebut menggambarkan tentang suasana Kotapraja tempat Hasan bekerja. Ini merupakan salah satu latar yang diambil di daerah kota Bandung.

Dalam roman Atheis yang juga dijadikan latar adalah kota Tasik Malaya. Kota ini merupakan tempat sekolah Hasan bersama Rusli.

Saat itu pula dua badan yang terpisah oleh dinding, sudah tersambung oleh sepasang tangan kanan yang erat berjabatan. Mengalir seakan-akan rasa persahabatan yang sudah lama itu membawa kenangan kembali dari hati ke hati melalui jabatan tangan yang bergoyang-goyang naik turun seolah-olah menjadi goyah karena derasnya aliran rasa ini. Kepalaku seakan-akan turut tergoncangkan, mengeleng-geleng sambil berkata,”astaga, tidak mengira kita akan berjumpa lagi ya. Sudah lama ya kita tidak berjumpa? Sejak kapan?

Saya rasa sejak sekolah HIS, di tasik malaya dulu, sejak itu kita sudah tidak pernah berjumpa lagi. (Atheis, hal 31)

Roman “Atheis” secara umum dapat menggambarkan pergerakan tokoh Hasan, atau perpindahan yang dilakukan. Semasa kecilnya, Hasan tinggal bersama kedua orangtuanya di Panyandaran. Ini berlangsung dari kecil sampai siap bersekolah. Setelah berseekolah, Hasan pendah ke Tasik Malaya, tepatnya ia bersekolah di HIS. Disinilah ia mulai bertemu dengan Rukmini, dan mulai menjalin perasaan cinta. Disini pula Hasan dan Rusli bersekolah bersama. Enam tahun mereka bersekolah disini. Seytelah tamat sekolah HIS, Hasan kembali ke panyadaran. Ia dan Kartini bersama dengan Rusli kembali ke kampung. Tapi setelah itu, Hasan mendapat pekerjaan di Bandung, kemudian ia pun pergi ke Bandung untuk bekerja.

Berikut ini adalah diagram yang menyatakan latar dari roman “Atheis”.



2

1

4



2. Latar tempat di dalam rumah

Latar tempat di dalam rumah dapat diamati melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam rumah. Gambaran latar di dalam rumah dapat di temukan di rumah Hasan (di penyendaraan), rumah Hasan (di Bandung), rumah Rusli kebon mangga 11.

Berikut adalah kutipan yang berlatar tempat di rumah Hasan di penyandaraan.

‘’ ibu didapur segera diberi tahu tentang niatku itu. Maka berlinaglah air mata ibuku.. syukurlah anakku.

Aku tertunduk haru, terasa tangan yang terletak di atas bahuku bergetar, dan begitu juga suaranya. ‘’ (Atheis, hal 26)

‘’ tiga malam haji dahlan menginap di rumah orang tuaku. Pada hari kedua, sepulang berjumat di masjid. Sambil duduk-duduk dan minum-minum di tengah rumah ‘. (Atheis, hal 17)

‘ Selain dari pada itu banyak aku diberi dongeng tentang surga dan neraka. Dan biasanya ibu mendongeng itu sambil berbaring-baring dalam tempat tidur, sebelum aku tidur. Ia berbaring di sampingku, setengah memeluk aku. Dan aku menengadah dengan mataku lurus melihat ke para-para tempat tidur seperti melihat layar bioskop. (Atheis, hal 21)

”Ah saudara, silakan masuk, saudara rusli menegurku dengan ramah ketika dilihatnya aku masuk halaman menyandarkan sepeda pada tembok.

Sepedanya dikunci saja bung.

Pintu menggerit dibuka oleh rusli. Aku masuk.

Silakan duduk bung.

Nampaknya rusli belum mandi.kulit mukanya seperti orang jepang. “

(Atheis, hal 34)

“Di kamarku ada kaca besar,” kata rusli

“Boleh saya” tanya kartini bangkit

“Tentu saja, kenapa tidak boleh! Tak usah kuhantarkan toh?” sahut rusli berolok-olok.

“aku suda besar. Tahu jalan. Jangan takut, takan tersesat” jawab kartini tertawa sambil menghilang ke dalam kamar. (Atheis, hal 41)

Biar bi, saya tunggu bibi saja, ‘sahutku melangkah ke sebuah kursi malas di sudut serambi tengah.

Dengan lesu kehempaskan diri ke atas kursi malas itu. Berbaring mengadah ke para-para dengan berbantal tangan. Cecak-cecak bekejar-kejaran. Bercerecak suaranya. Ada yang berebut-rebutan nyamuk atau kupu-kupu kecil, ada juga yang bercumbu-cumbuan. Seakan-akan cecak-cecak itu sengaja mau memperingatkan aku kepada dua hal atau soal hidup yang terdapat serentak di muka mataku. Mempertahankan hidup diri sendiri dan mempertahankan hidup sejenis. (atheis, hal 48)

Dari kamar makan aku terus saja masuk kekamar tidur. Lampu kunyalakan sebab terasa belum ngantuk. Kusiakkan kelambu, sebab ingin berbaring-baring sambil merokok. Enak merokok sesudah makan. Padahal aku tidak boleh banyak merokok.

(Atheis, hal 50)

Pada kutipan pertama menggambarkan latar didalam rumah Hasan. Dalam kutipan tersebut kita bisa melihat bahwa latar belakang yang digunakan adalah dapur. Latar tempat ini menggambarkan watak dari ibu Hasan yang sangat begitu mencintai anaknya, dan sangat sayang kepada Hasan. Latar tersebut juga menggambarkan suasana keharuan yang sangat mendalam.

Kutipan kedua berlatar tempat di rumah tengah atau ruang tengah. Di ruang tengah terjadi pembicaraan antara Haji Dahlan dengan ayah, ibu serta Hasan. Pada saat ini haji dahlan sedang memberikan ceramah tentang ajaran agama. Di dalam latar tersebut juga terlihat adanya suasana keakraban antara keluarga Hasan dengan Haji Dahlan.

Kutipan ketiga juga menggambarkan suasana rumah Hasan, tepatnya mengambil latar belakang di kamar tidur Hasan, tepatnya di tempat tidur Hasan. Latar ini juga menggambarkan suasana ke ibuan yang sangat tinggi. Rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang sangat dicintainya. Latar ini juga memberikan kita gambaran bahwa seorang ibu selalu ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya. Begitu juga yang dilakukan oleh ibu Hasan. Dengan memberikan dongeng-dongeng tentang moral, ia mengharapkan anaknya menjadi orang yang baik dan bermoral.

Pada kutipan keempat, menggambarkan tentang rumah Rusli. Latar ini mengambil latar belakang ruang tengah rumah Rusli. Latar ini terjadi pada saat hasan untuk pertama kalinya berkunjung ke rumah Rusli. Dalam latar ini menggambarkan suasana keakraban dan keramahan Rusli.

Kutipan kelima juga menggambarkan rumah Rusli. Latar blakang tempat ini adalah kamar tidur Rusli yang berisi cermin besar. Latar ini menggambarkan bagaimana keadaan rumah Rusli, khusunya kamar tidur yang berisi cermin yang besar. Latar ini menggambarkan keramahan Rusli terhadap Kartini. Pada saat kartini ingin merperbaiki make upnya, Rusli mempersilahkan ke kamarnya.

Berbeda dengan kutipan kelima, kutipan keenam mengambil latar di rumah kos-kosan Hasan. Latar belakang peristiwa ini terjadi di ruang tengah ketika Hasan hendak makan. Latar ini menggambarkan bagaimana suasana ruang tengah yang terdapat sebuah kursi malas di sudut ruangan. Selain itu, latar ini juga menggambarkan suasana hati Hasan yang sangat kacau. Rasa malasnya menggerogoti Hasan.

Kutipan ketujuh menggambarkan latar di rumah Hasan, yang menjadi latar belakangnya adalah kamar tidur hasan. Kutipan ini menggambarkan bagaimana keadaan tempat tidur Hasan, yabng memiliki kelambu. Latar ini juga menggambarkan keresahan hati Hasan. Hasan memikirkan masalah yang cukup berat.

  1. Latar Waktu

Latar waktu selalu berkaitan dengan saat berlangsung suatu cerita. Oleh karena itu, waktu sangat penting dalam suatu cerita karena tidak mungkin ada rentetan peristiwa tanpa hadirnya sang waktu (Wellek dan Austin Varrren, 1956:223). Itulah sebabnya karya sastra termasuk seni waktu (time art)

Latar waktu dalam roman “Atheis” ditandai oleh penunjuk waktu dari awal sampai akhir roman tersebut, dapat dibagi berdasarkan rentangan waktu, yaitu (1) diakronis, dan (2) sinkronis.

1 Secara Diakronis

Secara keseluruhan (diakronis), roman “Atheis” berlatar waktu kurang lebih tiga puluh tahun. Rentang waktu tiga puluh tahun tersebut dapat disimpulkan dari paparan sebagai berikut.

Pada bagian awal cerita dari roman “Atheis”, dilukiskan kehidupan Hasan ketika masih hidup di desa Panyendaran. Pada saat itu usia Hasan baru menginjak lima tahun. Setelah usia enam tahun hasan masih tinggal bersama kedua orang tuanya.

Ketika sekolah di Tasik Malaya, Hasan kira-kira sudah berumur tujuh tahun. Lama Hasan bersekolah enam tahun. Pada saat itu, berarti Hasan sudah berumur tiga belas tahun. Pada saat itulah Hasan mulai berpisah dengan Rusli, teman baiknya di kampung dan teman satu sekolahnya di Tasik Malaya. Setelah berpisah, Hasan dan Rusli mencari kehidupannya masing-masing. Hasan melanjutkan sekolah, begitu juga dengan Rusli. Hanya saja Rusli tidak menyelesaikan sekoklahnya, sedangkan Hasan sampai selesai. Rusli setelah tidak bersekolah berpetualang sampai ke Singapura. Dari Jakarta, ia pindah ke Singapura dan bekerja sebagai sopir taksi. Lain halnya dengan Hasan, setelah selesai dengan sekolahnya, Hasan melanjutkan pendidikan agama. Hasan mulai memperdalam ajaran agamanya dengan masuk kedalam sebuah aliran, yang juga diikuti oleh orang tuanya.

Hasan dan Rusli baru bertemu kembali setelah berpisah selama lima belas tahun. Mereka bertemu kembali ketika Rusli hendak memasang saluran air. Hasan dan Rusli bertemu ditempat Hasan bekerja.

Berselang satu tahun, akhirnya Hasan dan Kartini menikah. Namun, perjalanan rumah tangga mereka tidak berjalan lama. Rumah tangga mereka hanya bertahan selama tiga tahun. Mereka memutuskan untuk bercerai, karena sudah tidak ada kecocokan dan keharmonisan. Api cemburu membakar hasan sehingga membutakan mata hatinya. Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam rentang tahun tersebut, maka latar waktu diakronisnya adalah tiga puluh tahun.

Disamping latar waktu secara diakronis, terdapat juga latar waktu bagian dari hari, bagian dari bulan, bagian dari tahun, dan bagian dari penunjuk waktu lainnya. Semua penunjuk waktu tersebut dinamakan penunjuk waktu secara sinkronis.

2 Secara Sinkronis

2.1 Latar Waktu Bagian Hari

latar waktu bagian hari adalah latar waktu terjadinya peristiwa pada bagian dari hari, baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Dalam roman ini ditampilkan latar waktu yang berupa bagian dari hari berikut ini.

Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak ku idamkan akan berkunjung kerumah rusli sore itu, tapi rusli pergi. (Atheis, hal 58)

Sampai di rumah magrib menyambut aku dengan tabuh. Aku terbaring ke kamar madi mengambil air wudhu. (Atheis, hal 44)

Tepat jam setengah lima seperti telah dijanjikan, aku tiba di rumah rusli. Tidak susah mencari nomor sebelas. (Atheis, hal 34)

Loket bagian jawatan air dari kota praja sudah tidak begitu ramai seperti biasa. Ruangan di muka loket-loket yang berderet itu sudah tipis orang-orangnya. Memang haripun sudah menunjukan jam satu lebih. (Atheis, hal 30)

Kutipan-kutipan di atas menunjukan latar waktu bagian dari hari. Hal ini tampak dengan jelas karena adanya penanda waktu yang merupakan bagian dari hari seperti,

- malam itu

- maghrib menyambut

- tepat jam setengah lima

- jam satu siang lebih

Penanda waktu tersebut menggambarkan waktu atau kejadian yang terjadi tidak lebih dari sehari. Kejadian ini terjadi sebagai bagian dari waktu.

2.2 Latar Waktu Bagian Dari Minggu, Bulan, Dan Tahun

Latar waktu bagian dari minggu, bulan, dan tahun tampak pada kutipan berikut.

Tiga malam haji dahlan menginap di ruah orang tuaku. Pada hari kedua, sepulang berjumat di mesjid sambil duduk-duduk dan minum-minum di tengah rumah ayah berkata kepada haji dahlan, “kakak, lihat adik selalu memetik tasbih” (Atheis, hal 16)

Sebulan kemudian ayahku memecahkan celengannya, dan dengan uang yang ada di dalamnya itu berangkatlah ia ke banten bersama-asama dengan ibu.

(Atheis, hal 19)

Pada suatu hari ayah pulang dari pasar. Dibawanyasebagai oleh-oleh sehelai kain dan sebuah peci kecil untukku. (Atheis, hal 22)

Hari rabo dan kamis aku tidak masuk kantor. Salahku sendiri juga. Kenapa dalam malm yang sedingin itu, aku jalan-jalan ke luar dengan hanya berpakaian piyama yang tipis saja sehingga aku masuk angina. (Atheis, hal 87)

Hari sabtu kantor-kantor pemerintahan hanya bekerja sampai jam satu siang.

(Atheis, hal 99)

Sudah empat bulan lalu, sejak aku bertemu dengan rusli dan kartini. Makin hari, makin rapatlah pergaulan kami bertiga. (Atheis, hal 107)

Mulutnya masih menggigit piasang goring. Ternyata sudah dua hari yang lalu anwar pindah ke rumah rusli. (Atheis, hal 111)

Seminggu bung parta harus berobat di rumah skit. Sebab kepalanya benjol-benjol kena tinju halayak yang katanya nyata masih kuat memukul, walaupun sedang berpuasa. (Atheis, hal 113)

1 oktober. Ku hitung dengan jari. Februari, maret, april, mei,………… tiga tahun setengah kira-kira sejak 12 februari 1941. sejak aku kawin dengan kartini.

(Atheis, hal 165)

Kutipan di atas menggambarkan latar bagian dari minggu, bulan, dan tahun. Hal ini dikarenakan ada penanda atau identitas yang menyatakan bahwa kutipan tersebut berlatar waktu yang merupakan bagian dari minggu, bulan, dan tahun sebagai berikut,

- tiga malam

- suatu hari

- hari Rabo dan Kamis

- hari Sabtu

- seminggu

- sebulan

- Oktober

- Februari

- Maret

- April

- Mei

Kata-kata tersebut merupakan identitas yang sangat menentukan kapan terjadinya sebuah peristiwa. Kata-kata tiga malam, suatu hari, hari Rabu dan Kamis, dan hari Sabtu menunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada latar waktu yang merupakan bagian dari hari. Sedangkan kata seminggu, menunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada latar yang merupakan bagian dari bulan. Sementara kata-kata seperti sebulan, Oktober, Februari, Maret, April, dan Mei merupakan kata-kata yang menunjukan bahwa sebuah peristiwa terjadi pada latar waktu yang merupakan bagian dari tahun.

  1. Latar Sosial

Latar sosial sudah tentu mengangkat status sosial seorang tokoh cerita dalam kehidupan sosialnya. Latar dan lingkungan social yang melatarai roman “Atheis” berkaitan dengan status dalam masyarakat dan lapangan pekerjaan atau penghasilan para tokoh. Oleh karena itu, latar sosial dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu latar sosial menengah, (latar sosial rendah). Ini berarti, kedua latar itu jelaslah bahwa tema dan perwatakan akan saling bekaitan dengan latar sosial tersebut. Untuk mendapatkan gambaran status social tokoh-tokoh dalam cerita ini, berikut dipaparkan gambaran masing-masing tokoh.

1. Latar Social Menengah

Yang termasuk dalam latar social menengah ini adalah kelompok yang berlatar sosial menengah mencakup tokoh yang berpendidikan menengah pula. Termasuk di dalamnya lingkungan guru, pegawai, pekerja social, pegawai, pedagang, pelajar, dan mahasiswa. dalam roman “Atheis”, menampilkan latar sosial menengah melalui tokoh-tokohnya yaitu,

a. Hasan

b. Rusli

c. Kartini

d. Anwar

e. Raden Wiradikarta dan istri

f. Bung Parta

g. Rukmini

Hasan adalah tokoh yang berlatar social menengah karena ia meneruskan sekolah sampai menengah. Kemudian setelah tamat Hasan bekerja sebagai pegawai di kota praja. Tokoh Hasan adalah tokoh yang mempunyai pemikiran yang baik, tetapi pada akhirnya ia terpengaruh pula pada hal-hal yang kurang baik tersebut. Keinginan awalnya untuk meluruskan pikiran Rusli dan Kartini, tetapi pada akhirnya ia sendiri yang terpengaruh oleh pola piker Rusli dan Kartini.

Rusli juga merupakan tokoh yang berlatae sosial rendah. Hal ini karena ia menyelesaikan sekolah menengah, kemudian setelah tamat sekolah menengah, ia mengikuti gerakan bawah tanah. Ia melakukan hal itu, karena terpanggil oleh semangat kepemudaan. Semangat yang ingin membuat hal-hal yang lebih maju.

Tokoh Kartini juga merupakan tokoh yang berlatar sosial rendah. Latar ini diterima oleh Kartini, karena ia merupakan seorang wanita yang bergelut dalam bidang politik, walaupun tidak secara aktif. Kartini juga merupakan seorang wanita yang berpikiran modern. Hal ini karena adanya pengaruh dari kehidupan metropolitan yang dijalaninya selama ini.

Sama dengan tokoh Rusli, tokoh Anwar juga berlatar sosial rendah karena keikut sertaannya dalam organisasi politik. Anwar juga ikut dalam pergerakan yang menginginkan perbaikan disegala lini kehidupan. Anwar merupakan pemuda yang anarkis, dan selalu ingin mencari perhatian dari orang lain.

Raden Wiradikarta dan istrinya merupakan orang tua dari Hasan. Mereka masuk latar status sosial menengah karena bekerja sebagai seorang guru pada waktu itu. Setelah pensiun mereka menetap di sebuah perkampungan.

Tokoh Bung Parta merupakan tokoh yang berlatar sosial menengah karena kedudukannya sebagai pembicara. Bung Parta memiliki peranan yang cukup penting untuk memberikan semangat kepada kader partai yang muda-muda. Hal ini karena kemampuannya untuk menyampaikan pembicaraan yang cukup menarik. Pembicaraan yang diselingi dengan lelucon.

Rukmini merupakan tokoh yang berlatar social menengah karena status pendidikannya. Rukmini bersama dengan Hasan berhasil menyelesaikan sekolah menengah. Mereka besar bersama. Rukmini juga memiliki pemikiran dan cita-cita yang luhur untuk memajukan agama Islam.

2. Latar Sosial Rendah

Latar berstatus sosial rendah yang ditampilkan dalam roman “Atheis” adalah tokoh Siti dan suaminya, serta bibi tempat Hasan indekost. Tokoh-tokoh ini berstatus sosial rendah karena berasal dari orang kebanyakan.

  1. Latar Alat

keadaan seorang tokoh dapt menunjukan pekerjaan, keadaan, dan suasana tokoh. Aspek-aspek inilah yang juga ikut melatari karya sastra karena melalui pendeskripsian latar alat dapat mengetahui gambaran tindakan atau peristiwa tokoh secara konkrit sebagai penanda ciri keteraturan suatu cerita. Dalam roman “Atheis”, gambaran latar alat dapat diketahui melalui identitas tokoh-tokohnya, seperti tokoh utama (hasan) , dan tokoh-tokoh lainnya pada kutipan berikut.

Maka meloncatlah aku dengan tiba-tiba dari tempat tidurku, bergegar ke meja tulis. Kubuka salah satu lacinya, mengambil sebuah album dari dalamnya. Kemudian kembali ke tempat tidur, berbaring lagi setengah duduk, membuka-buka album. Agak lama kutatap potret rukmini. (Atheis, hal 52)

Kutipan pertama, menggambarkan kamar tudur Hasan yang berisitempat tidur dan meja tulis. Jarak antara tempat tidur dengan tempat tidur tidaklah begitu jauh, sehingga dengan mudah hasan dapat mengambil potret dari dalam laci. Latar ini juga menggambarkan kegelisahan hati hasan. Kegelisahan ini disebabkan karena hasan memikirkan Rukmini dengan Kartini. Menurut pandangan Hasan, antara Rukmini dan Kartini memiliki kemiripan. Untuk membandingkan antara Rukmini dengan Kartini, Hasan mengambil potret Rukmini. Pikirannya melayang-layang, bingung menentukan pilihan.

Esok harinya ehabis sembahyang ashar, aku sudah mendayung lagi ke kebon minggu. Hatiku penuh harapan dan kesanggupan. Melancarlah sepedaku didorong optimisme.(Atheis, hal 56)

Pada kutipan kedua, menggambarkan latar alat yang digunakan oleh Hasan yaitu sepeda. Pada saat ini Hasan sedang ingin berkunjung ke rumah Rusli sahabatnya. Sepeda ini adalah kendaraan sehari-hari yang selalu menemani Hasan. Kendaraan sepeda ini dibawa Hasan baik untuk bekerja ke kantor, maupun mengunjungi teman-temannya.

Panas rasanya dalam dadaku. Melangkah aku ke meja yang ada di tengah ruangan, di bawah lampu. Seekor kecoak terbang dari bawah poci. Ku tuangkan air the ke dalam cangkir, seakan-akan dengan harapan supaya segala perasaanyang mengganggu ituakan hilang tertuangkan dari kalbuku seperti air the dari dalam poci itu. Minumlah aku beberapa teguk. Segar rasanya. Tapi sebentar kemudian terganggu lagi oleh perasaan-perasaan tadi itu, seolah-olah perasaan itu masuklah kembali ke dalam jiwaku bersama air teh yang kuteguk.

Aku melangkah lagi ke kursi malas. Berbaring lagi. Ramailah lagi rapat besar.

(Atheis, hal 59)

Kutipan ketiga menggambarkan latar di rumah Hasan, yaitu ruang tengah. Latar ini menggambarkan Hasan menggunakan beberapa latar alat seperti meja, poci, dan cangkir, serta kursi malas. Latar ini memberikan gambaran bahwa latar ini terjadi di ruang tengah karena keterangan yang diberikan dalam latar alat. Selain itu, latar ini juga memberikan gambaran tentang suasana hati Hasan yang sedang risau dan tak menentu. Hasan sedang mengalami kegelisahan yang sangat besar. Hasan sedang memikirkan perbedaan panangan antara Hasan dengan Rusli. Hasan masih berusaha bersikukuh bahwa pendapatnya itu benar, tetapi pendapat yang dilontarkan oleh Rusli terus terngiang dalam ingatan Hasan. Hal inilah yang menimbulkan kegundahan dalam hati Hasan.

Aku duduk seraya membebaskan mata melihat-lihat keadaan dalam serambi muka itu. Sekarang segala-galanaya sudah beres teratur. Tidak banyak perkakas rumahnya di serambi itu. Hanya satu stel kursi, tempat aku duduk, dan sebuah dipan rapat pada dinding sebelah kiri yang ditilami dengan sehelai kain batik. Selanjutnya di sudut kanan sebuah meja kecil dengan sebuah kursi makan di belakangnya, yang bila menilik buku-buku dan tempat tinta yang ada di atasnya menunjukan bahwa meja itu dipakai untuk menulis. Kesan itu diperkuat pula oleh sebuah kalender yang kadang-kadang bergelebar-gelebar alon-alon tertiup angina kecil bergantung di sebelah kanan yang penuh dengan buku-buku. Pada dinding tergantung pula beberapa pigura yang melukiskan potret orang-orang yang tidak aku kenal. (Atheis, hal 62)

Dalam kutipan keempat terjadi di rumah Rusli. Kutipan tersebut menggambarkan keadaan rumah Rrusli yang cukup rapi. Kutipan ini memberikan kita pengetahuaan bahwa beberapa alat yang sering digunakan oleh Rusli. Kutipan ini menggambarkan Rusli adalah seorang yang modern, berpikiran dinamis. Dari tata prabotan yang ditampilkan dalam latar tersebut, kita mengetahui bahwa Rusli merupakan orang yang cukup rapi dan bersih.

Rusli berhenti sebentar, menyeringsing lagi ke dalam sapu tangannya. Rupanya membikin waktu untuk berpikir dulu? (Atheis, hal 66)

Pada kutipan kelima disampaikan bahwa Rusli menggunakan latar alat yaitu sapu tangan. Latar tersebut menunjukan bahwa Rusli selain sebagi seorang yang bersih juga rapi. Latar ini juga menggambarkan kegelisahan Rusli. Kegelisahan ini terjadi karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Hasan. Untuk menghilangkan kegelisahan, Rusli berusaha menggunakan saputangannya sebagai media.

Sebentar kemudian rusli kembali lagi dari belakang dengan dua gelas air the dalam kedua belah tangannya, yang ditaruhnya di atas meja, satu untuk dia dan satunya lagi untukku. (Atheis, hal 68)

Kutipan keenam menggambarkan latar yang terjadi dirumah Rusli. Dari ruang tengah Rusli pergi ke dapur kemudian kembali lagi keruang tengah membawa dua cangkir teh. Dari kutipan itu kita mengetahui bahwa latar alat yang digunakan adalah cangkir the. Dari latar itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Rusli biasa memberikan minuman teh kepada tamu yang datang ke rumahnya.

Diputar-putarnya rokok diantara bibirnya. Ditariknya hisapan dua kali. Asap berkepul-kepul. Meludah-ludah kecil, membuang-buang potongan tembalau yang melekat pada bibirnya. (Atheis, hal 69)

Pada kutipan ketujuh, latar alat yang digunakan adalah rokok. Pada kutipan ini menggambarkan kegelisahan yang dialami oleh Rusli. Kegelisahan itu diakibatkan oleh Hasan. Dalam sebuah percakapan Hasan mengajukan pertanyaan tentang keagamaan kepada Rusli. Karena pertanyaan itulah Rusli menjadi gelisah. Untuk menyembunyikan kegelisahan itu dan menghilangkan rasa jengkelnya, Rusli menggunakan rokok sebagai sarana yang cukup efektif.

Ia lantas duduk depan piano dengan setengah membelakangi kami. Tutup piano dibukany. Lantas membuka-buka lembaran buku musik. (Atheis, hal 92)

Kutipan kedelapan, terjadi di rumah Kartini. Kutipan ini menggambarkan kemodernan Kartini sebagai seorang perempuan modern. Latar alat yang digunakan dalam kutipan ini adalah piano. Kutipan ini menggambarkan kemahiran Kartini dalam memainkan piano.

Kartini lari kedapur. Hamper menabrak lagi si mimi yang memanjangkan lehernya ingin mengetahui tapi takut-takut.kartini tak acuh. Terus menyerbu ke dapur mengambil air hangat sendiri untuk hasan. (Atheis, hal 96

Kutipan kesembilan menggambarakan situasi kepanikan yang terjadi di rimah kartini. Peristiwa ini terjadi pada saat acara makan siang. Kepanikan ini disebabkan oleh Hasan yang tiba-tiba mual dan muntah-muntah. Hal ini karena ia mengira bahwa makanan yang dimakan berasal dari restoran china. Kepanikan ini ditandai oleh Kartini yang berlari-lari dari kamar tidur menuju dapur kemudian kembali lagi ke kamar tidur dengan membawa air hangat. Latar alat yang digunakan adalah alat yang digunakan untuk membawa air hangat.

Dengan adanya latar alat, kita dapat mengetahui peristiwa yang terjadi dan situasi pada saat terjadinya peristiwa. Latar alat ini memiliki peran yang cukup penting dalam sebuah karya sastra.

4.2.4 Alur (Plot)

Roman “Atheis” secara umum memiliki alur sorot balik (flashback). Hal ini terjadi karena pada bagian pertama disampaikan akhir dari cerita, kemudian pada bagian kedua sampai terakhir dilakukan pengenangan dari tokoh. Alur seperti ini bisa digambarkan sebagai berikut,

Dari grafik tersebut, kita dpat mengetahui bahwa roman “Atheis” beralur sorot balik atau flashback. Cerita tersebut dimulai dengan penyelesaian kemudian dilanjutkan dengan paparan, dari paparan kemudian dilanjutkan dengan rumitan. Kemudian dari rumitan menuju klimaks dan dilanjutkan dengan leraian.

Secara singkat ditinjau dari segi akhir cerita, dapat diceritakan plot atau jalan cerita roman “Atheis” sebagai berikut bahwa alur yang digunakan adalah alur terbuka. Hal ini kita ketahui setelah membaca roman tersebut, ceritanya diakhiri dengan klimaks, tanpa penyelesaian. Dalam hal ini penyelesaian diserahkan pada pembaca. Akhir dari roman ini kita sebagai pembaca dituntut untuk mereka-reka atau menduga apa yang terjadi setelah tokoh dari cerita tersebut meninggal. Kita dituntut untuk menganalisa sendiri apakah yang akan terjadi dengan kehidupan dari tokoh lain. Roman ini memberikan kepada kita kesempatan untuk mereka-reka atau menduga kelanjutannya, kita juga dapat memberikan gambaran tentang cerita tersebut sampai akhir. Jadi secara keseluruhan akhir dari cerita ini dapat ditentukan oleh pembaca.

Dari segi kuantitasnya roman “Atheis” beralur tunggal. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sebuah plot utama. Plot yang dimaksud adalah tentang keragu-raguan yang dimiliki oleh Hasan kkarena pengaruh sahabat dan globalisasi. Dalam roman ini tersirat tentang perjalanan manusia dalam mempertahankan keteguhannya terhadap agama.

Roman “Atheis” ditinjau dari segi kualitas cerita, memiliki alur rapat. Hal ini kita temukan karena dalam cerita tersebut, alur yang telah ada tidak bisa disisipi oleh alur lain.

4.2.5 Gaya (style)

Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa dalam karyanya. Ide dan perasaan sering tampak nyata seperti fakta fisikal meskipun tidak tampak dan tidak dapat diraba. Dalam karya sastra salah satu cara untuk membuatnya seperti nyata ialah dengan menggunakan simbol sehingga ide dan perasaan itu dapat mudah diterima dalam angan-angan pembacanya.

Roman ini banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan. Hal ini terlihat dari beberapa kalimat yang digunakan yaitu membandingkan sesuatu dengan orang. Misalnya saja kita temui pada kalimat Banyak lagi kalimat yang menggunakan majas perbandingan. Sehingga roman ini sangat menarik dan indah untuk dibaca.

1. Simile (perumpamaan)

Simile atau perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan, tetapi sengaja dianggap sama. Pada roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja, gaya bahasa ini terlihat pada dialog-dialog antartokoh. Petikan dialognya sebagai berikut.

* rupanya perkataan ayah itu laksana jari yang melepaskan cangkolan gramopon yang baru diputar .” (Atheis, hal 17)

* orang yang banyak dosanya di dunia ini akan merangkak-rangkak seperti siput di ata seutas benang yang tajam.” (Atheis, hal17)

2. Hiperbola

Hiperbola adalah majas yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih-lebihan. Maksudnya adalah untuk memberikan penekanan pada suatu pernyataan atau untuk memperhebat, mengingatkan kesan, menarik perhatian, dan sebagainya.

“ semua kelihatannya sangat lesu, serupa dengan onggokan daging juga yang tak berdaya apa-apa”.(Atheis, hal 7)

Aku agak malu, terasa darah membakar telinga itu. Hidung bergerak tak normal. (Atheis, hal 42)

4.2.6 Pusat Pengisahan

Dalam roman “Atheis”, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang yang digunakan adalah metode orang pertama sertaan. Hal ini kita temukan dalam roman “Atheis”, yaitu penggambaran tokoh menggunakan kata aku. Cerita ini sungguh membingungkan bila kita tidak membacanya dengan sungguh-sungguh. Cerita ini megisahkan tentang Hasan. Kisahnya ini dikarang oleh Hasan sendiri dan disampaikan kepada penulis. Jadi dengan melihat kenyataan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pengarang menyampaikan cerita dari orang lain. Perhatikan petikan berikut,

Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak kuidam-idamkan akan berkunjung ke rumah Rusli sore itu, tapi Rusli pergi. Dan kenapa mereka itu selalu bersama-sama saja. Seolah-olah merekasudah menjadi laki bini. Kecewa hatiku berteman dengan curiga. Pernah kudengar teman-teman sekantorku bercerita tentang apa yang dinamakan mereka “cinta merdeka’yang katanya banyak dilakukan oleh orang-orang barat, artinya laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami istri, tetapi tidak kawin. Dan katanya antara orang-orang indonesia pun kebiasaan itu sudah mulai menjangkit. Mungkin Rusli dan Kartini pun.

Menggigil aku. Hatiku makin sebal. Hidup demikian berarti bagiku berzinah. Lain tidak.jam menunjukan pukul sebelas. Aku masih berbaring-baring di atas kursi malas di tengah rumah. Malam sudah sunyi benar sehingga kadang-kadang kudengar nafasku sendiri. Radio disebelah sudah bungkam dari jam delapan tadi. Rupanya tetangga yang empunya itu sakit, sebab biasanya ia pasang radionya itu sampai lagu penutup terdengar. Bibi sebagai biasa sudah masuk kamar dari jam sepuluh, sebab esoknya ia harus sudah bangun pagi-pagi benar, membikin kue-kue yang akan dijajakan pak Ingi pada siangnya.

(Atheis, hal 58)

Dari kutipan itulah, kita dapat mengambil kesimpulan tentang pusat pengsahan pada roman tersebut. Kita ketahui bahwa dalam kutipan tersebut, pengarang menyebut dirinya sebagai aku.

4.3 PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Pembahasan sastra secara sosiologis dapat mengembangkan kecenderungan lain secara lebih jauh lagi, yakni kevenderungan untuk menafsirkan tokoh-tokoh khayalan dengan lingkungannya secara identik dengan tidak lain dan tidak bukan adalah atau mewakili tokoh-tokoh dalam suatu kelompok tertentu dan lingkungan kelompok hidup tertentu.

Karya sastra roman memang pada umumnya terasa lebih peka terhadap masalah-masalah social suatu masyarakat pada masa tertentu bila dibanding dengan jenis sastra yang lain. Sebab, ada keleluasaan untuk menggunakan bahasa dan kata untuk melukiskan, menguraikan, dan menafsirkan lewat adegan, situasi dan tokoh-tokoh yang bermacam ragam watak dan latar belakangnya.

Dalam roman “Atheis” ini masalah yang diangkat adalah mengenai pergolakan sosial budaya dengan pribadi. Hasan merupakan seorang yang sangat rajin bersembahyang dan taat terhadap perintah agama dan juga orang tua, tiba-tiba berubah. Hasan tidak lagi menghiraukan agama karena pengaruh teman-temannya. Namun, setelah berapa lama, Hasan mulai menyadari kekeliruannya. Hasan sadar kalau telah banyak melakukan dosa dan kekeliriuan. Hasan mulai insyaf setelah ayahnya meniggal dunia. Dalam diri Hasan terjadi pergolakan yang sangat besar. Ada dua hal yang bertentangan merasuk kedalam diri Hasan. Antara kinginan untuk kembali kejalan yang benar dan keinginan untuk melanjutkan yang tidak benar. Ternyata pengaruh lingkungan kehidupan sosial budaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan Hasan. Hasan yang semula begitu taat beragama berubah menjadi orang yang tak acuh.

Beberapa jurus ia memandang kepadaku. Dan melalui sinar matanya itu seolah-olah mengalirlah perasaan kasi saying yang mersa yang belimpah-limpah tercurah dari hatinya ke dalam hatiku. Dengan suara bergetar maka berkatalah Ia,”nah, anakku, syukurlah engkau sudah ada niat yang suci begitu. Sesungguhnya dengan niatmu yang suci itu , telah hilanglah segala kekuatiran yang selama ini kadang-kadang suka menekan dalam hatiku, ialah kalau-kalau dalam menempuh jalan hidup yang penuh godaan dan bencana ini engkau akan tidak tahan, oleh karena engkau belum mempunyai senjata yang kuat. Akan tetapi, kalau engkau sudah turut mmeluk tarekat yang ayah dan ibu peluk juga, maka segala kekuatiran dan ketakutan ayah dan ibu itu hilanglah sudah. Insyaallah anakku, siang malam tiada lain yang ayah dan ibu mohonkan kepada Tuhan Rabulizati keselamatanmu lahir bathin, dunia kahirat.” (Atheis, hal 25)

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan sosial masyarakat pada masa itu. Kutipan tersebut menceritakan atau menggambarkan golongan masyarakat yang sangat fanatik terhadap ajaran agama dan tarekat. Mereka menganggap hal tersebut adalah segala-galanya. Dalam pikiran mereka agama dan Tuhan adalah sumber kehidupan. Sumber segala tingkah laku manusia. Tidak ada yang boleh bertenangan dengan ajaran agama.

Dengan tangkas sambil tertawa Bung Parta menjawab,”betul kata saudara itu : “Cuma alat”. Memang Tuhan pun hanya alat bagi orang-orang yang percaya kepadanya. Alat yang katanya member keselamatan dan kesempurnaan kepada hidup manusia. Begitu pula teknik bagi kami. Alat yang member kesempurnaan bagi hidup manusia. Dus apa bedanya? Tak ada toh selain daripada yang lebih satu nyata, lebih konkret dari pada yang lain. Teknik nyata, tegas, dan konkret. Tapi Tuhan samar-samr, kabur, melambung-lambung ke daerah yang tak tercapai oleh akal, ke daerah yang gaib-gaib, yang tidak ada bagi kami. Tapi baik tenik maupun Tuhan adalah “alat” jua. Betul tidak?” (Atheis, hal 117)

Berbeda dengan kutipan sebelumnya yang sangat mengagungkan agama dan Tuhan, pada kutipan ini Tuhan hanya sebagai alat. Kutipan ini menggambarkan golongan atau kaum pergerakan yang tidak percaya terhadap Tuhan. Kaum ini adalah wakil dari golongan sosialis radikal. Mereka menyamakan Tuhan dengan teknologi yang dapat mempermudah manusia. Kaum ini merupakan kaum yang sangat terkenal dan berkembang pesat saat itu.

Dari kedua kutipan tersebut, sangat jelas kita lihat bahwa dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja secara sosiologis menggambarkan kehidupan social masyarakat pada masa tersebit. Baik tingkah laku maupun pemikiran-pemikiran yang terkandung. Pada saat tersebut ada dua pandangan besar yang bertentangan, yaitu antara kaum pro-agama dan anti agama.

4.4 PENDEKATAN PSIKOLOGIS

Untuk menganalisis roman “Atheis” karangan Achdiat k. Mihardja penulis juga menggunakan pendekatan psikologis untuk mengetahui bagaimana karakter kejiwaan masing-masing pelaku.

Aku tunduk terharu. Terasa tangannya yang terletak di atas bahuku itu bergetar. Dan bergetar pula suaranya. “ya, anakku,” (menyapu air mata dengan ujung kebayanya). (Atheis, hal 26)

Pada kutipan roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja di atas mengandung nilai psikologis. Pada dasarnya manusia memiliki perasaan untuk mampu menanggapi perasaan yang diberikan oleh orang lain. Perasaan yang disampaikan dalam kutipan tersebut adalah perasaan haru. Perasaan bahagia yang tidak bisa diluapkan dengan kebahagiaan. Bahkan perasaan ini identik dengan tangisan.

Saat itu pula dua badan yang terpisah oleh dinding, sudah tersambung oleh sepasang tangan kanan yang erat berjabatan. Mengalir seakan-akan rasa persahabatan yang sudah lama itu membawa kenangan kembali dari hati ke hati melalui jambatan tangan yang bergoyang-goyang naik-turun seolah-olah menjadi goyah karena derasnya aliran rasa ini. Kepalaku seakan-akan turut tergoncangkan, menggeleng-geleng sambil berkata, ‘astaga, tidak mengira kita akan berjumpa lagi?’ (Atheis, hal 31)

Rasa lain yang dimiliki oleh manusia adalah perasaan kerinduan. Kerinduan pada seseorang. Baik pada seorang ayah, ibu, teman maupun pacar. Pada kutipan di atas menggambarkan rasa kerinduan pada sahabat. Rasa persahabatan yang cukup kental disampaikan pada kutipan di atas.

Aku tidak mengucap apa-apa. Bermacam-macm perasaan simpang siur dalam hatiku. Menoleh aku kepada Rusli yang sedang tunduk menggulung-gulung rokok kawungnya.

Baru sekali aku berada dalam keadaan yang menimbulkan perasaan-perasaan yang tak tentu bagiku : heran, kecewa, sayang, mencela, curiga tapi pun gembira. Ya, juga gembira. (Atheis, hal 41)

Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja, mengandung nilai psikologi. Manusia sebagai mahluk beperasaan, memiliki perasaan yang bermacam-macam. Ada bahagia, senang, kecewa, heran, dan lainnya. Ini adalah kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan yang berbudi.

Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak kuidam-idamkan akan berkunjung ke rumah Rusli sore itu, tapi Rusli pergi. Dan kenapa mereka itu selalu bersama-sama saja. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi laki-bini. Kecewa hatiku berteman sekarang dengan curiga. (Atheis, hal 58)

Pada kutipan diatas, perasaan yang digambarkan kekecewan. Bagaimana perasaan Hasan yang menelan kekecewaan karena rencananya untuk berkunjung ke rumah Rusli gagal. Ini disebabkan karena Rusli tidak berada di rumah.

Aku terus merunduk saja. Hilang riang. Memang, bagaimana mungkin hatiku bisa riang, jika seluruh jiwaku masih terpukau oleh kejadian-kejadian yang timbul tadi malam antara aku dan ayah. Aku tahu, bahwa kedatangan kami di Panyeredan itu membawa bahagia seperti biasa. Tapi ini sebaliknya, bahagia yang selama ini meliputi rumah setengah tembok itu, sekarang sudah pergi meninggalkan ayah dan ibuku. Pergi, seolah tamu lama tidak berpamitan. (Atheis, hal 156)

Pada kutipan di atas menyatakan perasaan penyesalan yang amat mendalam. Bagaimana terpuruknya perasaan Hasan melihat keadaan keluarganya, dan semua itu adalah akibat dari semua perbuatannya. Ia telah mengecewakan orang tua yang telah mendidiknya sejak kecil. Keluarganya sangat terpukul melihat perubahan pada diri Hasan, terutama ayahnya.

Kucurahkan segala isi hatiku, ketika ditanya mengapa aku begitu sedih. Sungguh sakit kata hati seorang kekasih sebagai pelipur lara. Alangkah bedanya kesakitan kata-kata Anwar tadi di kereta api, dan kata-kata Kartini sekarang. (Atheis, hal 163)

Cuplikan cerita tersebut menyiratkan nilai yang sangat luas dan mendalam. Terkait dengan masalah psikologi atau kejiwaan. Pada dasarnya sifat manusia yang paling khas adalah membutuhkan orang lain untuk berbagi. Begitu juga pada cuplikan tersebut, betapa Hasan sangat membutuhkan perhatian orang lain dan rasa ingin berbagi penderitaan.

Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya.

Tar !Tar ! kutempeleng Kartini. (Atheis, hal 173)

Kutipan dialog tersebut menggambarakan bagaimana sifat lain dari manusia. Selain memiliki rasa kasih sayang, menusia juga dibekali dengan emosi, yang jika tidak dikontrol akan menjadi amarah. Apabila telah menjadi amarah, maka seseorang tidak akan dapat berpikir secara wajar dan sehat.

Tiba-tiba Hasan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Kedua belah matanya dipejamkannya, seolah-olah tidak mau ia melihat sesuatu yang ada di depannya. Dan sejurus kemudian terdengar keluhan yang berat melepas dari dadanya mengisi seluruh lobang,‘Astagfirullah…’ (Atheis, hal 216)

Pada kutipan di atas menyatakan perasaan penyesalan yang amat mendalam. Bagaimana terpuruknya perasaan Hasan melihat keadaan keluarganya, dan semua itu adalah akibat dari semua perbuatannya. Ia telah mengecewakan orang tua yang telah mendidiknya sejak kecil. Keluarganya sangat terpukul melihat perubahan pada diri Hasan, terutama ayahnya. Kini ayahnya telah terbaring sakit tidak berdaya. Semua itu sebagai akibat dari perbuatan Hasan.

Maka dengan menagis terisak-isak Hasan pun meninggalkan kamar ayahnya. Tapi ia tidak mau jauh dari kamar itu. Dengan menangis terseu-sedu duduklah ia di atas sebuah kursi dekat pintu yang sengaja tidak ditutupkan erat-erat olehnya. (Atheis, hal 216)

Pada kutipan di atas menyatakan perasaan penyesalan yang amat mendalam. Bagaimana terpuruknya perasaan Hasan melihat keadaan keluarganya, dan semua itu adalah akibat dari semua perbuatannya. Ia telah mengecewakan orang tua yang telah mendidiknya sejak kecil. Keluarganya sangat terpukul melihat perubahan pada diri Hasan, terutama ayahnya. Kini ayahnya telah terbaring sakit tidak berdaya. Semua itu sebagai akibat dari perbuatan Hasan. Penyesalan yang datang terlambat, tidak mendapatkan maaf dari sang ayah. Hanya kesedihan dan penyesalan yang menggelayuti.

Tangan Hasan yang kurus kering itu berkepal-kepal dan meninju-ninju pahanya sendiri. Gemas ia ! maka terbayang-bayanglah lagi wajah Anwar dengan jilatan matnya yang penuh dengan nafsu berahi terhadap istrinya. Terbayang-bayang lagi khayal tentang perhubungan Anwar dengan istrinya di belakang punggungnya, kalau ia sedang di kantor. (Atheis, hal 220)

Kutipan dialog tersebut menggambarakan bagaimana sifat lain dari manusia. Selain memiliki rasa kasih sayang, menusia juga dibekali dengan emosi, yang jika tidak dikontrol akan menjadi amarah. Apabila telah menjadi amarah, maka seseorang tidak akan dapat berpikir secara wajar dan sehat. Marahnya kini telah berubah menjadi kebencian yang amat besar. Perasaannya kini berbaur antara benci, marah, dan cemburu.

4.5 PENDEKATAN EKSPRESIF

Pembahasan sastra dengan menggunakan pendekatan ekspresif bertujuan untuk melihat kemampuan pengarang mencurahka ide-ide ataupun ekpresi pengarang. Pendekatan ekspresif berkaitan erat dengan emosi pengarang.

Dalam menganalisis roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja, penulis juga menggunakan pendekatan ekspresif.

matanya lincah berikilau-kilauan. Ia memakai kebaya crepe warna kuning mengkilap. Pada dadanya sebelah kiri terklukis sekuntum bunga aster berwarna nila dengan tiga helai daunnya yang hijau tua. Kainnya jelamprang yang dipakaikan secara “gejed mulo” artinya demikian rupa hingga dalam dia melangkah, betisnya yang kuning langsep itu seolah-olah tilem timbul, sekali langkah kelihatan, sekali lagi tertutup oleh kainnya. Sehelai kain leher yang panjang dari sutera hijau muda berbunga-bunga merah membelit kendur pada lehernya. Bibirnya merah dengan lipstic dan pipinya memakai roug yang tidak terlalu merah. Segala-galanya serba modern, tetapi tepat sederhana, tidak berlebih-lebihan”.(Atheis, hal 40)

Kitapan dialog di atas menggambarkan kemampuan seorang pengarang untuk menggambarkan bagaimana sosok seorang pelaku. Dengan kemampuan bahasanya, pengarang mampu menjadikan seorang tokoh sangat menarik. Kemampuan ekspresif yang dimiliki oleh seorang pengarang menentukan kualitas sebuah karya sastra. Pada kutipan di atas dengan sangat indah seorang melukiskan keadaan tokohnya. Kita sebagai pembaca akan lebih mudah mendiskripsikan karakter sebuah tokoh.

Panas rasanya dalam dadaku. Melangkah aku ke meja yang ada di tengah ruangan, di bawah lampu. Seekor kecoak terbang dari bawah poci. Ku tuangkan air the ke dalam cangkir, seakan-akan dengan harapan supaya segala perasaanyang mengganggu ituakan hilang tertuangkan dari kalbuku seperti air the dari dalam poci itu. Minumlah aku beberapa teguk. Segar rasanya. Tapi sebentar kemudian terganggu lagi oleh perasaan-perasaan tadi itu, seolah-olah perasaan itu masuklah kembali ke dalam jiwaku bersama air teh yang kuteguk.

Aku melangkah lagi ke kursi malas. Berbaring lagi. Ramailah lagi rapat besar.

(Atheis, hal 59)

Pada kutipan di atas menggambarkan bagaimana emosi pengarang yang terlibat dalam karya sastranya. Pengarang mampu menghidupkan suasana dan mendiskripsikan suatu tempat, sehingga pembaca bisa mereka-reka bagaimana keadaan dan suasana yang ada pada tempat tersebut.

Aku terus merunduk saja. Hilang riang. Memang, bagaimana mungkin hatiku bisa riang, jika seluruh jiwaku masih terpukau oleh kejadian-kejadian yang timbul tadi malam antara aku dan ayah. Aku tahu, bahwa kedatangan kami di Panyeredan itu membawa bahagia seperti biasa. Tapi ini sebaliknya, bahagia yang selama ini meliputi rumah setengah tembok itu, sekarang sudah pergi meninggalkan ayah dan ibuku. Pergi, seolah tamu lama tidak berpamitan. (Atheis, hal 156)

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu melibatkan emosi pembaca dan penulis. Pada kutipan di atas, sangat jelas terlihat bagaimana seorang pengarang menciptakan kondisi mosional yang sedemikian rupa. Pengarang mampu menghanyutkan perasaan pembaca dan melibatkan emosi pembaca.

Ketenangan hati kedua orang itu kini sudah goncang, digoncangkan oleh angin ribut kekecewaan, kecemasan, kesedihan.

Insyaflah aku, betapa tersayat-sayatnya rasa hati ibu dan ayahku oleh perkataan-perkataan tadi malam. Kini terasa benar olehku, betapa tidak bijaksananya aku bercekcokan dengan kedua orang tuaku tadi malam. Sesungguhnya, serasa remuk jiwaku kini. Remuk, karena rasa sesal menyayat-nyayat, rasa sedih mengiris-iris.

Tadi malam di perdebatan yang hangat, didalam nafsu bertengkar faham, seakan-akan aku tidak berhadapan dengan ayah, melainkan seorang lawan yang harus kutundukan dan kubikin insyaf akan kesalahan fahamnya. Aku mendesak-desak, seakan-akan kebenaran adalah monofoliku sendiri. (Atheis, hal 156)

Kucurahkan segala isi hatiku, ketika ditanya mengapa aku begitu sedih. Sungguh sakit kata hati seorang kekasih sebagai pelipur lara. Alangkah bedanya kesakitan kata-kata Anwar tadi di kereta api, dan kata-kata Kartini sekarang. (Atheis, hal 163)

Kutipan di atas menggambarkankeadaan emosi tokohnya. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu melibatkan emosi pembaca dan penulis. Pada kutipan di atas, sangat jelas terlihat bagaimana seorang pengarang menciptakan kondisi mosional yang sedemikian rupa. Pengarang mampu menghanyutkan perasaan pembaca dan melibatkan emosi pembaca. Dalam petikan di atas ada kata-kata yang cukup ekspresif, seperti tersayat-sayat dan sebagainya.

Secara umum semua kutipan yang diberikan di atas menggambarkan bagaimana kemampuan ekspresif seorang pengarang. Pengarang dengan kemampuan ini mencurahkan emosinya dalam karya sastra sehingga karya yang dihasilkan akan lebih hidup.

4.6 PENDEKATAN MORAL

Pendekatan ini berangkat dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebut.

Dalam menganalisis roman “Atheis”, penulis juga menggunakan pendekatan moral. ada beberapa nilai moral yang terkandung.

Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama mahluknya. Berbuat jasa atau dosa terhadap sesame hidupnya. Merasa bahagia bila ia telah berjasa. Menebus dosa terhadap siapa ia berbuat dosa. Akan tetapi kepada siapakah ia harus meminta maaf , menyatakan sesalnya apabila orang terhadap siapa dia berbuat dosa itu sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia?

Kepada Tuhan? Karena tuhan adalah sumber segala cinta, yang melarang manusia berbuat terhadap sesame mahluknya? Tapi bagaimana caranya? (Atheis, 9)

Petikan dialog tersebut mengandung nilai moral bahwa kita sebagai manusia hanya mempunyai satu tempat untuk mengadu. Satu tempat untuk mencurahkan rasa penyesalan terhadap perbuatan yang telah kita lakukan. Kutipan ini mengajarkan kita sebagai manusia untuk selalu mengingat Tuhan. Hanya Tuhan satu-satunya tujuan terakhir kita.

Jalan yang pendek memang tidak selamanya mudah. Kualami sendiri dengan mistik. (Atheis, 61)

Petikan dialog tersebut mengandung nilai moral bahwa ada kecenderungan manusia untuk mencari hal-hal yang dianggapnya mudah. Mereka akan melakukan hal-hal yang paling mudah untuk memperoleh sesuatu. Walaupun jalan tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Banyak jalan yang panjang menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari jalan yang pendek. Dalam petikan dialog di atas mengangkat hal tersebut. Sangat penting nilai moral yang disampaikan.

Tapi lama-lama insyaflah aku. Dengan marah-marah aku tidak akan bisa mencapai maksudku. Dan memang tidak baik aku, sebagai seorang tamu, marah kepada tuan rumah. Begitulah suara pikiranku, tetapi suara nafsu berteriak-teriak juga. (Atheis, 68)

Petikan dialog di atas mengandung nilai moral. Ini menyangkut masalah tata krama. Masyarakat kita menganggap penting nilai-nilai kesusilaan dan sopan santun serta tata krama yang berlaku di masyarakat. Penting adanya pemahaman terhadap etika sopan santun pergaulan. Karena ini akan menentuan kesuksekan kita bergaul dalam masyarakat.

Dalam benua-benua yang tidak begitu hebat alamnya, seperti tanah-tanah yang luas padang pasirnya. Dimana manusia hanya menghadapi ketenangan dan kesunyian lautan pasir dengan bulannya yang terang benderang dan bintang-bintangnya yang bertaburan di langit yang tiada melakukan pkerjaan lain daripada hanya berkedip-berkedip sepanjang malam , di sana, di daerah-daerah yang tenang tentram alamnya, manusia tidak membutuhkan dewa-dewa yang banyak jumlahnya. (Atheis, 76)

Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan. Dalam petikan tersebut, kita sebagai manusia diberitahu tentang kelebihan yang kita miliki. Pada dasarnya Tuhan berada dalam hati setiap mahluk yang memiliki ketenangan dalam hatinya. Kemakmuran dn ketenangan dalam hati adalah dewa setiap manusia. Ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga hati. Jangan biarkan ia ternoda atau kotor. Manusia adalah mahluk yang dibekali dengan hati nurani. Kemampuan untuk menentukan yang terbaik buat dirinya.

4.7 NILAI PENDIDIKAN YANG TERKADUNG

Dalam pembahasan ini penulis menyajikan kutipan-kutipan dialog maupun cerita yang menurut penulis mengandung unsur-unsur/ nilai-nilai pendidikan. Dengan demikian, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja adalah sebagai berikut.

Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama mahluknya. Berbuat jasa atau dosa terhadap sesame hidupnya. Merasa bahagia bila ia telah berjasa. Menebus dosa terhadap siapa ia berbuat dosa. Akan tetapi kepada siapakah ia harus meminta maaf , menyatakan sesalnya apabila orang terhadap siapa dia berbuat dosa itu sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia?

Kepada Tuhan? Karena tuhan adalah sumber segala cinta, yang melarang manusia berbuat terhadap sesame mahluknya? Tapi bagaimana caranya? (Atheis, 9)

Petikan dialog tersebut mengandung nilai pendidikan moral bahwa kita sebagai manusia hanya mempunyai satu tempat untuk mengadu. Satu tempat untuk mencurahkan rasa penyesalan terhadap perbuatan yang telah kita lakukan.

Sesungguhnya kak, beribadat tanpa bimbingan guru adalah seperti seorang penduduk desa dilepaskan di tengah-tengah keramaian kota Jakarta atau singapur. Ia akan tersesat. Tak ubahnya dengan sopir yang tahu jalankan mobil, tetapi tidak tahu jaln mana yang harus ditempuh. (Atheis, 17)

Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan moral religius. Pendapat yang disampaikan dalam kutipan tersebut memang ada benarnya. Wlau kita telah mempelajari sesuatu dengan sebaik-baiknya dan kita merasa sudah sesuai, tetapi tetap akan terasa kurang. Kita membutuhkan seseorang penuntun yaitu guru. Dengan adanya seorang guru, pengetahuan kita yang terbatas akan menjadi lebih baik dengan bimbingannya.

Apa artinya bungkus kalau tidak ada isinya. Betul tidak kak? Yang kita perlukan terutama isinya, bukan? Tapi biarpun begitu isi pun tidak akan sempurna kalau tidak terbungkus. Ambil saja mentega atau minyak samin. Akan sempurnakah makanan itu kalau tidak dibungkus? (Atheis, 17)

Dialog di atas juga mengungkapkan nilai pendidikan moral yang sangat penting. Pada dasarnya kita tidak bisa menilai orang dari luarnya, tetapi yang lebih penting adalah hatinya. Namun tidak jarang manusia menilai orang atau sesuatu dari kulit luarnya. Padahal panampilan luar biasanya sring menipu. Walaupun yang penting isinya, namun kita tidak boleh melupakan penampilan luarnya. Sesuatu akan lebih baik, jika penampilan luar dan dalam sama baiknya.

Sungguh kosong ucapan orag, bahwa katanya manusia itu tidak bisa berbuat sesuatu berbarengan dengan perbuatan-perbuatan lain. Padahal seluruh hidupnya tidak lain daripada melakukan perbuatan-perbutan yang berbarengan. (Atheis, 5)

Petikan dialog tersebut mengandung nilai pendidikan moral. Kita sebagai manusia selalu melakukan hal-hal yang bersamaan. Manusia tidak pernah melakukan hal-hal yang tunggal. Kehidupan manusia selalu dihiasi dengan dua hal yang bertentangan. Baik dan buruk. Kebahagiaan dan kesedihan selalu menghias.

Pernah kudengar teman-teman kantorku bercerita tentang apa yang dinamakan mereka ‘cinta merdeka’ yang katanya banyk dilakukan oleh orang-orang barat, artinya adlah laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami istri, tetapi tidak kawin. (Atheis, 58)

Pada petikan dialog di atas mengandung nilai moral. Bahwasanya ada perbedaan nilai sosial dalam masyarakat Indonesia dengan masyarakat barat. Masyarakat barat menganggap hal yang biasa kalau seorang lelaki hidup bersama dengan seorang perempuan layaknya suami istri tanpa ikatan perkawinan. Namun masyarakat Indonesia menganggap hal tersebut sebagi perbuatan yang tercela. Melanggar tatanan sosial masyarakat.

Jalan yang pendek memang tidak selamanya mudah. Kualami sendiri dengan mistik. (Atheis, 61)

Ada kecenderungan manusia untuk mencari hal-hal yang dianggapnya mudah. Mereka akan melakukan hal-hal yang paling mudah untuk memperoleh sesuatu. Walaupun jalan tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Banyak jalan yang panjang menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari jalan yang pendek. Dalam petikan dialog di atas mengangkat hal tersebut. Sangat penting nilai moral yang disampaikan.

Juga manusia adalah sesuatu benda yang terdiri dari unsur-unsur kimia, yang dengan sendirinya mengalami juga proses kimia. Dengan menggunakan ilmu kimia atau ilmu pisah kita akan bisa mengethaui semua bagian-bagian atau unsur-unsur yang menjadikan manusia itu. Pada saat sekarang manusia belum mengetahui pengetahuan untuk untuk mengetahui benarbenar apakah nyawa itu. Kita baru bisa mengatakan kalau nyawa itu halus . dari unsur apa terjadinya nyawa itu ? (Atheis, 66)

Petikan diatas mengandung nilai pendidikan pengetahuan. Dialog ini mengangkat tentang bagaimaa tubuh manusia tersusun atas molekul atau unsur-unsur kimia. Ini sangt penting diketahui untuk menmbaha pengetahuan tetang ilmu alam khususnya kimia.

Tapi lama-lama insyaflah aku. Dengan marah-marah aku tidak akan bisa mencapai maksudku. Dan memang tidak baik aku, sebagai seorang tamu, marah kepada tuan rumah. Begitulah suara pikiranku, tetapi suara nafsu berteriak-teriak juga. (Atheis, 68)

Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan moral. Ini menyangkut masalah tata krama. Masyarakat kita menganggap penting nilai-nilai kesusilaan dan sopan santun serta tata krama yang berlaku di masyarakat.

Saudara lupa yang paling penting, yaitu bahwa manusia itu adalah mahluk yang mengandung perasaan perikemanusiaan dan pertimbangan susila, atau gewetan.

(Atheis, 70)

Dalam petikan di atas mengandung nilai moral, bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki perasaan. Manusia bukan semata-mata robot atau binatang yang bertindak berdasarkan perintah atau instink. Namun manusia memiliki perasaan dan kemampuan untuk berpikir, menimbang serta menentukan baik-burunya suatu tindakan.

Dalam benua-benua yang tidak begitu hebat alamnya, seperti tanah-tanah yang luas padang pasirnya. Dimana manusia hanya menghadapi ketenangan dan kesunyian lautan pasir dengan bulannya yang terang benderang dan bintang-bintangnya yang bertaburan di langit yang tiada melakukan pkerjaan lain daripada hanya berkedip-berkedip sepanjang malam , di sana, di daerah-daerah yang tenang tentram alamnya, manusia tidak membutuhkan dewa-dewa yang banyak jumlahnya. (Atheis, 76)

Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan moral. Dalam petikan tersebut, kita sebagai manusia diberitahu tentang kelebihan yang kita miliki. Pada dasarnya Tuhan berada dalam hati setiap mahluk yang memiliki ketenangan dalam hatinya. Kemakmuran dn ketenangan dalam hati adalah dewa setiap manusia. Ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga hati. Jangan biarkan ia ternoda atau kotor.

Aku tidak bisa lanjut, hatiku berdegup tak karuan. Malukah aku, menyesalkah aku, atau malah cemas, karena aku sudah beradu kulit dengan seorang perempuan yang bukan muhrim ? (Atheis, 85)

Petikan di atas juga mengandung nilai pendidikan moral, bahwa di Indonesia, khususnya masyarakat yang menganut agama tertentu menganggap apabila bersetuhan dengan seseorang yang berlainan jenis sebagai hal yang dianggap tabu. Agama mereka melarang dan mengharamkan hal tersebut.

4.7 Keunggulan Dan Kelemahan

a. Keunggulan

Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja yang dianalisis penulis terdapat beberapa keunggulan. Keungulan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja banyak mengandung pesan-pesan moral dan pendidikan yang setidaknya bisa dijadikan panutan oleh para pembaca novel tersebut.

2. Jalan ceritanya sulit ditebak sehingga pembaca menjadi tertarik untuk membaca novel tersebut dari bab ke bab. Ini tentunya berkaitan kepada kemampuan pengarang untuk menciptakan alur yang demikian. Yang jelas, ketika membaca halaman pertama novel ini, pembaca akan tertarik untuk membuka halaman-halaman selanjutnya. Dalam novel ini terkadang juga disuguhkan konflik-konflik yang tiba-tiba teruputus tanpa pemecahan sehingga pembaca menjadi bertanya-tanya mengenai kelanjutan cerita tersebut. Konflik-konflik yang disuguhkan beraneka ragam. Tidak hanya konflik ayah dengan anak, konflik pasangn kekasih, konflik dengan teman, dan lain sebagainya.

3. Bahasa yang digunakan cukup komunikatif dalam artian tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata maupun kalimat-kalimat kiasan sehingga novel ini dengan mudah bisa dipahami.

b. Kelemahan

Sebuah novel ataupun karya sastra lainnya pastilah tidak bisa luput dari kesalahan-kesalahan yang bisa menjadi sebuah kelemahan dalam karya sastra itu sendiri. Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja yang dianalisis penulis terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Adanya alur cerita yang tidak berhubungan dengan alur yang lain atau dapat dikatakan tidak menunjang alur yang lainnya. Alur ini adalah pada saat Hasan bertemu dengan tokoh Aku. Ini cukup membingungkan pembaca. Pembaca kurang memahami alur yang sebenarnya. Pada bagian I, bagian II, dan bagian XIII pembaca akan mengalami sedikit kebingungan. Ini terjadi karena adanya tokoh aku masuk dalam cerita.

2. Terlalu banyaknya alur yang akan membingungkan bagi para pembaca yang masih dalam tahap pemula sehingga bisa saja apa yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya tidak tersampaikan sesuai dengan keinginan pengarang.

3. Tidak tepatnya pemakaian kata dan tanda baca yang bisa membingungkan pembaca. Beberapa istilah yang digunakan juga cukup menyulitkan pembaca, walaupun telah diberikan penjelasannya pada halaman bawah.

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan penulis, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam roman Atheis karya Achdiat K. Mihardja mencakup nilai pendidikan relegius, moral, dan nilai pendidikan etika. Nilai-nilai tersebut diungkapkan dalam petikan-petikan dialog maupun penggalan-penggalan cerita yang disampaikan secara tersurat maupun tersirat (implisit).

  1. Tema roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja adalah “bagaimana kehidupan agama seseorang yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pendidikan agamanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkungan sebuah kota besar”. Latarnya sebagian besar adalah lingkungan rumah tinggal Hasan maupun rumah Kartini. Alurnya menggunakan alur sorot balik (flashback). Hal ini terjadi karena pada bagian pertama disampaikan akhir dari cerita, kemudian pada bagian kedua sampai terakhir dilakukan pengenangan dari tokoh. Tokoh utamanya adalah Hasan, seorang pemuda berpendidikan yang awalnya begitu lekat dengan kehidupan agama karena memang didikan agama yang baik dari kedua orangtuanya. Namun dalam perkembangannya, setibanya dikota Bandung, kehidupan Hasan mulai berubah menjadi orang yang setengah-setengah terhadap agamanya. Gaya bahasa yang digunakan novel tersebut berkisar pada gaya bahasa simile (perumpamaan), metonimia, dan gaya bahasa hiperbola.

3. Keunggulan roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja banyak mengandung pesan-pesan moral dan pendidikan yang setidaknya bisa dijadikan panutan oleh para pembaca novel tersebut selain itu, juga terletak pada jalan cerita yang menarik dan sulit ditebak sehingga pembaca akan merasa tertarik untuk membaca halaman demi halaman. Selain itu, novel ini menggunakan bahasa yang cukup komunikatif sehingga mudah dipahami maknanya. Kelemahan dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja adalah terlalu banyaknya alur sampingan yang disisipkan sehingga akan membingungkan pembaca. Di samping itu juga banyak terdapat kesalahan pemakaian tanda baca dan pemakaian kata yang kurang tepat.

5.2 Saran

Dalam menganalisis roman “Atheis” tentunya kita memerlukan pemahaman tehadap karya sastra itu sendiri. Dengan menggunakan beberapa teori atau pendekatan tertentu kita mampu untuk menganalisis suatu karya sastra dengan mencermati dan merasakan secara mendalam unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Menganalisis sebuah karya sastra khususnya Roman, kita tidak cukup hanya menggunakan satu teori atau pendekatan saja. Ada baiknya kita menggunakan beberapa buah teori atau pendekatn yang masih relevan sebagai bahan perbandingan.

“Setinggi-tingginya langit, masih ada langit yang lebih tinggi lagi”. Pepatah tersebut setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa pengetahuan itu tidak ada batasnya, semakin digali maka semakin banyak yang tidak kita temukan. Bertolak dari hal tersebut maka penulis menyarankan kepada para pembaca agar tidak puas hanya dengan materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Gunakanlah buku-buku referensi yang setidaknya bisa membantu dalam pemahaman anda terkait dengan materi analisis roman dengan menggunakan pendekatan pragmatis, moral dan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Gunatama, Gede. 2006. Buku Ajar Puisi (teori, apresiasi, dan pemahaman) . Singaraja : UNDIKSHA Singaraja

Gunatama, Gede. 2004. Sastra dan Ilmu Sastra. Singaraja : IKIP Singaraja

Hardjana, Andre.1985 . Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta : PT Gramedia

Mihardja. K, Achdiat. 1994. ATHEIS. Jakarta : Balai Pustaka

Natia. 1985. Ikhtisar Teori Sastra Indonesia. Surabaya: Sinar Wijaya

Seloka Sudiara, Nyoman. 2005. Modul kritik sastra. Singaraja : IKIP negeri Singaraja

Sutresna, Ida Bagus. 2006. Prosa Fiksi. Singaraja : Undiksha Singaraja

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators