Minggu, 18 April 2010

ANALISIS PSIKOLINGUISTIK ORANG MARAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia memiliki pikiran dan perasaan. Dari perasaan maka akan timbul emosi. Emosi dapat berupa perwujudan rasa sayang, gembira, marah, dan benci. Emosi-emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku baru. Kadang-kadang mudah untuk melihat hubungan antara perasaan dan tingkah laku. Arti yang kita berikan kepada emosi itu dapat mengarahkan kita kepada tingkah laku tertentu. Makin hebat emosi, makin sukar untuk membuat keputusan apakah kita akan mengungkapkannya dan bagaimana cara mengungkapkannya.

Dari sekian wujud perasaan, rasa marah merupakan emosi yang amat sulit dikendalikan. Rasa marah menunjukkan bahwa perasaan kita sudah tersinggung oleh seseorang, bahwa sesuatu sudah tidak baik.

Rasa marah merupakan bidang kajian Psikologi. Psikologi merupakan ilmu kejiwaan. Psikologi memiliki kaitan yang erat dengan linguistik, dalam hal ini psikologi menentukan aspek berbahasa seseorang. Hal tersebut dapat kita amati lewat gerak-gerik atau tindakannya.

Sebagai salah satu contoh, yang diteliti dalam penelitian ini adalah gejala psikolinguistik orang yang sedang marah. Gejala psikolinguistik orang marah atau keadaan marah umumnya disebabkan oleh suatu permasalahan yang di alami seseorang. Permasalahan yang dialami seorang individu akan berpengaruh terhadap pikiran dan perasaan yang mengakibatnya orang tersebut marah. Rasa marah ini nantinya akan tertuang atau tercermin melalui tindakan yang masih tergolong bisa diatasi dan yang tidak bisa diatasi.

Rasa marah dalam taraf ringan masih bisa diatasi seperti, berkata –kata kasar, membanting benda dan sebagainya. Rasa marah dapat pula membawa dampak negatif yang lebih parah bagi orang-orang di sekitarnya, misalnya orang yang marah-marah tersebut tiba-tiba meninggal karena orang tersebut menderita penyakit jantung.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengadakan penelitian tentang gejala psikolinguistik orang marah. Hal tersebut penulis analisis atau teliti melalui lima aspek kajian, yang meliputi : gejala yang dapat dirunut dari psikolinguistik marah, aspek linguistik, aspek nonlinguistik, aspek pikiran, dan penyebab dari keadaan marah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Apa sajakah gejala yang dapat dirunut dari gejala psikolinguistik orang marah?

2. Bagaimanakah aspek linguistik dari gejala psikolinguistik orang marah?

3. Bagaimanakah aspek nonlinguistik dari gejala psikolinguistik orang marah?

4. Bagaimanakah aspek pikiran (kognitif ) dari gejala psikolinguistik orang marah?

5. Apakah penyebab dari gejala psikolinguistik orang marah?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui gejala yang dapat dirunut dari gejala psikolinguistik orang marah.

2. Untuk mengetahui aspek linguistik dari gejala psikolinguistik orang marah.

3. Untuk mengetahui aspek nonlinguistik dari dari gejala psikolinguistik orang marah.

4. Untuk mengetahui aspek pikiran (kognitif ) dari gejala psikolinguistik orang marah.

5. Untuk mengetahui dari gejala psikolinguistik orang marah.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi para siswa, penelitian ini akan memberi pengetahuan tentang gejala psikolinguistik orang marah.

2. Bagi peneliti, pelaksanaan penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan pengalaman tambahan yang nantinya bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

3. Bagi guru bahasa Indonesia, temuan ini dapat membuka wawasan guru dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk bahan pembelajaran bagi siswa.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Fungsi Bahasa

Bahasa adalah alat interaksi sosial, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer, 2002:33) . Dalam kajian psikolinguistik, kita menemukan bahwa bahasa itu bukan hanya memengaruhi pikiran melainkan juga berfungsi meningkatkan pikiran. Fungsi demikian itu dapat dirasakan oleh siapa saja yang ‘belajar’ melalui jasa bahasa, lisan atau tertulis.

Wardhaugh seorang pakar sosiolinguistik mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan. Namun, fungsi ini sudah mencangkup lima fungsi dasar yang menurut Kinneavy disebut fungsi ekspresi, fungsi informasi, fungsi eksplorasi, fungsi persuasi, dan fungsi entertainment. (Michel, 1967:51) dalam (Chaer, 2002:33).

Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi sosial. Ini adalah dasar (hakiki) bahasa sejak kelahirannya. Sebagai alat komunikasi, bahasa dipakai untuk berinteraksi antarwarga masyarakat bahasa itu.

Karena bahasa digunakan menusia dalam segala tindak kehidupan, sedangkan perilaku dalam kehidupan itu sangat luas dan beragam, maka fungsi-fungsi bahasa itu bisa menjadi sangat banyak sesuai dengan banyaknya tindak dan perilaku serta keperluan manusia dalam kehidupan.

2.2 Psikologi

Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. Kata psyche berarti “jiwa, roh, atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi, psikologi, secara harfiah berarti “ilmu jiwa”. Namun, kini istilah ilmu jiwa tidak digunakan lagi karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa, sehingga istilah tersebut kurang tepat. Psikologi mengkaji sisi-sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Hal tersebut dikarenakan jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara empiris (Chaer, 2002:2).

Dalam hal ini jiwa atau keadaan jiwa hanya bisa diamati melalui gejala-gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung, dan orang gembira tampak dari gerak-geriknya yang riang. Meskipun demikian, kita juga sering mendapat kesulitan untuk mengetahui keadaan jiwa seorang dengan hanya melihat tingkah lakunya saja.

Psikologi telah terbagi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang behavioristik, dan kognitifistik.

Psikologi yang mentalistik aliran yang disebut psikologi kesadaran yang tujuan utamanya adalah mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Psikologi kesadaran ini disebut juga psikologi introspeksinisme. Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi prilaku. Tujuan utama psikologi prilaku ini adalah mencoba mengkaji prilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi serta mengontrol prilaku itu. Para pakar psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses-proses akal yang membangkitkan perilaku tersebut karena proses-proses akal ini tidak dapat diamati atau diobservasi secara langsung. Jadi, para pakar psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide-ide, pengertian, kemauan, keinginan, maksud, pengharapan, dan segala mekanisme fisiologi. Yang dikaji hanyalah peristiwa-peristiwa yang dapat diamati, yang nayat dan konkret, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia.

Psikologi yang kognitif disebut juga psikologi kognitif. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah bagaiaman cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan bahasa.

2.3 Linguistik

Linguistik diartikan ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya (Chaer, 2002: 3). Linguistik sangat luas kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa melihat berbagai cabang linguistik. Pertama, menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua, yaitu linguistik mikro yang menkaji struktur internal bahasa itu sendiri, sedangkan linguistik makro adalah linguistik yang bidang kajiannya adalah faktor di luar bahasa. Kedua, menurut kajiannya ada dua yaitu linguistik teoritis dan linguistik terapan. Ketiga, ada dua yaitu linguistik sejarah dan sejarah linguistik.

Dalam kaitannya dengan psikologi, linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang mencoba mempelajari hakikat bahasa, strutur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaiman bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari lingusitik, sedangkanlinguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi (Chaer, 2002: 5).

2.4 Psikolinguistik

Menurut Harley (dalam Soenjono : Psikolinguistik, 2003 :7) menyebut psikolinguistik sebagai suatu “ studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa.” Psikolinguistik menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Dalam prakteknya psikolinguistik pada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan, dan kemultibahsaan, penyakit bertutur seperti gagap, afasia, serta masalah sosial lain yang menyangkut bahasa.

2.5 Proses Kognitif

Proses kognitif adalah proses untuk memperoleh pengetahuan di dalam kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman indrawi artinya bahwa proses kognitif melibatkan panca indra kita yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan, dan pendengaran, di samping kesadaraan dan perasaan. Hasil dari berbagai perasaan seperti senang atau sedih diekspresikan dengan kata-kata.

2.6 Teori Wilhem Von Humboldt

Wilhem Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Naksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu.

Mengenai bahas itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu sendiri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).

Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk luar, sedangkan pikiran adalah bentuk dalam. Bentuk luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang “membelenggu” manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam (otak pemikiran) penutur bahasa itu. Manusia hidup dengan dunia seluruhnya sebagaimana bahasa menyuguhkan atau memberikannya.

2.7 Teori Noam Chomsky

Menurut Chomsky untuk dapat menyusun tata bahasa dari suatu bahasa yang masih hidup (masih digunakan dan ada penururannya) haruslah ada suatu teori umum mengenai apa yang membentuk tata bahasa itu. Teori umum itu adalah satu teori ilmiah yang disusun berdasarkan satu korpus ujaran data lingual / informasi yang dihasilkan oleh para bahasawan asli bahasa itu. Dengan korpus ujaran itu dapat diatrik kesimpulan – kesimpulan umum atau kaidah – kaidah umum tata bahasa yang dapat digunakan untuk memprediksikan semua ujaran (kalimat) yang dapat dihasilkan oleh seorang penutur asli bahasa itu. Begitu pun teori ini harus bisa digunakan untuk menerangkan kalimat – kalimat baru yang bisa dihasilkan oleh seorang penutur pada satu kesempatan yang sesuai. Sedangkan penutur lain dapat memahaminya dengan segera, meskipun kalimat itu juga baru bagi mereka (Chomsky 1969 :7). Dalam hal ini bisa juga dikatakan kalau kita menguasai suatu bahasa dengan baik, karena kita menjadi penutur bahasa itu, maka kita dapat menghasilkan kalimat – kalimat baru seperti disebutkan di atas yang jumlahnya tidak terbatas. Kalimat – kalimat baru yang jumlahnya tidak terbatas itu tidak mungkin dapat diperoleh dengan teori S – R (stimulus – respons)-nya kaum behaviorisme seperti yang dikemukakan oleh Bloomfield karena kita tidak mungkin pernah mendengar kalimat – kalimat baru yang jumlahnya tidak terbatas.

Tampaknya teori linguistik Chomsky menyangkut adanya pasangan penutur – pendengar yang ideal di dalam sebuah masyarakat tutur yang betul – betul merata dan sama. Keduanya, penutur dan pendengar itu, harus mengetahui dan menguasai bahasannya dengan baik. Terjadinya suatu tidak tutur memerlukan adanya interaksi dari berbagai paktor. Dalam hal ini kompetensi atau kecakapan linguistik dari penurut – penutur yang menyokong terjadinya tuturan tadi, hanyalah merupakan satu faktor saja.

Menurut Chomsky yang penting bagi seorang linguis adalah menelaah data-data penutur (yang barupa kalimat – kalimat), kemudian menentukan sistem kaidah yang telah diterima atau dikuasai oleh penutur – pendengar dan yang dipakai dalam penuturan yan sebanarnya. Maka itu, menurut Chomsky teori linguistik itu bersifat mental karena teori ini mencoba menemukan satu realitas mental yang menyokong perilaku bahasa yang benarnya terjadi.

Menurut Chomsky perkembangan teori linguistik dan psikologi yang sangat penting dan perlu diingat dalam pengajaran bahasa adalah sebagai berikut.

1. Aspek kreatif penggunaan bahasa

2. Keabstrakan lambang – lambang linguistik

3. Keuniversalan struktur dasar linguistik

4. Peranan organisasi intelek nurani (struktur – dalam) di dalam proses kognitif/mental.

Yang dimaksud dengan aspek kreatif adalah perilaku linguistik yang biasa, bebas dari rangsangan, bersifat mencipta dan inovatif. Tiap kalimat merupakan karya baru dari kompetensi, dan bukan hasil cungkilan oleh rangsangan. Ulangan dari frase – frase pendek jarang terjadi. Hanya dalam hal – hal yang istimewa sesuai konteks keadaan menentukan kalimat yang akan dikeluarkan. Misalnya, dalam konteks perjumpaan di pagi hari melahirkan kalimat, "selama pagi". Andaikata ada kalimat yang serupa dengan kalimat yang sudah ada dalam korpus data, maka hal itu adalah karena kebetulan saja. Kalimat – kalimat yang baru itu masing-masing adalah kalimat baru yang kebetulan sama dengan kalimat lain. Kalimat – kalimat yang sama itu bukanlah hasil cungkilan rangsangan yang keluar sebagai tabiat atau kebiasan dengan cara mekanis karena kalimat itu sudah pernah didengar dan dilatihkan dulu pada waktu mempelajari bahasa itu.

Seorang penutur bahasa – ibu suatu bahasa sudah menuranikan satu tata bahasa generatif secara tidak sadar, dan tanpa disadari dia telah menguasai segala "milik" tata bahasa itu. Jadi, tugas linguis adalah menemukan dan menerangkan "milik - milik" tata bahasa yang tidak disadarinya.

Yang dimaksud dengan keabtrakan lambang – lambang linguistik adalah bahwa rumus – rumus atau kaidah – kaidah yang menentukan bentuk – bentuk kalimat dan panafsiran. Artinya yang rumit bukan merupakan sesuatu yang konkret melainkan merupakan sesuatu yang abstrak. Struktur – struktur yang telah dimanipulasi dihubungkan dengan fakta – fakta fisik dengan cara yang jauh sekali, baik dalam tataran fonologi, sintaksis, maupun sematik. Karena prinsip – prinsip yang bekerja dalam tata bahasa generatif transofrmasi ini, dan sturktur – struktur yang dimanipulasinya tidak ada hubungan dnegan fenomena – fenomena indra tertentu menurut hukum-hukum teori psikologi empiris maupun behavioris.

Yang dimaksudnya dengan keuniversalan linguistik dasar adalah prinsip – prinsip abstrak yang mendasari tata bahasa generatif transformasi ini ; dan yang tidak dapat diperoleh melalui pengalaman dan latihan. Oleh karena prinsip – prinsip ini bersifat abstrak dan tidak bisa diperoleh melalui pengalaman dan latihan, maka berarti prinsip – prinsip ini bersifat universal. Jadi, prinsip – prinsip yang mendasari setiap tata bahasa generatif transormasi bersifat universal. Maka itu, menurut Chosmky masalah utama linguistik adalah hal – hal yang universal dari linguistik itu.

Menurut Chomsky keuniversalan linguistik ini dimiliki manusia sejak lahir karena merupakan unsur atau struktur – sturktur yang tidak terpisahkan dari manusia. Semuanya bisa diterangkan berdasarkan peranan organisasi intelek nurani.

Masalah organisasi intelek nurani di dalam proses kognitif umumnya, dan di dalam pemerolehan bahasa khususnya, merupakan perkembangan baru yang snagat penting terutama dalam psikolinguistik. Prinsip – prinsip dasar organisasi linguistik adalah keuniversalan lingistik yang oleh Chomsky kemudian disebut tata bahasa universal. Tata bahasa merupakan satu sistem yang merupakan bagian dari organisasi intelek nurani yang bersifat universal. Tata bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa ; dan peranan ini sama dengan peranan yang dimainkan tata bahasa generatif transformasi, misalnya, di dalam pengenalan bentuk – bentuk fonetik sebuah kalimat karena rumus – rumus tata bahasa itu digunakan dalam analisis sintaksis kalimat itu untuk mengenal isyarat – isyarat fonetik itu.

BAB III

PEMBAHASAN

Gejala yang Dirunut Gejala Psikolinguistik Orang Marah.

Secara umum psikologi seseorang berbeda-beda. Hal ini terlihat dari setiap gejala yang dirunut misalnya pada saat seseorang marah. Kemarahan setiap orang tentunya tidak bisa ditebak secara pasti, karena gejala yang diperlihatkan kadang kala tidak sesuai dengan kenyatannya. Misalnya saja orang yang jengkel belum tentu dia marah. Orang yang marah, terkadang bisa saja tenang bahkan malah tertawa. Ini membuktikan bahwa setiap keadan jiwa seseorang berbeda – beda.

Berdasarkan objek yang diteliti yaitu gejala psikolinguistik orang marah, adapun identitas dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Nama : Ni Luh Ari Susanti

Alamat : Br. Dukuh, Ds. Dalung, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung.

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Observasi : 5 Desember 2007

2. Nama : Kadek Asdinata

Alamat : Br. Dukuh, Ds. Dalung, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung.

Umur : 19 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Observasi : 23 September 2007

Dari hasil observasi yang telah dilakukan, gejala psikolinguistik marah yang dapat dirunut adalah sebagai berikut.

Ari Susanti yang akrab dipanggil Arik adalah seorang mahasiswa di Undiksha jurusan Pendidikan Ekonomi. Arik mempunyai seorang pacar yang bernama Kadek Herman Ariasta. Seperti biasa, sekitar pukul 7 malam Arik ditelepon pacarnya. Awalnya biasa-biasa saja, tetapi terdengar nada suara Arik semakin lama semakin tinggi. Arik marah-marah kepada pacarnya dengan berujar “Brengsek” beberapa kali. Setelah itu Arik membanting pintu kamarnya. Selain itu terdengar pula suara barang pecah. Ia mengurung diri sambil menangis. Ketika teman-teman lain mengetuk pintu dan memanggil Arik, tidak ada jawaban. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Arik.

Jadi, kesimpulannya, gejala yang dapat dirunut dari keadaan marah pada sampel pertama yaitu :

1. Diam, tidak mau bicara dengan orang lain.

2. Memaki-maki atau melontarkan kata-kata kasar.

3. Membanting barang untuk melampiaskan kemarahan.

Kadek Asdinata adalah mahasiswa jurusan D3 Informatika di undiksha. Kadek Asdinata memiliki sifat yang sangat emosional, cepat tersinggung dan cepat marah. Suatu malam, Kadek menelepon ke rumah untuk meminta uang karena uang saku yang diberikan oleh orang tuanya seminggu yang lalu sudah habis. Ternyata, orang tuanya tidak memiliki uang dan mereka justru ragu kepada kadek, takut kalau uang saku yang mereka berikan bigunakan untuk hura-hura. Kadek marah-marah ditelepon dan dengan kasar membanting handphonenya ke kasur. Mukanya merah, dan langsung memukul tembok. Ketika diajak berbicara, ia hanya diam. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Asdinata, yang tidak jauh berbeda dengan subjek pertama.

Jadi, kesimpulannya, gejala yang dapat diruntut dari keadaan marah pada sampel kedua yaitu:.

1. Cemberut

2. Diam, tidak mau berbicara

3. Memukul pintu atau tembok

5.2 Aspek Linguistik dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah

Kadang kala dalam keadaan marah seseorang masih saja bisa mengungkapkan kesedihannya dengan berkata-kata sesuai dengan keinginannya entah disampaikan dengan teman dekatnya, atau bahkan berbicara sendiri tanpa disadari. Hal tersebut dikarenakan cara penyampaikan seseorang jika dalam keadaan marah berbeda-beda mengingat karekteristik setiap orang pun berbeda-beda. Dibawah ini akan disajikan aspek linguistik pada psikolinguistik marah yang diungkapkan melalui percakapan sebagai berikut.

· Pengamatan yang dilakukan pada sampel yang pertama.

Dialog yang diamati pada saat sampel ini sedang marah sebagai berikut.

Arik: “Dek, nyen to Rina?”

Kadek: “timpal ajak dek magae. Engken saying?

Arik: “dugasne maan pesu kone jak Rina to, saja?”

Kadek: “DEk jak Rina Cuma matimpal biasa.

Arik: “mun dek sing nu saying jak rik orahin gen. dek selingkuh kan jumah?”

Kadek: “sing ada, saying!”

Arik: “da Boong, brengsek!!!”

Kata-kata yang menunjukkan gejala marah adalah :

“Da boong, brengsek!!!” (kalimat tersebut diujarkan dengan nada yang tinggi/membentak)

Ciri – ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut

1. Bahasa yang diujarkan kasar

2. Bahasa yang diujarkan keras

Penggunaan bahasa dengan intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Arik dalam keadaan marah.

· Pengamatan yang dilakukan pada subjek yang kedua, yaitu Kadek Asdinata

Dialog yang diamati pada saat subjek ini sedang marah adalah sebagai berikut.

Kadek: “pak, titipin pis jak Eva, nah? Pis yange suba telah.”

Bapak: “anggon gena, dek? Dugasne kan ba baang?”

Kadek: “anggon mayah buku jak baju kelas.”

Bapak: “Seken to? Nyanan anggon dek ngawag-ngawag pise?”

Kadek: “Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak padidi.”

Kata-kata yang menunjukkan gejala marah adalah :

“Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak padidi.”

Ciri – ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut

1. Bahasa yang diujarkan kasar

2. Bahasa yang diujarkan menggunakan intonasi yang tinggi

3. Bahasa yang diujarkan terdengar sinis

Penggunaan bahasa dengan intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Ari dalam keadaan marah. Ketika dimintai maaf oleh temannya, jawaban yang diberikan oleh Ari sangat sinis. Hal tersebut juga dengan jelas bahwa Ari memperlihatkan gejala orang yang sedang marah.

Aspek Pikiran dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah

Dalam melakukan sesuatu atau mengungkapkan suatu ide pokok tentunya dipengaruhi oleh proses kognitif. Di dalam pikiran, seseorang akan memiliki suatu keinginan untuk bisa menyampaikan perasaan mereka entah itu dengan memperlihatkan tingkah laku ataupun berujar. Dari hasil observasi yang dilakukan, aspek kognitif yang dapat dicermati yaitu sebagai berikut.

1. Aspek pikiran yang mempengaruhi Arik marah yaitu Arik menduga pacarnya yang berada di Denpasar sudah tidak setia lagi, sehingga pacarnya selingkuh. Arik merasa kecewa dan dikhianati oleh pacarnya.

2. Aspek pikiran yang mempengaruhi Kadek Asdinata marah adalah alasan Kadek yang menelepon ke rumah untuk meminta uang lagi tidak dipercayai oleh orang tuanya. Kadek Asdinata merasa kecewa karena ia tidak dipercayai oleh orang tuanya sendiri.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Gejala yang dirunut dari psikolinguistik marah beranekaragam seperti diam, membentak, muka memerah, cemberut, mata melotot, dan lain sebagainya.

2. Aspek linguistik yang dikeluarkan dalam psikolinguistik marah seperti bahasa yang digunakan dalam ujaran adalah bahasa yang sangat kasar, bahasa yang diujarkan menggunakan intonasi yang tinggi, serta bahasa yang digunakan sangat sinis.

4. Aspek pikiran yang diungkapkan dari psikolinguistik marah seperti penyebab yang dapat diketahui dari gejala psikolinguistik orang marah yaitu emosi yang tidak terkontrol, situasi yang tidak mendukung, dan faktor luar yang berupa tekanan mental.

4.2 Saran

Penelitian yang penulis buat tentunya masih jauh dari “sempurna”. Ini disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Setelah membaca penelitian ini, diharapkan pembaca mencari sumber – sumber lain yang berkaitan dengan psikolinguistik marah sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki.

Daftar Pustaka

Albin, Rochelle Semmel. 1986. Emosi, Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Yogyakarta: Kanisius.

Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik (Kajian Teoritik). Jakarta: Rineka Cipta.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sears, David O dkk. 1992. Psikologi Sosial.Jakarta: Erlangga.

PEMERTAHANAN DAN SIKAP BAHASA

1. JUDUL :

Pemertahanan dan Sikap Bahasa di Kalangan Mahasiswa Asal Nusa Penida dalam Konteks Kedwibahasaan

2. IDENTITAS PENULIS

Nama : I Wayan Pariawan

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

NIM : 0612011028

Fakultas : Bahasa dan Seni

3. LATAR BELAKANG

Kenyataan menunjukan bahwa kesadaran kebahasaan masyarakat Indonesia baik secara individu maupun kelompok social adalah bilingual dan multilingual. Bahasa daerah sebagai bahasa pertama yang dikuasai dan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sebagai bahasa kedua yang dikuasai oleh masyarakat. Kenyataan keanekabahasaan masyarakat Indonesia ini dibuktikan dengan danya bahsa daerah yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi Negara. Di samping itu, masuknya bangsa asing ke Indonesia juga berdampak pada perbendaharaan bahasa masyarakat Indonesia. Bahasa asing (Inggris, Jepang, Korea, Prancis, dan lainnya) dipelajari dan dipakai berkomunikasi pada saat tertentu dalam kepentingan tertentu.

Di dalam sosiolinguistik ada asumsi yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik (Bell dalam Sumarsono, 1993:8). Bahasa tidak pernah tunggal karena bahasa itu selalu mempunyi ragam atau Variasi. Asumsi ini mengimplikasikan bahwa sosiolinguistik memandang masyarakat yang dikaji sebagai masyarakat yang beragam, setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan bahasa yang mereka pakai dalam berkomunikasi. Faktor-faktor dalam masyarakat (luar kebahasaan) memengaruhi pilihan bahasa yang digunakan oleh setiap individu, lebih-lebih pada masyarakat bilingual dan multilingual.

Dalam berkomunikasi verbal, individu yang bilingual dan multilingual akan mempertimbangkan banyak hal dalam melakukan pilihan bahasa. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pilihan bahasa antara lain siapa berbicara dengan siapa, situasinya bagaimana, serta topic apa yang dibicarakan.

Bahasa Bali sebagai salah satu bahasa daerah besar yang didukung oleh dua setengah juta lebih penuturnya. Di samping itu, bahasa Bali juga memiliki tradisi sastra dan lisan. Kondisi yang demikian ini merupakan asset kebudayaan yang sangat penting bagi upaya pengembangan kebudayaan nasional.

Pemakaian bahasa Bali sudah sangat meluas bukan saja sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga dipakai di luar lingkup rumah tangga, seperti di kantor-kantor atau dalam pertemuan resmi bagi penyuksesan program pemerintah ditingkat desa atau kelurahan.

Seperti halnya dengan bahasa daerah lai, bahasa Bali memiliki beberapa variasi. Secara umum varisi bahasa Bali itu dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) variasi temporal, (2) variasi regional, dan (3) variasi social. Variasi yang mengacu pada aspek temporal (rentang waktu tertentu) berkaitan erat dengan aspek sejarah dan perkembangan yang relative terbatas, misalnya bahasa Bali Kuno yang sering disebut bahasa Bali Mula atau bahasa (dialek) Bali Aga serta bahasa Bali Tengahan atau bahasa Bali Kawi, dan bahasa Bali Kepara yang sering disebut bahasa Bali Baru atau bahasa Bali modern (tim penyususn tata bahasa Baku bahasa Bali, 1996;1)

Variasi regional ialah variasi bahasa Bali yang ditandai oleh cirri-ciri dialektis. Berdasarkan cirri tersebut, bahasa Bali dapat dibedakan menjadi dua dialek, yaitu dialek Bali Aga dan dialek Bali dataran. Bila ditinjau lebih jauh, dialek Bali aga dan dialek Bali dataran memiliki subdialek. Berdasarkan wilayah pakainya, dialek Bali aga dpat dijadikan menjadi empat macam, yaitu:

1. Subdialek Bali aga yang terdapat di daerah tingkat II kabupaten Karangasem, seperti Bugbug, Seraya, Timrah, dan Tengenan Pagringsingan;

2. Subdialek Bali aga daerah tingkat II Kabupaten Buleleng, seperti Sembiran, Sepang, Pedawa, Sidatapa;

3. Subdialek Bali aga yang terdapat di kabupaten Bangli, seperti Sukawana, Dausa, Lateng, Siakin, Songan, dan Batur;

4. Subdialek Bali aga yang terdapat di daerah kabupaten Klungkung, seperti Nusa Penida (Jendra, 1976: 207-208 dan Sudiati; 1996:3)

Seperti halnya dialek Bali aga, dialek Bali dataran juga memiliki beberapa subdialek, yaitu subdialek yang ada di kabupaten Klungkung, Karangasem, Bangli, Badung, Tabanan, Jembrana, Gianyar dan Buleleng. (Jendra, 1976: 178-180) Setiap subdialek memiliki perbedaan, seperti pelafalan serta penekanan suku kata.

Singaraja adalah sebuah kota kecil di bagian Bali Utara tepatnya di kabupaten Buleleng dan merupakan ibukota dari kabupaten Buleleng itu sendiri. Sebagian besar orang mungkin sudah mengenal akan yang namanya pulau Bali, tapi belum tentu mengenal daerah yang satu ini. Hal ini dapat dimaklumi karena Buleleng bukanlah sebuah daerah tujuan pariwisata di Bali melainkan hanya sebuah daerah kabupaten biasa di bagian utara Bali. Jika daerah-daerah seperti Denpasar, Gianyar, Badung, dan lainnya terkenal dan hidup dari pariwisatanya, lain halnya dengan Buleleng. Buleleng adalah sebuah daerah agraris dan maritim yang mengandalkan pertanian dan nelayan sebagai pekerjaan sebagian besar penduduknya. Hal ini sesuai dengan bentuk dan topografi kabupaten Buleleng yang dikenal memiliki iklim tropis dengan garis pantai terpanjang sekaligus daerah cakupan terluas di Bali.

Namun demikian, pembangunan di kabupaten Buleleng tidaklah menjadi tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya di Bali. Buleleng telah mampu menunjukkan kemajuan pembangunan yang berimbang di dalam segenap aspek kehidupan masyarakatnya. Pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, sarana dan prasarana, semuanya telah mampu diwujudkan meskipun belum maksimal sehingga menjadikan Buleleng sebagai salah satu daerah yang sangat disegani di seantero Bali.

Singaraja yang sudah lama dikenal sebagai kota pelajar banyak dikunjungi oleh orang-orang yang ingin melanjutkan studinya. Singaraja dikenal juga sebagai gudangnya orang-orang dari berbagai kalangan yang memiliki keunikan masing-masing. Keunikan tersebut bisa kita lihat dari perbedaan dialek dari masing-masing masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Bali maupun di luar Bali.

Sudah sepantasnya sitiap orang merasa bangga dengan bahasa yang dimilikinya. Namun tidak jarang pula orang yang engga atau malu menggunakan bahasa atau dialek yang dimilikinya. Kecenderungan itu selalu ada dalam kajian sosiolinguistik. Dialek Nusa Penida, sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu dialek yang cukup unik dan sangat sulit dipahami oleh orang yang bukan penutur aslinya.

4. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan di atas, rumusan masalah yang yang dibuat sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pemertahanan bahasa di kalangan mahasiswa asal Nusa Penida dalam konteks kedwibahasan? Lebih spesifik, apakah pemertahanan bahasanya terhadap bahasa Bali ragam Singaraja dan bahasa Indonesia cenderung pasif atau aktif?

2. Bagaimana sikap bahasa mahasiswa asal Nusa Penida terhadap bahasa Bali ragam Singaraja dan bahasa Indonesia cenderung pasif atau aktif?

3. Apakah sikap bahasa dan pemertahanan memiliki korelasi?

5. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui pemertahanan bahasa di kalangan mahasiswa asal Nusa Penida dalam konteks kedwibahasan. Lebih spesifik, apakah pemertahanan bahasanya terhadap bahasa Bali ragam Singaraja dan bahasa Indonesia cenderung pasif atau aktif.

2. Untuk mengetahui sikap bahasa mahasiswa asal Nusa Penida terhadap bahasa Bali ragam Singaraja dan bahasa Indonesia cenderung pasif atau aktif.

3. Untuk mengetahui apakah ada korelasi antara sikap bahasa dan pemertahanan bahasa.

6. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak,

1. bagi dosen khusunya dosen Sosiolinguistik, dapat dijadikan bahan referensi untuk menambah pengetahuan tentang pemertahanan dan sikap bahasa kalangan mahasiswa asal Nusa Penida.

2. bagi guru bahasa Indonesia, sebagai bahan untuk memperoleh informasi tentang pemertahanan dan sikap bahasa yang merupakan bidang kajian Sosiolinguistik,

3. bagi mahasiswa, sebagai bahan untuk menambah informasi dan referensi tentang pemertahanan dan sikap bahasa yang merupakan bidang kajian Sosiolinguistik,

4. bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi atau bandingan untuk melakukan penelitian lain yang mengambil objek pemertahanan dan sikap bahasa, agar penelitian yang hendak dikaji memiliki cirri dan kekhasan

5. bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran, khususnya sosiolinguistik yang mengaji pemertahanan dan sikap bahasa.

7. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari Nusa Penida. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada komunikasi lisan antarmahasiswa asal Nusa Penida dalam berbagai ranah, serta komunikasi lisan antara mahasiswa asal Nusa Penida dengan mahasiswa yang berasal dari daerah lain.

8. LANDASAN TEORI

Penelitian yang dianggap baik harus berdasarkan teori – teori yang relevan untuk memperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan. Untuk itu dalam penelitian ini akan digunakan beberapa teori yang dianggap relevan sebagai acuan berpikir. Dengan mengetahui teori – teori, konsep – konsep serta generalisasi – generalisasi yang dijadikan landasan teoritis bagi penelitian, peneliti akan lebih mudah dalam memecahkan permasalahan yang diteliti. Adapun teori – teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

8.1 Pengertian Bahasa

Bahasa dipandang sebagai suatu kesemestaan dari data-data yang teramati secara sistematik (Alwasilah, 1993:83). Wuwur (1990:203) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat pengukur nilai seseorang dalam hubungan antarmanusia serta nafas dari jiwa manusia, sebuah batu loncatan emas menuju keberhasilan dalam hidup dan karya; penampakan luar dari roh; pengenal material dari sinar kepribadian.

Bahasa merupakan suatu alat untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan kemauan yang murni manusiawi dan tidak instingtif dengan pertolongan sistem lambang-lambang yang diciptakan dengan sengaja (Tarigan, 1985:15).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah suatu alat yang dipergunakan sebagai indikator berhasil tidaknya seseorang dalam membina suatu hubungan antarmanusia dengan menciptakan lambang-lambang sebagai suatu ajang pengungkapan data-data yang teramati secara sistematik.

8.2 Fungsi Bahasa sebagai Sarana Komunikasi

Bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat perhubungan antarwarga; antardaerah; dan antarbudaya, (4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa (Zaenal dan Amran, 1985:12)

Fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi tidak lain sebagai lem perekat dalam menyatupadukan keluarga, masyarakat dalam kegiatan sosialisasi (Alwasilah, 1993:89) Menurut Jacobson (dalam Alwasilah Chaedar, 1993:89) menyatakan beberapa fungsi ujaran sebagai alat komunikasi.

1. Emotive speech

Ujaran yang berfungsi psikologis, yaitu dalam menyatakan perasaan, sikap, emosi si penutur

2. Phatic speech

Ujaran berfungsi melihat hubungan sosial dan berlaku pada suasana tertentu

3. Cognitive speech

Ujaran yang mengacu kepada dunia yang sesungguhnya yang sering diberi istilah denotative atau informative

4. Rhetorical speech

Ujaran berfungsi memengaruhi dan mengondisikan pikiran dan tingkah laku para penanggap tutur.

5. Metalingual speech

Ujaran berfungsi untuk membicarakan bahasa. Ini adalah jenis ujaran yang paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi

6. Poetic speech

Ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengistimewakan nilai-nilai estetiknya

Konrad, Lorenz (dalam Wuwur Hendrikus, 1990:46) mengatakan bahwa apa yang diucapkan tidak berarti juga didengar, tidak berarti juga dimengerti, apa yang dimengerti tidak berarti juga disetujui, apa yang disetujui tidak berarti juga diterima, apa yang diterima tidak berarti juga dihayati, apa yang dihayati tidak berarti juga mengubah tingkah laku.

Oleh karena itu, fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi tidak lain agar apa yang diucapkan dapat didengar, apa yang didengar dapat dimengerti, apa yang dimengerti dapat disetujui, ap yang disetujui dapat diterima, apa yang diterima dapat dihayati dan apa yang dihayati dapat mengubah tingkah laku.

8.3 Sosiolinguistik dan Perilaku Bahasa

Sosiolinguistik menempatkan bahasa sebagai bagian dari system sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam berbagai situasi. Interaksi sosial tersebut akan hidup berkat adanya aktivitas bicara pada anggota pemakai bahasa. Aktivitas bicara itu akan lebih berhasil apabila didukung oleh alat-alat dan faktor lain yang turut menentukannya, antara lain faktor situasi. Perilaku berbahasa dan sikap berbahasa merupakan dua hal yang erat hubungannya, yang dapat menentukan pilihan bahasa serta kelangsungan hidup suatu bahasa. Perilaku berbahasa adalah sikap mental seseorang dalam memilih dan menggunakan bahasa. Pada dasarnya seseorang bebas memilih bahasa dan bebas pula menggunakan bahasa itu. Kebebasan ini merupakan bagian tertentu dari hak asasi manusia.

Meskipun seseorang bebas memilih dan menggunakan bahasa, tetapi ternyata banyak faktor yang membatasi seseorang dalam memilih dan menggunakan bahasa tersebut. Seseorang harus mengakui ketidakmampuannya dalam berbahasa, kedudukannya sebagai anggota keluarga, anggota kelompok, anggota masyarakat, juga terhadap perjanjian sosial dan situasi lingkungannya.

Selain itu, yang membatasi kebebasan pemakai bahasa, khususnya kesadaran dan kesetiaannya menimbulkan tanggung jawab untuk memelihara bahasa tertentu, baik bahasa asing, bahasa nasional maupun bahasa daerah. Perilaku berbahasa dan sikap berbahasa ini adalah bagian dari kegiatan masyarakat bahasa, yang kedua istilah tersebut hampir susah memberikan perbedaan yang berarti.

Namun, dengan menggarisbawahi penelitian yang telah dilakukan Sugar yang memberikan kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh 4 faktor utama yakni:

1. Sikap;

2. Norma sosial;

3. Kebiasaan; dan

4. Akibat yang mungkin terjadi.2

Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa feebiosaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi dengan demikian, jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, yang paling menentukan perilaku adalah feebiasaan. Gumpers dan Hymes menegaskan makna perilaku berbahasa atau language behauiour sebagai berikut.

The appropriate designation and definition of domain of language bchaLiiour obviously calls for considerabty insighr into sociocultural dynamics of particular multilingual speech communities. Language behauiour domains reflect not onty multilingual setting in ujhich a targe number ofactiuities bur also those multilingual setting in mhich such pcrmissiu eness is at least sought by a sizable number of interested parties.

Berdasarkan pendapat para ahli bahasa tersebut, dapat diketahui bahwa perilaku berbahasa berhubungan erat dengan dinamisnya masyarakat bahasa dalam berbagai kegiatan dan kelompok. Pemakaian bahasa juga selaras dengan latar budaya masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan hal itu Gumpers dan Hymes lebih jauh menambahkan pendapat di atas.

The dominance conjuration needed to be established to reveal the ouerall status of language choice in uarious domains of behauiour. The domains recommended Lucre the following : the family, the playground and street, the school, the church, literature, the press, the military, [he court, and the gouemmental administration."

Berdasarkan pendapat tersebut. maka pemilihan atau penggunaan bahasa terjadi dalam domain berbagai perilaku berbahasa. Ada 9 domain atau wilayah sosial pemakaian bahasa yaitu keluarga, ketompok bermain, di jalan, sekolah, gereja, sastra, wartawan, militer. pengadilan, dan administrasi pemerintahan.

Hal pertama yang terlintas ketika memikirkan pilihan bahasa adalah "bahasa keseluruhan" (whole languages). Pemilihan satu bahasa di antara sekian bahasa yang dimiliki sudah tentu didasarkan pada sikap positif perorangan terhadap bahasa yang dipilihnya.5 Sikap bahasa ditandai oleh ciri yang meliputi pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual.

Dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor. Di antaranya ada yang berkaitan dengan topic pembicaraan, kelas sosial masyarakat pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, dan situasi pemakaian. Seseorang yang berbicara dua bahasa atau lebih harus memilih yang mana yang akan digunakan, dan kadang-kadang hal ini disebut alih kode (code switching). Yang lebih lembut dari alih kode adalah campur kode (code-mining) yaitu, serpihan-serpihan satu bahasa digunakan oleh seorang penutur, namun pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang lain. 'Serpihan-serpihan bahasa yang diambil dari bahasa lain itu biasanya berupa kata-kata, tetapi juga bisa frase atau unit bahasa yang lebih besar, Apabila serpihan bahasa itu berupa kata-kata, fenomena itu disebut peminjaman (borrowing).

8.4 Sikap bahasa

Menurut Lambert, sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang merupakan kategori yang digunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik suka maupun tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu kejadian. Komponen konatif menyangkut perbuatan atau keputusan akhir, kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan. Melalui komponen ketiga inilah biasanya orang mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap sesuatu keadaan yang sedang dihadapi. Ketiga komponen ini saling berhubungan. Namun pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen ini tidak sejalan. Kalau ketiga komponen ini bisa sejalan bisa diramalkan ketiga perilaku itu menunjukkan sikap. Akan tetapi kalau tidak sejalan, perilaku tidak dapat diduga untuk mengetahui sikap.

Anderson (dalam Chaer, 2004 : 151) membagi sikap atas dua macam yaitu sikap kebahasaan dan sikap kenonbahasaan. Sikap kebahasaan adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 2004:152) mengungkapkan tiga ciri sikap bahasa, yaitu kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan mencegah adanya pengaruh bahasa lain, kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, kesadaran adanya norma bahasa, yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan tepat dan santun. Ketiga ciri yang dikemukakan tersebut merupakan ciri – ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, jika ketiga ciri sikap bahasa tersebut dilanggar oleh kelompok masyarakat tutur maka sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri orang atau kelompok masyarakat tutur itu. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi bila seorang atau kelompok masyarakat tutur tidak lagi mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sendiri.

8.5 Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa

Sumarsono (231-232 ; 2007) menyatakan bahwa pergeseran dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang: bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeserkan oleh bahasa; bahasa tergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri. Kedua kondisi ini merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh seluruh warga guyup). Pergeseran bahasa berarti, suatu guyup (komunitas) meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa lain. Bila pergeseran bahasa sudah terjadi, warga guyup itu secara kolektif memilih bahasa baru.

Dalam pemertahanan bahasa, guyup itu secara kolektif menentukan untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Ketika guyup tutur mulai memilih bahasa baru di dalam ranah yang semula diperuntukan bagi bahasa lama, itulah mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran bahasa sedang berlangsung. Jika para warga itu monolingual (ekabahasawan) dan secara kolektif tidak menghendaki bahasa lain, mereka jelas mempertahankan pola penggunaan bahasa mereka. Namun, pemertahanan bahasa itu sering merupakan cirri guyup kedwibahasa atau ekabahasa. Yang pertama akan terjadi jika guyup itu diglosik: guyup itu memperuntukan ranah tertentu untuk setiap bahasa sedemikian rupa sehingga batas ranah suatu bahasa tidak dilampaui atau diterobos oleh bahasa lain.

9. KAJIAN PUSTAKA

Kajian tentang penggunaan ragam bahasa Nusa Penida yang bersifat sosilinguistik masih jarang dilakukan.bahkan belum pernah dilakukan. Penelitian tentang pemertahanan bahasa pernah dilakukan oleh Sumarsono (1990), yaitu penelitian tentang pemertahanan penggunaan bahasa Melayu Loloan oleh masyarakat Melayu Loloan Bali, yang ternyata mampu bertahan selama berabad-abad di tengah masyarakat Bali yang menggunakan bahasa Bali.

Dalam pengumpulan data, kajian ini menggunakan metodelogi yang biasa dipakai dalam penelitian sosiolinguistik, yaitu ancangan (pendekatan) sosiologi dan metode survey. Teknik yang dipakai adalah wawancara intensif, pengumpulan dokumen, pengamatan partisipasi, dan kuesioner. Data utama yang dijaring pengakuan diri (self-report) dari tiga generasi, dengan percontoh (sampel) 290 kepala keluarga (KK), 120 anak muda (13-21 tahun), dan 28 anak usia6-12 tahun. Hal yang ditanyakan adalah tentang sikap bahasa, penguasaan, dan penggunaan bahasa yang menjada khazanah kebahasaan mereka, Bahasa Melayu Loloan (B1), Bahasa Bali (B2 lama), dan Bahasa Indonesia (B2 baru). Kuesioner ini dibarengi dengan pengamatan berpartisipasi selama enam bulan di lapangan, perekaman percakapan tokoh-tokoh masyarakat. Kuesioner lain juga ditujukan kepada warga Bali di sekira Loloan, terutama tentang sikap mereka terhadap guyup pendatang itu.

Data yang berhubungan dengan penguasaan bahasa, sikap, dan penggunaan bahasa dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tebel-tabel. Data mengenai pengakuan diri ini, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan bahasa, dianalisis dengan menggunakan table skala implikasional. Dengan tabel ini kita dapat dengan mudah melihat konfiguasi pola pengguaan bahasa pada berbagai ranah, dan sekaligus pergeseran dan pemertahanan bahasa yang terjadi.

Penelitia yang dilakukan oleh Sumarsono pada tahun 1990 memberikan hal yang baru bagi perkembangan Linguistik Indonesia. Penelitian ini merupakan titik awal perkembangan Linguistik, khususnya berkaitan dengan pergeseran dan pemertahanan bahasa. Bagi penulis, penelitian ini memberikan sebuah gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan.

Penelitian mengenai pergeseran dan pemertahanan Bahasa melayu Loloan merupakan sebuh penelitian yang bagus, dilihat dari metode yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono menggunakan berbagai pendekatan untuk memperoleh data yang diinginkan. Sebagai peneliti, Sumarsono telah mampu memberikan gambaran dan data yang cukup akurat sehingga hasil penelitian ini memiliki nilai validitas yang baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono difokuskan pada tiga generasi dalam masyarakat Loloan. Peneliti melihat hal tersebut sebagai sebuah keunggulan sekaligus kekurangan. Jika penelitian dilakukan pada tiga generasi yang berbeda, bisa kita bayangkan akan memperoleh hasil yang berbeda pada tiap generasinya.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono, penulis akan melakukan penelitian yang memiliki subjek yang berbeda dengan Sumarsono. Jika Sumarsono mengambil subyek penelitian pada tiga generasi yang berbeda, penulis akan melakukan penelitian hanya mengkhusukan pada satu generasi. Penulis hanya mengambil subyek dari satu generasi, yaitu generasi muda. Hal ini penulis lakukan karena menyadari bahwa generasi muda sangat rentan terhadap perubahan. Penulis mengasumsikan bahwa generasi muda, sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal yang baru.

Walaupun pada dasranya, penelitian yang penulis lakukan masih menggunakan metode yang digunakan oleh Sumarsono. Ini penulis lakukan untuk memperoleh data yang akurat dan memenuhi standar validitas sebuah penelitian.

10. METODE PENELITIAN

Suatu penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak tergantung dari data yang diperoleh. Kualitas suatu penelitian juga didukung pula oleh proses pengolahan yang dilakukan. Oleh sebab itu, variabel yang digunakan, alat-alat pengumpulan data, desain penelitian, dan alat-alat analisis serta hal-hal yang dianggap perlu dalam penelitian harus tersedia. Metode penelitian dianggap paling penting dalam menilai kualitas hasil penelitian. Keabsahan suatu penelitian ditentukan oleh metode penelitian. Pemilihan metode penelitian sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian. Metode penelitian merupakan cara yang digunakan untuk menentukan arah, kemana penelitian itu. Maka metode sangat penting untuk memecahkan masalah dalam penelitian, di samping teori-teori yang disajikan dalam penelitian.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Rancangan penelitian, 2) Subjek penelitian, 3) Objek penelitian, 4) Metode pengumpulan data, 5) Instrumen penelitian, dan 6) Metode analisis data.

a. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan atau pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. (Margono : 2003). Penelitian kualitatif digunakan untuk mempreroleh gambaran yang jelas, objektif, sistematis dan cermat mengenai fakta-faktayang didapat dari sifat populasi tertentu.

Dalam penelitian ini data yang diperoleh tidak digunakan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan dalam bentuk kata-kata (kualitatif). Penelitian kualitatif memperoleh data dari lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung tanpa dilakukan perubahan data dan intervensi dari peneliti. Peneliti terjun langsung ke lapangan mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik simpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan dan mendeskripsikan seberapa besar sikap bahasa serta pemertahanan bahasa mahasiswa asal Nusa Penida dalam konteks kedwibahasaan.

b. Subjek Penelitian

Yang dimaksud dengan subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variable melekat, dan yang dipermasalahkan dalam penelitian (Wendra, 2007:32). Subjek penelitian mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam penelitian karena pada subjek penelitian itulah data tentang variabel yang diteliti berada dan diamati oleh peneliti. Berdasarkan pengertian di atas, subjek dalam penelitian ini adalah orang tempat variabel melekat. Jadi, yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa asal Nusa Penida yang kuliah atau menuntut ilmu di Singaraja.

c. Objek Penelitian

Objek penelitian merupakan hal yang dikaji dalam penelitian tersebut. Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono, 2007:38) menyatakan bahwa secara teoritis variable dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau objek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain. Kerlinger (dalam Sugiyono, 2007:38) juga menyatakan hal yang senada bahwa variabel adalah konstruk atau sifat yang akan dipelajari.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Objek atau variabel dalam penelitian ini adalah pemertahanan dan sikap bahasa.

d. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan memperoleh data yang diharapkan. Data yang dicari adalah untuk menjawab masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

Metode pengunpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Angket/Kuesioner

Kuesioner merupakan metode penelitian yang harus dijawab responden untuk menyatakan pandangannya terhadap suatu persoalan. Sebaiknya pertanyaan dibuat dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti dan kalimat-kalimat pendek dengan maksud yang jelas. Penggunaan kuesioner sebagai metode pengumpulan data terdapat beberapa keuntungan, diantaranya adalah pertanyaan yang akan diajukan pada responden dapat distandarkan, responden dapat menjawab kuesioner pada waktu luangnya, pertanyaan yang diajukan dapat dipikirkan terlebih dahulu sehingga jawabannya dapat dipercaya dibandingkan dengan jawaban secara lisan, serta pertanyaan yang diajukan akan lebih tepat dan seragam. Kuesioner dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

a. Kuesioner tertutup

Setiap pertanyaan telah disertai sejumlah pilihan jawaban. Responden hanya memilih jawaban yang paling sesuai.

b. Kuesioner terbuka

Dimana tidak terdapat pilihan jawaban sehingga responden haru memformulasikan jawabannya sendiri.

c. Kuesioner kombinasi terbuka dan tertutup

Dimana pertanyaan tertutup kemudian disusul dengan pertanyaan terbuka.

d. Kuesioner semi terbuka

Pertanyaan yang jawabannya telah tersusun rapi, tetapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kuesioner semiterbuka. Hal ini peneliti lakukan untuk memperoleh data yang lebih akurat. kuesioner digunakan untuk memperoleh data tentang penguasaan bahasa serta penggunaan bahasa mahasiswa asal Nusa Penida dalam berbagai ranah.

2. Observasi partisipan

Observasi partisipan adalah suatu proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian oleh observasi dengan ikut ambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diteliti. Dalam observasi agar memperoleh hasil yang maksimal, penelitian melengkapi dari dengan format atau belangko pengamatan sebagai intrumen. Guna mendukung metode ini juga diterapkan teknik pancingan dan teknik rekaman.

Arikunto (dalam Suartiari, 2007:32) menyatakan bahwa observasi adalah kegiatan memerhatikan sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2007:145) juga mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Observasi yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian yang akan dilakukan adalah observasi nonpartisipan. Dalam observasi ini, peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen. Observasi atau pengamatan juga merupakan suatu aktivitas untuk koleksi data, dengan cara mengamati dan mencatat mengenai kondisi-kondisi, proses-proses dan perilaku-perilaku objek penelitian (Awangga, 2007:134). Metode ini digunakan untuk mencari data tentang peristiwa komunikasi mahasiswa asal Nusa Penida dalam berbagai ranah.

3. Wawancara

Wawancara (interview) adalah cara pengumpulan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula ( Margono, 2003 : 165). Ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka langsung antara pensari informasi (interviewer) dan sumer informasi ( interviewee). Wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak tersetruktur, yaitu pedomen wawancara yang hanya membuat garis bersar yang akan ditanyakan saja. Metode ini digunakan untuk mencari data pengalaman dalam berkomunikasi serta pengakuan diri tentang penggunaan bahasa serta sikap mereka terhadap bahasa diaelek Nusa Penida.

Wawancara digunakan untuk mendapatkan data secara langsung dari pihak perusahaan. yang merupakan komunikasi dari seseorang pekerja untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang diinginkan. Teknik wawancara memakan waktu dan biaya yang sangat besar untuk sampel yang cukup besar dan tersebar. Wawancara berarti komunikasi antara pewawancara dan orang yang diwawancara, hal ini cenderung menimbulkan perbedaan interpretasi antara keduanya. Namun dengan wawancara dapat diperoleh informasi lebih lengkap.

11. ANALISIS DATA

Kegiatan mengumpulkan data dalam suatu penelitian sangat membutuhkan ketelitian, kecermatan serta penyusunan program yang terperinci. Hal ini mempunyai maksud agar diperoleh data yang benar-benar relevan dengan tujuan penelitian itu sendiri. Begitu pula dalam hal metode analisis data. Metode analisis data akan tergantung kepada tipe data yang dikumpulkan. Suatu data dapat dianalisis secara statistik, dapat juga dianalisis secara nonstatistik. Jika data berwujud angka-angka, pada umumnya data itu sudah sejak semula disediakan untuk dianalisis secara statistik.

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara deskritif kualitatif. Adapun tahapan-tahapan analisis data dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Penyusunan data

Data yang diperoleh dari observasi dan dari wawancara disusun dengan rapi. Sementara itu data yang didapat dengan teknik rekaman terlebih dahulu ditranskip ke dalam bentuk tulisan.

2. Pengolahan data

Pada tahap ini hal yang dilakukan adalah klasifikasi data, yaitu menggolongkan data yang telah tersusun sesuai dengan katagori-katagori tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penulis dalam melakukan pengolahan data secara sistematis.

3. Penyimpulan

Penyimpulan adalah tahap akhir dari analisis data, pada tahap ini akan ditarik simpulan sesuai dengan data yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Awangga, 2007. Desain Proposal Penelitian. Yogyakarta : Pyramid Publisher.

Mukhtar, 2007. Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah. Jambi : Gaung Persada Press.

Rahardi, Kunjama. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sugihastuti. 2007. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & R & D. Bandung : Alfabeta.

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wendra, 2005. Keterampilan Berbicara. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.

Wendra, 2007. Penulisan Karya Ilmiah. Singaraja : UNDIKSHA.

Wijana, Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. SOSIOLINGUISTIK Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators