Sabtu, 02 Juli 2011

SEJARAH DAN CAKUPAN KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

1. Sejarah Sosiolinguistik
Panini (500 SM) diyakini oleh banyak linguis sebagai pelopor pengkaji sosiolinguistik. Dalam karyanya yang berjudul Astadhayayi—satu buku yang berisi tentang stilistika bahasa—pengkajian sosiolinguistik mulai mendapat perhatian. Baru beberapa abad kemudian, tepatnya pada abad 19, Schuchardt, Hasseling, dan Van Name (1869-1897) untuk pertama kalinya memulai kajian tentang dialek bahasa pedalaman Eropa dan kontak bahasa yang menghasilkan bahasa campuran. Perkembangan kajian sosiolinguistik semakin menemukan titik cerah setelah de Saussure (1857-1913) berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini, terdapat dua istilah yang masih populer hingga saat ini: langue dan parole. Tak lama berselang, langkah de Saussure ini ditindaklanjuti oleh beberapa sarjana bahasa Amerika Serikat, seperti Franz Boas, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield yang melakukan beberapa kajian bahasa, budaya, dan kognisi. Istilah sosiolinguistik digunakan pertama sekali oleh Harver Currie pada tahun 1952. Tokoh ini sebelumnya melihat kajian linguistik tidak memiliki perhatian terhadap realitas sosial. Setahun berikutnya, Weinreich (1953) menulis Language in Contact, yang diikuti dengan kemunculan karya-karya besar lain dalam bidang ini sehingga mulai saat itu sosiolinguistik menjadi ilmu yang mantap dan menarik perhatian banyak orang.
2. Fokus Kajian Sosiolinguistik
Secara umum, bahasa dipahami sebagai sistem tanda arbiter yang dipakai oleh manusia untuk tujuan komunikasi antara satu sama lain. Dengan demikian, konteks sosial dalam penggunaan bahasa menjadi sesuatu yang penting untuk dikaji. Menurut Chomsky, sosiolinguistik menyoroti segala yang dapat diperoleh dari bahasa, dengan cara apa pendekatan sosial dapat menjelaskan segala yang dikatakan dengan bahasa, oleh siapa, kepada siapa, pada saat kehadiran siapa, kapan dan di mana, atas alasan apa, dan dalam keadaan bagaimana. Sementara menurut Hymes (1971), perhatian sosiolinguistik tertuju pada kecakapan manusia dalam menggunakan bahasa dengan tepat dalam latar yang berbeda. Kajian-kajian sosiolinguistik bermanfaat untuk menyusun: (1) konsep dasar tentang guyub tutur; (2) variasi dan perubahan bahasa (dialek dan kelompok sosial); (3) kontak bahasa; (4) bahasa, kekuasaan, dan ketidaksetimbangan; (5) perencanaan, kebijakan, dan praktek bahasa; (6) bahasa dan pendidikan; (7) metode penelitian sosiolinguistik; (8) sosiolinguistik sebagai profesi.
3. Beberapa Pendekatan Ilmiah dalam Penelitian Bahasa
Ada beberapa pendekatan ilmiah yang menjadi pijakan dasar penelitian, termasuk dalam penelitian bahasa, sebagai berikut: (1) metode deduktif, yaitu penelitian bahasa yang dimulai dengan memperhatikan kebenaran abstrak bahasa yang berlaku universal, melalui perangkat aturan-aturan, hingga keberadaan fakta individual; (2) penjelasan probabilitas, yaitu penjelasan yang berupaya menjelaskan adanya hubungan sebuah bahasa tertentu atau varian bahasa tertentu dengan keanggotaan kelas sosioekonomi atau aspirasi pengguna bahasa tersebut; (3) penjelasan fungsional, yaitu penjelasan yang berupaya membuat korelasi antara bahasa dan struktur sosial; (4) penjelasan genetis, yaitu penjelasan tentang ‘hukum’ invarian dalam perkembangan bahasa manusia, sejak dari bahasa manusia prasejarah hingga ujud bahasa yang dipakai saat ini.
4. Cakupan Sosiolinguistik
Ada beberapa cakupan pembahasan dalam sosiolinguistik: (1) dialektologi dan sosiolinguistik. Dialektologi adalah kajian tentang dialek yang lebih memperhatikan fokus dan cognates daripada kebiasaan verbal yang menggunakan pendekatan diakronis. Di sisi lain, sosiolinguistik memiliki kecenderungan untuk mengadopsi pendekatan sinkronis, yang menghubungkan bentuk pilihan penutur bahasa dengan kriteria ekstralinguistik, serta memperhatikan kelompok sosial dan variabel bahasa yang digunakan; (2) retorika dan sosiolinguistik. Retorika bertujuan untuk menentukan metode persuasi yang paling baik untuk kemudian bertugas menjelaskannya. Di pihak lain, sosiolinguistik adalah deskripsi dan tujuan yang memuat keahlian-keahlian berbahasa. Perbedaan lainnya adalah, retorika berfokus pada fungsi persuasif bahasa, sementara sosiolinguistik berfokus pada kajian teks dan lisan yang berhubungan dengan topik apa saja dan memuat tujuan apapun; (3) sosiolinguistik mikro dan makro. Pendekatan sosiolinguistik mikro menekankan pada individu dalam interaksinya dalam kelompok kecil dan informal, sedangkan pendekatan sosiolinguistik makro menekankan pada level interaksi antar kelompok yang lebih besar. Sosiolinguistik mikro memperhitungkan karakteristik individu yang membedakannya dengan individu lain, sebaliknya sosiolingustik makro memperhitungkan distribusi perbedaan bahasa dalam masyarakat dan hubungannya dengan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan etnik penutur yang diteliti.

POKOK PEMBAHASAN SOSIOLINGUISTIK
Fishman (1971) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai kajian mengenai karakteristik ragam bahasa, fungsi bahasa, dan penutur bahasa. Menurutnya, ketiga faktor itu dapat berubah, saling berinteraksi, dan memodifikasi satu dengan yang lain dalam masyarakat bahasa. Ada empat jenis hubungan antara bahasa dan masyarakat (Grimshaw, 1971), seperti berikut: (1) bahasa menentukan masyarakat; (2) struktur sosial menetukan bahasa; (3) adanya co-variance antara fakta sosial dan fakta bahasa; (4) bahasa dan masyarakat ditentukan oleh faktor lain, seperti budaya, struktur abstrak, atau hakikat biologis.
1. Pendekatan dalam Sosiolinguistik
Setidaknya ada tiga pendekatan yang bisa dikemukakan di sini: (1) pendekatan de Saussure. Menurutnya, konotasi dan variasi dalam bahasa dihubungkan oleh tuturan (speech) dan individu, bukan oleh bahasa dan masyarakat. Kesuksesan sebuah komunikasi karena adanya keseragaman dan homogenitas masyarakat dalam menggunakan kode yang sama; (2) pendekatan Labov yang menekankan pada variasi bahasa. Baginya, bahasa bersifat heterogen. Kesalahpahaman antar penutur dalam komunikasi muncul karena di antara mereka tidak memiliki latar belakang sosiokultural yang sama; (3) pendekatan variasi stilistika. Dalam pendekatan ini, variasi bahasa yang dipakai oleh seorang penutur dalam berkomunikasi disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. 
2. Sosiolinguistik Mikro dan Sosiolinguistik Makro
Sosilinguistik mikro mengacu pada kajian mengenai gejala bahasa dalam konteks sosial yang ditandai oleh faktor-faktor makro yang tidak dapat tereduksi lagi. Tiga prinsip utama yang terdapat dalam hubungan interaksi antar individu dalam kelompok adalah sebagai berikut: (1) pencapaian interaksi dalam komunikasi; (2) akuisisi dan modifikasi kecakapan komunikatif; dan (3) sikap bahasa.
Adapun sosiolinguistik makro mengacu pada kajian mengenai fenomena sosiolinguistik yang mencakup variabel yang lebih besar, baik dalam jumlah populasi, wilayah penyebaran bahasa, maupun kontinuitas bahasa dari waktu ke waktu. Ada tiga utama yang patut diperhatikan dalam sosiolinguistik makro: (1) kontak bahasa; (2) konflik bahasa; (3) perubahan bahasa dan perubahan sosial. 
Dengan demikian, hubungan antara sosiolinguistik mikro dan sosiolinguistik makro dapat ditemukan dalam transmisi hubungan agennya, juga dalam proses klasifikasi dan pemetaannya. Ini bila mengikuti formulasi Bernstein. Sementara dalam formulasi Collin, hubungan di antara keduanya tidak diperlukan.
Hubungan di antara keduanya dapat disajikan dengan berpasangan seperti berikut: (1) guyub tutur berpasangan dengan repertoar individu; (2) bahasa sebagai komoditas sosial berpasangan dengan bahasa sebagai atribut individu; (3) bahasa sebagai dasar evaluasi kolektivitas sosial berpasangan dengan bahasa sebagai dasar kesempatan individu; (4) bahasa sebagai entitas yang menyebar, menyusut, dan berubah berpasangan dengan bahasa sebagai sebuah kemampuan yang dibutuhkan oleh individu dan pergeseran dalam perspektif apa pun; (5) bahasa sebagai sebuah budaya dan sistem tanda berpasangan dengan bahasa sebagai unsur hubungan individu antara pembaca dan pengarang. 
Pokok kajian sosiolinguistik dibagi menjadi dua, yaitu: mikrososiolinguistik dan makrososiolinguistik. Yang pertama mengacu ke kajian bahasa pada komunikasi antarpersonal (dari orang ke orang). Yang kedua itu merujuk ke kajian bahasa pada tingkat yang lebih tingi daripada komunikasi antarorang, yakni pada tingkat komunitas. Mikrososiolinguistik membahas tentang bentuk dan struktur bahasa di dalam kaitannya dengan komunikasi antarorang. Yang kedua membahas tentang kedwibahasaan (bilingualisme), komunitas diglostik, sikap bahasa, perencanaan bahasa, aksen, variasi bahasa, pemilihan bahasa, pemertahan dan pergeseran bahasa, bahasa dan pendidikan, dll.



SIKAP BAHASA
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktifitas, peristiwa dan orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Seseorang pun dapat menjadi ambivalen terhadap suatu target, yang berarti ia terus mengalami bias positif dan negatif terhadap sikap tertentu.
Sikap muncul dari berbagai bentuk penilaian. Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku, dan kognisi. Respon afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan individu pada sesuatu. Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang individu. Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek sikap. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya.
Bisa terdapat kaitan antara sikap dan perilaku seseorang walaupun tergantung pada faktor lain, yang kadang bersifat irasional. Sebagai contoh, seseorang yang menganggap penting transfusi darah belum tentu mendonorkan darahnya. Hal ini masuk akal bila orang tersebut takut melihat darah, yang akan menjelaskan irasionalitas tadi.
Sikap dapat mengalami perubahan sebagai akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan dapat mempengaruhi sikap tapi secara tidak langsung. Sebagai contoh, bila seseorang terlahir dengan kecenderungan menjadi ekstrovert, maka sikapnya terhadap suatu jenis musik akan terpengaruhi. Sikap seseorang juga dapat berubah akibat bujukan. Hal ini bisa terlihat saat iklan atau kampanye mempengaruhi seseorang.
            Salah seorang ahli yang membahas tentang sikap adalah Carl Jung. Ia mendefinisikan tentang sikap sebagai "kesiapan dari psike untuk bertindak atau bereaksi dengan cara tertentu". Sikap sering muncul dalam bentuk pasangan, satu disadari sedang yang lainnya tidak disadari. ("http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia_bahasa_Indonesia).

Sikap juga dapat memudahkan seseorang mempelajari bahasa kedua. Hasil penelitian Lambert at all (1968, dalam Fasold 1984:148) menunjukkan bahwa  sikap dapat mempengaruhi pemelajaran bahasa kedua. Sikap yang positif terhadap bahasa kedua memungkinkan seseorang untuk lebih cepat memahami bahasa kedua tersebut. Sebaliknya, sikap negatif terhadap bahasa kedua akan  menghalangi pemahaman bahasa kedua tersebut.
Ada dua pandangan utama mengenai sikap yaitu pandangan mentalist dan behaviorist. Menurut pandangan mentalistik, sikap adalah keadaan internal yang dibangkitkan oleh suatu stimulasi yang dapat menjadi perantara respon selanjutnya (Williams, 1974: 21). Sedangkan menurut pandangan behaviorist, sikap adalah respon yang dibuat oleh orang terhadap berbagai situasi social (Fasold, 1984: 147).
Perbedaan lain antara kedua pandangan ini adalah mengenai komponen dari sikap. Menurut Agheyisi dan Fishman (1970: 139) mentalist menganggap sikap terbagi atas tiga komponen, yaitu: kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan konatif (tindakan), sedangkan behaviorist memandang sikap sebagai unit tunggal.
Penelitian ini mengacu pada sikap terhadap aksen, bukan mengenai sikap secara umum. Beberapa studi mengenai sikap dibatasi pada sikap terhadap bahasa itu sendiri. Akan tetapi, ada juga cukup banyak studi yang memperluas definisi sikap sehingga mencakup sikap terhadap penutur suatu bahasa atau dialek tertentu (Fasold, 1984: 148).
Dialek mencakup cara pengucapan, kosakata dan struktur kalimat (Montgomery, 1995: 69). Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan kajian pada sikap terhadap aksen yang berbeda. Aksen mencakup seluruh pola pengucapan khusus dari suatu daerah atau kelompok sosial (69). Perbedaan pengucapan dapat menjadi indikator yang kuat dari identitas regional (64). Dengan demikian, perbedaan aksen dapat digunakan untuk menunjukkan ciri-ciri bahasa Inggris Amerika dan Britania.
Sikap bahasa ditandai oleh ciri yang meliputi pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor. Di antaranya ada yang berkaitan dengan topic pembicaraan, kelas sosial masyarakat pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, dan situasi pemakaian.


PENELITIAN-PENELITIAN MENGENAI SIKAP BAHASA
1. Sikap Mahasiswa Program S1 Sastra Inggris,  Fakultas Sastra, Universitas Airlangga Terhadap  Aksen Bahasa Inggris Amerika Dan Britania  Suatu Kajian Sosiolinguistik
Oleh   
deny arnos kwary, s.s. dan dra. ida nurul chasanah, s.s.,m.hum.
 lembaga penelitian universitas airlangga (2005)
Di Indonesia setidaknya ada tiga peneliti yang pernah membahas mengenai sikap bahasa, yaitu: Asim Gunarwan (1983), Anton M Moeliono (1988) dan Basuki Suhardi (1991). Ketiga peneliti tersebut lebih memfokuskan pada sikap terhadap bahasa Indonesia. Gunarwan (1983) meneliti sikap bahasa mahasiswa Indonesia terhadap bahasa Indonesia baku dan non baku. Moeliono (1988) menemukan enam sikap negatif yang kurang menguntungkan dalam pembakuan bahasa Indonesia. Suhardi (1991) meneliti sikap mahasiswa dan sarjana terhadap bahasa Indonesia, bahasa ibu dan bahasa Asing. Penelitian Suhardi (1991) mengenai sikap terhadap bahasa asing, hanya memfokuskan pada sikap terhadap bahasa Inggris secara umum. Penelitian tersebut tidak membahas mengenai sikap terhadap dua ragam bahasa Inggris yang berbeda dan tidak melihat pada berbagai dimensi psikologi sosial, misalnya status, kekuasaan, solidaritas, dan kompetensi.
Penelitian ini difokuskan pada sikap terhadap aksen bahasa Inggris Amerika dan Britania. Menurut Montgomery (1995:69) aksen mengacu pada seluruh pola pengucapan khusus oleh orang-orang dari daerah tertentu atau kelompok sosial tertentu. Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, dengan jumlah penutur sekitar 1,5 miliar (Crystal, 1997), menyebabkan adanya berbagai variasi aksen bahasa Inggris menurut negara penuturnya. Variasi bahasa Inggris yang paling dominan adalah variasi bahasa Inggris Amerika (American English), yang disebut juga General American, dan bahasa Inggris Britania (British English), yang disebut juga Received Pronunciation. Fromkin dan Rodman (1998: 430) menemukan bahwa aksen bahasa Inggris Britania berbeda secara sistematis dari yang diucapkan dalam bahasa Inggris Amerika. Contohnya: 48% orang Amerika mengucapkan konsonan tengah dalam kata luxury dengan bunyi tidak bersuara, sementara 96% orang Inggris mengucapkannya dengan bunyi bersuara .
Penelitian ini memfokuskan pada sikap mahasiswa program studi Sastra Inggris di Universitas Airlangga terhadap aksen bahasa Inggris Amerika dan Britania. Sikap bahasa mereka akan dinilai berdasarkan empat dimensi dasar yang dapat dibagi dalam 22 personality traits ‘ciri kepribadian’. Keempat dimensi dasar tersebut adalah status, power ‘kekuasaan’, solidarity ‘solidaritas’, dan competence ‘kompetensi’. Penjelasan lebih lanjut mengenai 22 personality traits yang mengisi keempat dimensi ini dapat dilihat pada bagian Landasan Teori.
Peneliti memilih mahasiswa program studi Sastra Inggris sebagai populsi penelitian ini dengan asumsi dasar bahwa bahwa para mahasiswa tersebut berhubungan erat dengan pemelajaran bahasa Inggris dan cukup dapat membedakan aksen bahasa Inggris Amerika dan Britania. Menurut aspek biologis, pendidikan untuk mahasiswa dapat dikategorikan dalam pendidikan orang dewasa (Brookfield, 1984). Peran mahasiswa dalam pembangunan Indonesia sangat penting. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan tinggi bertugas menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional, yang dapat menerapkan serta mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
Khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian dapat diperkaya dengan pemahaman bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional. Proses pemahaman bahasa Inggris dapat diakselerasikan jika kita mengetahui variasi bahasa Inggris yang lebih disukai oleh para pelajar pada umumnya, dan mahasiswa program studi S1 Sastra Inggris pada khususnya, karena sikap terhadap suatu bahasa dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pembelajaran bahasa.


2.. Sikap Bahasa Guru Sekolah Dasar Di Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri Terhadap Bahasa Indonesia
Oleh :
Meirwandina Putra
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah sikap bahasa guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran terhadap bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas? (2) Adakah perbedaan sikap bahasa guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran terhadap bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya? Tujuan penelitian ini ialah memperoleh gambaran tentang bagaimana sesungguhnya sikap bahasa dari masyarakat tutur kita sekarang ini terhadap bahasa Indonesia. Sesuai dengan subjek yang dikaji, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran sikap bahasa dari masyarakat tutur guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Lebih khusus lagi, yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa jauh sikap positif terhadap bahasa Indonesia, khususnya terhadap bahasa Indonesia ragam baku saat kegiatan belajar mengajar berdasarkan kelas yang diajarnya dan latar belakang pendidikan guru tersebut. Lebih jauh lagi, penelitian ini bertujuan memerikan pengaruh variabel jenis kelamin.usia, dan pendidikan terhadap sikap bahasa guru sekolah dasar tersebut. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan sikap responden terhadap bahasa Indonesia. Data tersebut diperoleh dengan menerapkan dua teknik, yaitu: menyebar kuesioner kepada responden, sebagai data pokok dan wawancara, sebagai data penunjang. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif sekaligus kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal, yakni: (1) Guru sekolah dasar menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, khususnya bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, (2) Sikap bahasa guru sekolah dasar terhadap bahasa Indonesia, khususnya bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Terdapat perbedaan sikap bahasa guru sekolah dasar terhadap bahasa Indonesia berdasarkan variabel-variabel tersebut. Guru laki-laki menunjukkan sikap lebih positif daripada guru perempuan. Dipandang dari tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan mereka, semakin positif sikap bahasanya. Guru dengan tingkat pendidikan strata satu menunjukkan sikap lebih positif daripada guru dengan tingkat pendidikan diploma dua.



3. Sikap Bahasa Mahasiswa STBA Harapan Medan Terhadap Penutur Bahasa Indonesia Beraksen Jawa, Minang, Batak, Aceh, Dan Hokien
(Suatu Kajian Sosiolinguistik)
Paiman Yusdarsono
Program Pasca Sarjana, Program Studi Linguistik, Universitas Sumatera Utara
Tesis ini berjudul “Sikap Bahasa Mahasiswa STBA Harapan Medan Terhadap Penutur Bahasa Indonesia Beraksen Jawa, Minang, Batak, Aceh dan Hokien (Suatu Kajian Sosiolinguistik).
Penelitian ini adalah suatu kajian sikap bahasa yang bertujuan mengetahui, jawaban tentang sikap bahasa mahasiswa STBA Harapan Medan terhadap penutur bahasa Indonesia Beraksen Jawa, Minang, Batak, Aceh dan Hokien. Dan mengetahui sikap bahasa terhadap karakteristik penutur bahasa daerah tersebut.
Data dikumpulkan lewat angket yang disebarkan kepada 160 orang responden. Data dihitung berdasarkan skala 6 yaitu: (1) paling (positif) (2) lebih (positif) (3) positif (4) negatif (5) lebih (negatif), dalam bentuk penjumlahan (Xi), nilai rata-rata (mean), dan standar deviasi (SD).
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa sikap bahasa responden (mahasiswa STBA Harapan Medan) terhadap penutur bahasa Indonesia beraksen jawa adalah negatif (3.06), beraksen Minang, adalah negatif (3.35), beraksen batak adalah positif (3.50), beraksen aceh adalah positif (3.51), beraksen Hokien adalah positif (3.67).

4. Sikap bahasa guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri terhadap Bahasa Indonesia
Oleh Meirwandina Putra
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah sikap bahasa guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran terhadap bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas? (2) Adakah perbedaan sikap bahasa guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran terhadap bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya? Tujuan penelitian ini ialah memperoleh gambaran tentang bagaimana sesungguhnya sikap bahasa dari masyarakat tutur kita sekarang ini terhadap bahasa Indonesia. Sesuai dengan subjek yang dikaji, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran sikap bahasa dari masyarakat tutur guru sekolah dasar di Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Lebih khusus lagi, yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa jauh sikap positif terhadap bahasa Indonesia, khususnya terhadap bahasa Indonesia ragam baku saat kegiatan belajar mengajar berdasarkan kelas yang diajarnya dan latar belakang pendidikan guru tersebut. Lebih jauh lagi, penelitian ini bertujuan memerikan pengaruh variabel jenis kelamin.usia, dan pendidikan terhadap sikap bahasa guru sekolah dasar tersebut. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan sikap responden terhadap bahasa Indonesia. Data tersebut diperoleh dengan menerapkan dua teknik, yaitu: menyebar kuesioner kepada responden, sebagai data pokok dan wawancara, sebagai data penunjang. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kuantitatif sekaligus kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal, yakni: (1) Guru sekolah dasar menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, khususnya bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, (2) Sikap bahasa guru sekolah dasar terhadap bahasa Indonesia, khususnya bahasa Indonesia ragam baku dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Terdapat perbedaan sikap bahasa guru sekolah dasar terhadap bahasa Indonesia berdasarkan variabel-variabel tersebut. Guru laki-laki menunjukkan sikap lebih positif daripada guru perempuan. Dipandang dari tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan mereka, semakin positif sikap bahasanya. Guru dengan tingkat pendidikan strata satu menunjukkan sikap lebih positif daripada guru dengan tingkat pendidikan diploma dua.

KESANTUNAN BERBAHASA: SARANA EFEKTIVITAS BERKOMUNIKASI MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS V B

B. LATAR BELAKANG
Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Selain itu seiring berkembangnya globalisasi, masyarakat Indonesia telah menjauh dari ansur-unsur kebudayaan dan moral yang melatarbelakanginya. Masyarakat Indonesia hanya ingin serba praktis. Mereka tak pernah lagi memperhatikan kaidah dan sopan sntun berbahasa dalam keseharian. Mereka hanya memperhatikan efektivitas dan kecepatan, karena mereka selalu dikejar-kejar oleh waktu. Mereka tidak pernah mengetahui unsure kesantunan dalam berbahasa sebagai hal yang sangat penting.
Dalam undang-undang dasar bab XV, pasal 36 dan penjelasannya dinyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara yang dipergunakan sebagai alat perhubungan dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya.
Mengingat bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan, secara otomatis diimplisitkan bahwa manusia yang merupakan makhluk multidimensional itu ternyata tidak bisa hidup sendirian termasuk dalam kegiatan bertutur. Kegiatan bertutur berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Kegiatan bertutur ini merupakan ciri yang menandai kehidupan kita dalam bermasyarakat dan berbudaya.
Setiap manusia pasti berusaha dan ingin selalu mengaktualisasikan dirinya untuk menjaga prestise yang baik melalui tingkat kesantunan atau kesopanan. Strategi kesantunan atau kesopanan merupakan alat untuk menjaga kesamaan harmoni dan keeratan antarmanusia.
Namun, ada kecenderungan yang berkembang pesat dewasa ini. Sebagai manusi yang sudah terpengaruh dan terikat dengan perkembangan teknologi, masyarakat Indonesia pada umumnya telah banyak yang meulupakan kaidah-kaidah komunikasi yang mencakup sopan santun dalam berkomunikasi. Padahal sebagai masyarakat timur, kita dituntut memegang teguh sopan santun dan adat budaya yang sudah menjadi darah daging bangsa kita.
Kecenderungan seperti ini jika dibiarkan terus menerus terjadi, dikhawatirkan akan menghilangkan cirri ketimuran masyarakat kita. Sopan santun dalam berkomunikasi selain sebagai salah satu budaya kita, sopan santundalam berkomunikasi juga akan membantu kita dalam kegiatan berkomunikasi.

1
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk kesantunan berbahasa verbal mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas V B.

D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah mengetahui bentuk kesantunan berbahasa verbal mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas V B.



E. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi beberapa pihak.
1. bagi guru bahasa Indonesia, sebagai bahan untuk memperoleh informasi tentang pengaruh kesantunan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu mencapai tujuan komunikasi yang diinginkan dalam kegiatan pembelajaran,
2. bagi calon guru bahasa Indonesia, sebagai bahan pertimbangan dan renungan dalam melakukan komunikasi di dalam kelas, sehingga kegiatan komunikasi dapatberjalan secara lancer dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan,
3. bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan informasi dalam mengambil kebijakan tentang perumusan materi pelajaran bahasa Indonesia yang berorientasi pada penguasaan tingkat kesantunan
4. bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi atau bandingan untuk melakukan penelitian lain yang mengambil objek kemampuan berbahasa dan penguasaan tingkat kesantunan, agar penelitian yang hendak dikaji memiliki cirri dan kekhasan
5. bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran, khususnya sosiolinguistik yang mengkaji kesantunan sebuah bahasa.

F. LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kelas, pada saat, sebelum, atau setelah kegiatan perkuliahan berlangsung. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas V B. sedangkan objek penelitiannya adalah kesantunan berbahasa serta pengaruhnya terhadap efektivitas berkomunikasi.

G. LANDASAN TEORI
1. Pengertian Bahasa
Bahasa dipandang sebagai suatu kesemestaan dari data-data yang teramati secara sistematik (Alwasilah, 1993:83). Wuwur (1990:203) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat pengukur nilai seseorang dalam hubungan antarmanusia serta nafas dari jiwa manusia, sebuah batu loncatan emas menuju keberhasilan dalam hidup dan karya; penampakan luar dari roh; pengenal material dari sinar kepribadian.
Bahasa merupakan suatu alat untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan kemauan yang murni manusiawi dan tidak instingtif dengan pertolongan sistem lambang-lambang yang diciptakan dengan sengaja (Tarigan, 1985:15).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah suatu alat yang dipergunakan sebagai indikator berhasil tidaknya seseorang dalam membina suatu hubungan antarmanusia dengan menciptakan lambang-lambang sebagai suatu ajang pengungkapan data-data yang teramati secara sistematik.
2. Fungsi Bahasa sebagai Sarana Komunikasi
Bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga; antardaerah; dan antarbudaya, (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa (Zaenal dan Amran, 1985:12)
Fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi tidak lain sebagai lem perekat dalam menyatupadukan keluarga, masyarakat dalam kegiatan sosialisasi (Alwasilah, 1993:89) Menurut Jacobson (dalam Alwasilah Chaedar, 1993:89) menyatakan beberapa fungsi ujaran sebagai alat komunikasi.
1. Emotive speech
Ujaran yang berfungsi psikologis, yaitu dalam menyatakan perasaan, sikap, emosi si penutur
2. Phatic speech
Ujaran berfungsi melihat hubungan sosial dan berlaku pada suasana tertentu
3. Cognitive speech
Ujaran yang mengacu kepada dunia yang sesungguhnya yang sering diberi istilah denotative atau informative
4. Rhetorical speech
Ujaran berfungsi memengaruhi dan mengondisikan pikiran dan tingkah laku para penanggap tutur.
5. Metalingual speech
Ujaran berfungsi untuk membicarakan bahasa. Ini adalah jenis ujaran yang paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi
6. Poetic speech
Ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengistimewakan nilai-nilai estetiknya
Konrad, Lorenz (dalam Wuwur Hendrikus, 1990:46) mengatakan bahwa apa yang diucapkan tidak berarti juga didengar, tidak berarti juga dimengerti, apa yang dimengerti tidak berarti juga disetujui, apa yang disetujui tidak berarti juga diterima, apa yang diterima tidak berarti juga dihayati, apa yang dihayati tidak berarti juga mengubah tingkah laku.
Oleh karena itu, fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi tidak lain agar apa yang diucapkan dapat didengar, apa yang didengar dapat dimengerti, apa yang dimengerti dapat disetujui, ap yang disetujui dapat diterima, apa yang diterima dapat dihayati dan apa yang dihayati dapat mengubah tingkah laku.

3. Pengertian Berbicara
Larry King (dalam Wendra, 2005:3) menyatakan bahwa berbicara merupakan bentuk komunikasi yang paling esensial yang membedakan manusia dengan yang lainnya sebagai suatu spesies.
Tarigan (1985:15) menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Tarigan (dalam Yulianingsih, 2007:2) menyatakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Mulgrave (dalam Tarigan, 1985:15) menyatakan bahwa berbicara itu lebih daripada hanya sekadar pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang sangat diperlukan dalam suatu proses sebagai suatu aktivitas berbahasa dengan pengimplementasian segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan.

4. Tujuan Berbicara
Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang penting dikuasai oleh siswa dalam proses komunikasi. Keterampilan berbicara tidak akan terlepas dari keterampilan social. Keterampilan sosial yang dimaksud adalah kemampuan untuk berpartisipasi secara efektif dalam hubungan-hubungan masyarakat (Wendra, 2005:10). Keterampilan sosial ini menuntut pembicara mengetahui :
1. apa yang harus dikatakan
2. bagaimana cara mengatakannya
3. apabila mengatakannya
4. kapan tidak mengatakannya

Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengarnya dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan baik secara umum maupun perseorangan (Tarigan, 1985:15)

5. Faktor-faktor Penunjang Keberasilan Berbicara
Palman (dalam Ardiari, 2007:16) mengemukakan bahwa keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam berbicara meliputi (1) pengucapan bunyi bahasa dengan baik dan jelas, (2) pengucapan kata-kata dengan betul, (3) menyatakan sesuatu dengan jelas sehingga jelas perbedaannya yang menyenangkan, (4) sikap berbicara yang baik, (5) mempunyai nada berbicara yang menyenangkan, (6) menggunakan kata-kata secara tepat sesuai dengan maksud yang ditanyakan, (7) menggunakan kalimat dengan efektif, (8) mengorganisasi pokok-pokok pikiran dengan baik, (9) mengetahui kapan ia harus berbicara, dan kapan ia harus mendengarkan lawan bicara, (10) berbicara secara bijaksana dan mendengarkan pembicaraan dengan sopan.

6. Etika Komunikasi
Secara etimologis, kata etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dn kewajiban moral, (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Maka etika komunikasi akan mengandung pengertian cara berkomunikasi yang sesuai dengan standar nilai akhlak (Mafri, 1999:33).
Asal “etika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak atau adat. “Etika” juga memiliki arti yang sama dengan kata “kesusilaan”. Jadi etika berarti kelakuan yang menuruti norma-norma kehidupan yang baik (Djaja, 2004:17).

7. Pengertian kesantunan
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingg kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

8. Jenis Kesantunan
Berdasarkan butir terakhir itu, kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunn itu.
Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.
Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Mmasing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan "jigrang" ketika mengikuti kuliah dosen,bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tida sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Tatacara berbahasa seseorang diengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

9. Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersmaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pad diri sendiri.
Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnay, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang todak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Berkut ini contoh yang memperlihatkan bahwa si A mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang baru saja lulus magister dengan predikat cumlaud dan tepat waktu, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.
A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaud.
Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oelh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung.
- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme, misalnya sebagai berikut.
- Pak, mohon izin sebentar, sya mau buang air besar.
Atau, yang lebih halus lagi:
- Pak,mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
Atau, yang peling halus:
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.
Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata "miskin" diganti dengan "prasejahtera", "kelaparan" diganti dengan "busung lapar", "penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan" diganti "dirumahkan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbcara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.
(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda amau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?

Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkanoleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4)-lah yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4).
Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur. Percakapan via telepon antara mahasiswi dan istri dosen berikut merupakan contoh kekurangsopanan.
Mahasiswi : Halo, ini rumah Supomo, ya?
Istri : Betul.
Mahasiswi : Ini adiknya, ya?
Istri : Bukan, istrinya. Ini siapa?
Mahasiswi : Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing saya. Sudah janjian dengan saya di kampus. Kok saya tunggu-tunggu tidak ada.
Istri : Oh, begitu, toh.
Mahasiswi : Ya, sudah, kalau begitu.
(Telepon langsung ditutup.)
Istri dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa yang baru saja bertelepon itu tidak sopan, hanya karena si mahasiswa tidak mengikuti norma kesantunan berbahasa, yaitu tidak menggunakan kata sapaan ketika menyebut nama dosennya. Bahasa mahasiswa seperti itu bisa saja tepat di masyarakat penutur bahasa lain, tetapi di masyarakat penutur bahasa Indonesia dinilai kurang (bahkan tidak) santun. Oleh karena itu, pantas saja kalau istri dosen tersebut muncul rasa jengkel setelah menerima telepon mahasiswi itu. Ditambah lagi tatacara bertelepon mahasiswi yang juga tidak mengikuti tatakram, yaitu tidak menunjukkan identitas atau nama sebelumnya dan diakhiri tanpa ucapan penutup terima kasih atau salam.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, oemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia kaena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.

10. Aspek-aspek Non-linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi,maka selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa.
Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.
Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!".
Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinetik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinetik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan bwerkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan bernagkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil bwrjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.
Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertikarkan,maka akan terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Mamsih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemika ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinetik, dan prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi deperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi. Yang penting, bagaimana ketiga unsur bisa menciptakan situasi komunikasi yang tidak menimbulkan salah paham dan ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.
Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Mialnya, sewaktu ada acara yang memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau terpaka menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau suara diperkecil.
Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.
11. Kesantunan dalam Komunikasi
Kesopanan adalah suatu system hubungan antarmanusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungn dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia (George, 2006:183)
Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain (George, 2006:104). Sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang boleh dinamakan diri dan lain (Geoffrey, 1982:206). Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim. (1) Maksim kebijaksanaan, (2) Maksim kemurahan, (3) Maksim penerimaan, (4) Maksim kerendahhatian, (5) Maksim kecocokan, (6) Maksim kesimpatian.

(1).Maksim kebijaksanaan
Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya.
(2). Maksim Kemurahan
Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
(3). Maksim Penerimaan
Maksim penerimaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
(4). Maksim Kerendahan Hati
Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahat hati berpusat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
(5). Maksim Kecocokan
Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
(6). Maksim Kesimpatian
Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

12. Fungsi kesantunan dalam Komunikasi
Memperlakukan lawan tutur secara wajar tidak dilakukan secara semena-mena. Strategi pemilihan bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda-beda agar lawan tutur tidak kehilangan ‘muka’ atau agar tuturan itu tidak menimbulkan ‘muka negatif’, selalu dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-parameter yang terdiri dari parameter jarak sosial, parameter status sosial, dan parameter peringkat tindak tutur (Wijana, 1996:69)
Goffman (dalam Wijana, 1996:63) menyatakan bahwa dalam percakapan yang kooperatif para peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya. Pada saat kita berusaha untuk menyelamatkan wajah orang lain, kita dapat memerhatikan keinginan wajah positif atau wajah negative mereka (George, 2006:107).

H. METODE PENELITIAN
Suatu penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak tergantung dari data yang diperoleh. Kualitas suatu penelitian juga didukung pula oleh proses pengolahan yang dilakukan. Oleh sebab itu, variabel yang digunakan, alat-alat pengumpulan data, desain penelitian, dan alat-alat analisis serta hal-hal yang dianggap perlu dalam penelitian harus tersedia. Metode penelitian dianggap paling penting dalam menilai kualitas hasil penelitian. Keabsahan suatu penelitian ditentukan oleh metode penelitian. Pemilihan metode penelitian sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian. Metode penelitian merupakan cara yang digunakan untuk menentukan arah, kemana penelitian itu. Maka metode sangat penting untuk memecahkan masalah dalam penelitian, di samping teori-teori yang disajikan dalam penelitian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Rancangan penelitian, 2) Subjek penelitian, 3) Objek penelitian, 4) Metode pengumpulan data, 5) Instrumen penelitian, dan 6) Metode analisis data.


Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan atau pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. (Margono : 2003). Penelitian kualitatif digunakan untuk mempreroleh gambaran yang jelas, objektif, sistematis dan cermat mengenai fakta-faktayang didapat dari sifat populasi tertentu.
Dalam penelitian ini data yang diperoleh tidak digunakan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan dalam bentuk kata-kata (kualitatif). Penelitian kualitatif memperoleh data dari lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung tanpa dilakukan perubahan data dan intervensi dari peneliti. Peneliti terjun langsung ke lapangan mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik simpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan dan mendeskripsikan seberapa besar pengaruh kesantunan berbahasa terhadap efektivitas komunikasi.

Subjek Penelitian
Yang dimaksud dengan subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variable melekat, dan yang dipermasalahkan dalam penelitian (Wendra, 2007:32). Subjek penelitian mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam penelitian karena pada subjek penelitian itulah data tentang variabel yang diteliti berada dan diamati oleh peneliti. Berdasarkan pengertian di atas, subjek dalam penelitian ini adalah orang tempat variabel melekat. Jadi, yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas V B.
Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan hal yang dikaji dalam penelitian tersebut. Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono, 2007:38) menyatakan bahwa secara teoritis variable dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau objek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain. Kerlinger (dalam Sugiyono, 2007:38) juga menyatakan hal yang senada bahwa variabel adalah konstruk atau sifat yang akan dipelajari.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Objek atau variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu variabel independent dan variabel dependen. Variabel independent adalah variabel yang memngaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) atau yang biasa dikenal dengan variabel bebas. Jadi, variabel independent dalam penelitian ini adalah penguasaan tingkat kesantunan. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Jadi, variabel dependen dalam penelitian ini adalah efektivitas berbahasa..

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan memperoleh data yang diharapkan. Data yang dicari adalah untuk menjawab masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
Metode pengunpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Observasi partisipan
Observasi partisipan adalah suatu proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian oleh observasi dengan ikut ambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diteliti. Dalam observasi agar memperoleh hasil yang maksimal, penelitian melengkapi dari dengan format atau belangko pengamatan sebagai intrumen. Guna mendukung metode ini juga diterapkan teknik pancingan dan teknik rekaman.
Arikunto (dalam Suartiari, 2007:32) menyatakan bahwa observasi adalah kegiatan memerhatikan sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2007:145) juga mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Observasi yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian yang akan dilakukan adalah observasi nonpartisipan. Dalam observasi ini, peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen. Observasi atau pengamatan juga merupakan suatu aktivitas untuk koleksi data, dengan cara mengamati dan mencatat mengenai kondisi-kondisi, proses-proses dan perilaku-perilaku objek penelitian (Awangga, 2007:134). Metode ini digunakan untuk mencari data tentang peristiwa komunikasi mahasiswa yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas V B.

b. Wawancara
Wawancara (interview) adalah cara pengumpulan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula ( Margono, 2003 : 165). Ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka langsung antara pensari informasi (interviewer) dan sumer informasi ( interviewee). Wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak tersetruktur, yaitu pedomen wawancara yang hanya membuat garis bersar yang akan ditanyakan saja. Metode ini digunakan untuk mencari data pengalaman berkomunikasi mereka serta pegaruh yang ditimbulkan.

Instrumen Penilaian
Karena pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya dinamakan instrumen penelitian. Jadi, instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2007:102).
Suryaputra N. Awangga (2007:138) menyatakan bahwa instrumen adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan data, sehingga data yang didapatkan lebih baik dengan mempertimbangkan (jenis data, tingkat akurasi data, kelengkapan data, sistematika data dalam pengolahan, standar waktu yang diperlukan serta biaya).
Jumlah instrumen penelitian tergantung pada jumlah variabel penelitian yang telah ditetapkan untuk diteliti. Terkait dengan hal di atas, variabel penelitian yang telah ditetapkan adalah :
a. Variabel terikat yakni kemampuan atau keterampilan berbicara siswa
b. Variabel bebas yakni penguasaan tingkat kesantunan

Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai breikut.
1. Penelitian sebagai instrumen langsung
Penelitian adalah instrument utama pengumpulan data. Penelitian kualitatif menghendaki penelitian sebagai alat utama pengumpulan data dengan maksud agar mudah membedakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan di lapangan.
2. Pedoman observasi
3. Pedoman wawancara
4. Tepe recorder


Analisis Data
Kegiatan mengumpulkan data dalam suatu penelitian sangat membutuhkan ketelitian, kecermatan serta penyusunan program yang terperinci. Hal ini mempunyai maksud agar diperoleh data yang benar-benar relevan dengan tujuan penelitian itu sendiri. Begitu pula dalam hal metode analisis data. Metode analisis data akan tergantung kepada tipe data yang dikumpulkan. Suatu data dapat dianalisis secara statistik, dapat juga dianalisis secara nonstatistik. Jika data berwujud angka-angka, pada umumnya data itu sudah sejak semula disediakan untuk dianalisis secara statistik.
Begitu pula dengan wujud data dalam penelitian yang akan dilakukan ini. Analisis data pada dasarnya adalah membandingkan dua hal atau dua nilai variabel untuk mengetahui selisihnya atau rasionya kemudian diambil kesimpulannya, menguraikan atau memecahkan suatu keseluruhan menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih kecil agar dapat mengetahui komponen yang menonjol (memiliki nilai ekstrem), membandingkan antara komponen yang satu dengan komponen lainnya (dengan menggunakan angka selisih atau angka rasio), membandingkan salah satu atau beberapa komponen dengan keseluruhan (secara persentase), serta memperkirakan atau dengan menentukan besarnya pengaruh secara kuantitatif dari perubahan suatu (beberapa) kejadian terhadap sesuatu (beberapa) kejadian lainnya, serta memperkirakan/meramalkan kejadian lainnya (Iqbal Hasan, 2004:29).
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara deskritif kualitatif. Adapun tahapan-tahapan analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penyusunan data
Data yang diperoleh dari observasi dan dari wawancara disusun dengan rapi. Data yang didapat dengan teknik rekaman terlebih dahulu diperanskip ke dalam bentuk tulisan. Pada tahap awal ini data yang penting dan data yang memang benar-benar dibutuhkan.
2. Pengolahan data
Pertama tahap ini adalah klasifikasi data, yaitu menggolongkan data yang telah tersusun sesuai dengan katagori-katagori tertentu. Kategoroi-kategori yang dibuat berdasarkan kreterium yang tunggal. Tahap kedua adalah koding, yaitu memberikan kode-kode tertentu untuk menandai data yang terkumpul, yang terakhir adalah memberikan peringatan kepada kategori-kategori data.
3. Penyimpulan
Penyimpulan adalah tahap akhir dari analisis data, tahap ini akan ditarik simpulan sesuai dengan data yang ada.














DAFTAR PUSTAKA


Alwasilah, Chaedar, 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung : Angkasa.
Amir, Mafri, 1998. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta : PT Logos wacana Ilmu.
Mukhtar, 2007. Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah. Jambi : Gaung Persada Press.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Salam, H Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sudiana, -. Retorika Bertutur Efektif. _ : ASRI Press.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & R & D. Bandung : Alfabeta.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Wendra, 2007. Penulisan Karya Ilmiah. Singaraja : UNDIKSHA.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators