Senin, 07 Februari 2011

OUTBOUND SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN NASIONALISME

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peringatan HUT Republik Indonesia yang ke 64, terasa sekali betapa keringnya hingar bingar dan segala macam gejolak emosional yang ada di masyarakat. Betapa suasana pasif dan tidak kondusifnya suasana ini dari tahun ketahun. Keramaian hanya berpusat di kantor-kantor pemerintahan, itupun sekelas walikota atau kabupaten. Untuk tingkat kecamatan dan desa? Rasanya sulit untuk menjelaskan antusiasme itu besar. Kegiatan independen yang dilakukan masyarakat semakin berkurang. Atau mungkinkah karena sekarang sedang dilanda krisis ekonomi sehingga masyarakat enggan menyumbang, masyarakat disibukkan untuk mencari sesuap nasi dan biaya keluarga? Atau mungkin semakin tingginya kekecewaan terhadap para birokrat dan partai politik yang selama ini hanya mengumbar janji palsu dan menunjukkan gemerlap harta dari sisa korupsi.
Bisa jadi itu semua benar bisa jadi juga hal tersebut salah. Sudah terlalu kompleks dan sulit untuk diurai benang kusut negeri ini. Sepertinya ketika berdiskusi dan mencari solusi, semua orang akan terkendala oleh keprihatinan dan kekecewaan mendalam. Bahwa bangsa ini memiliki ekspektasi tinggi terhadap kemerdekaan setelah sekian ratus tahun dijajah oleh bangsa Eropa dan Jepang jelas menjadi eforia di awal kemerdekaan. Namun sayangnya diperjalanan sejarah bangsa ini sepertinya kesulitan untuk menentukan arah dan tujuan mengapa bangsa ini harus merdeka. Pemberontakan akibat kekecewaan dari tahun ke tahun, periode ke periode selalu terus berulang dan seolah menjadi api dalam sekam dalam sejarah bangsa ini.
Rendahnya pendidikan kebangsaan untuk menjelaskan arah dan tujuan bangsa ini semakin memperparah keadaan ini. Pendidikan kebangsaan bahkan pernah menjadi media indoktrinasi di zaman orde baru. Bahkan menjadi guru PKn seolah-olah menjadi ujung tombak dalam menjelaskan orientasi kebangsaan dan kepentingan penguasa. Hasilnya, luar biasa… setelah rezim tumbang dan disusul dengan membludaknya budaya aji mumpung di kalangan politisi, aparat negara, serta para pemilik modal di negeri ini seolah-olah menjadi pembenaran bahwa pendidikan kebangsaan selama ini telah gagal. Bahkan banyak yang berpikir untuk apa pendidikan kebangsaan ini masih dilakukan, karena selama ini pun tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Ada banyak faktor penyebab tidak maksimalnya kurikulum pendidikan kebangsaan, diantaranya:
1. Rendahnya orientasi kurikulum yang ideal dengan aplikasi yang dilaksanakan oleh para pengajar. Program yang hebat akhirnya terdampar hanya mendaji muatan kognitif yang akhirnya wawasan dan hasil psikomotor terhempas pada selembar kertas yang menjadi angka di halaman-halaman buku raport.
2. Rendahnya orientasi guru dalam mengembangkan pelajaran sehingga materi hanya sekedar sebaran informasi yang harus dihapal dan dijadikan catatan
3. Sistem pembinaan guru yang masih terbatas top-down menjadi kendala, kreatifitas dan inovasi yang muncul dari bawah seolah menjadi hal tabu dan tidak sesuai dengan kaidah keorganisasian yang ada di bawah naungan MGMP.
4. Pendekatan “kekerasan” dalam mengajar sering membangkitkan ketakutan siswa dalam melakukan eksplorasi dan mengemukakan pendapat.
Untuk itu perlu dilakukan revolusi pendidikan kewarganegaraan sehingga dapat menentukan arah bangsa ini menjadi yang lebih baik dan mampu menciptakan generasi yang bangga akan bangsa dan tanah airnya.
Menginyakapi kenyataan tersebut, perlu adanya suatu tindakan nyata dalam pendidikan yang mampu membangkitkan kembali rasa nasionalisme masyarakat, khususnya pelajar yang merupakan ujung tombak pembangunan bangsa ini kedepannya. Salah satu yang perlu atau bisa dilakukan adalah dengan menerapkan atau memberikan pelajaran bukan sekedar teori-teori, tetapi dengan memberikan pengalaman langsung kepada siswa. Pengalaman yang diberikan dalam bentuk tindakan nyata ini akan lebih ampuh guna meningkatkan rasa nasionalisme siswa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan di atas, kita bisa melihat beberapa permasalahan yang muncul, sebagai berikut.
1. Mampukah penerapan permainan outbound meningkatkan rasa nasionalisme siswa dalam bentuk tindakan nyata?
2. Bentuk permainan apa yang diterapkan dalam outbound sehingga rasa nasionalisme siswa bisa ditumbahkan dan dikembangkan?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang disampaikan di atas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai.
1. Untuk mengetahui apakah penerapan permainan outbound meningkatkan rasa nasionalisme siswa dalam bentuk tindakan nyata.
2. Untuk mengetahui bentuk permainan yang sesuai yang diterapkan dalam outbound sehingga rasa nasionalisme siswa bisa ditumbahkan dan dikembangkan.
1.4 MANFAAT
Hasi penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis, utamanya kepada pihak sekolah dan para guru.
1. Bagi guru, hasil penulisan ini mampu memberikan gambaran yang nyata mengenai kegiatan pembelajaran yang sesuai untuk memberikan kesan yang lebih mendalam bagi siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih bisa menerima dan mengaplikasikan materi yang didapatnya dalam kehidupan nyata.
2. Bagi sekolah, hasil penulisan ini akan memberikan sebuah alternative untuk bisa mengembangkan berbagai solusi metode pengajaran yang pas untuk menunjang kemampuan dan pemahaman siswa, sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi siswa.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 NASIONALISME
2.1.1 Lahirnya Nasionalisme
Nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebagai reaksi terhadap kolonisasi Eropa. Karena kolonisasi menggandung dimensi-dimensi dominasi politik,eksploitasi ekonomi dan penetrasi kultural, nasionalisme Indonesia pun mempunyai tiga dimensi dalam rangka menumbangkan dominasi politik kolonial. Tiga dimensi itu dimaksudkan untuk membangun negara nasional yang demokratis menghentikan eksploitasi ekonomi untuk membangun suatu masyarakat yang berkeadailan sosial, dan menghentikan penetrasi kultural untuk menghidupkan kembali keperibadian. Dengan demikian, dasar-dasar demokrasi dan keadilan sosial menampakan diri sebagai suatu keharusan dan kelengkapan nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme yang dianut di Indonesia melahirkan pendirian untuk menghormati bangsa lain sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. ”Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Oleh karena itu sikap nasionalisme Indonesia menggandung sikap anti penjajahan. Semangat yang demikian dengan sendirinya tidak menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjajah bangsa lain. Sebaliknya bangsa Indonesia ingin mewujudkan suatu perdamian dunia, menuju masyarakat yang maju, sejahtera, dan adil bagi semua umat manusia. Dengan demikian nasionalisme Indonesia juga memberikan penghargaan terhadap hak azazi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2.1.2 Definisi Nasionalisme
Rasa cinta tanah air atau nasionalisme adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada dinegaranya dengan melestarikannya dan melestarikan alam dan lingkungan.
Individu yang memiliki rasa cinta pada tanah airnya akan berusaha dengan segala daya upaya yang dimilikinya untuk melindungi, menjaga kedaulatan, kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya. Rasa cinta tanah air inilah yang mendorong perilaku individu untuk membangun negaranya dengan penuh dedikasi. Oleh karena itu, rasa cinta tanah air perlu ditumbuhkembangkan dalam jiwa setiap individu yang menjadi warga dari sebuah negara atau bangsa agar tujuan hidup bersama dapat tercapai.
Salah satu cara untuk menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air adalah dengan menumbuhkan rasa bangga terhadap tanah airnya melalui proses pendidikan. Rasa bangga terhadap tanah air dapat ditumbuhkan dengan memberikan pengetahuan dan dengan membagi dan berbagi nilai-nilai budaya yang kita miliki bersama. Oleh karena itu, pendidikan berbasis nilai-nilai budaya dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif untuk menumbuhkembangkan rasa bangga yang akan melandasi munculnya rasa cinta tanah air.
Nasionalisme Indonesia atau yang dalam sebutan lain sebagai kebangsaan Indonesia, bukanlah hal baru. Namun kenyataannya, hingga menjelang 64 tahun peringatan Kemerdekaan RI, masih saja menyisakan residu lama. Adanya relasi fluktuaktif antara nasionalisme dan etno-nasionalisme, juga nasionalisme dengan agama, memberikan justifikasi ke arah itu. Keadaan ini perlu dimaknai sebagai peringatan berharga bagi tumbuh-kembangnya kesadaran tentang pentingnya bangunan negara bangsa itu diperkokoh.
Sikap nasionalis dari mayoritas elemen bangsa saat ini dapat dipakai sebagai ukuran betapa besar tanggung jawab kita untuk menjamin masa depan bangsa ini agar tetap eksis sesuai dengan budaya dan tradisi Nusantara. Contoh yang merujuk ke arah itu jelas sekali, bahwa pada Pemilu 2009 yang lalu (baik Pileg maupun Pilpres) Parpol yang berhaluan nasionalisme memperoleh kemenangan fantastis. Hal itu memberikan pemahaman bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika diakui bentuk final serta menunjukkan adanya kesadaran sejati dari rakyat atas dasar realitas historis, budaya dan tradisi bangsa kita sendiri dengan tetap menjaga nilai-nilai religiusitas.
Meskipun demikian, penulis tetap pada kesimpulan bahwa memperkokoh nasionalisme Indonesia perlu dibangun terus-menerus.
Sebenarnya bangunan nasionalisme (kebangsaan) Indonesia yang perlu terus diperkokoh tersebut meliputi 4 (empat) hal, yaitu: rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan wawasan kebangsaan yang saling terkait. Kita tidak bisa serta-merta bicara tentang wawasan kebangsaan tanpa merujuk kepada fitur-fitur yang melekat di dalamnya.
Nasionalisme atau kebangsaan juga harus menjadi dasar idealistik yang dimiliki dan digenggam erat oleh seluruh anak bangsa. Sadar akan hal tersebut, sudah saatnya kita mengubur dalam-dalam residu masalah dan pemikiran sebagaimana disebutkan pada awal tulisan. Ke depan, kita harus dapat membebaskan kebangsaan itu dari penjara kelembagaan yang bersifat sempit. Kita memang sangat menghargai tumbuh-kembangnya demokrasi. Tetapi pada saat yang bersamaan kita juga menyaksikan banyaknya organisasi-organisasi massa, partai-partai politik, LSM-LSM yang menggunakan nama kebangsaan atau nasionalisme, bahkan acap-kali kata kebangsaan digunakan sebagai ideologi dari organisasi tertentu, padahal kita sudah komitmen mengangkat Pancasila sebagai ideologi negara. Tindakan-tindakan seperti itu, bukan semakin memperkokoh makna nasionalisme Indonesia tetapi justru semakin mengerdilkannya.
2.2 TINDAKAN SOSIAL
Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu.
Mendatu (2008) menyatakan bahwa tindakan sosial adalah bagian dari perilaku sosial. Oleh sebab itu mula-mula harus didefinisikan dulu apa yang dimaksud dengan perilaku sosial. Perilaku sosial adalah perilaku yang terjadi dalam situasi sosial, yakni bagaimana orang berpikir, merasa dan bertindak karena kehadiran orang lain. Pertama, berpikir dalam situasi sosial. Kedua, merasa dalam situasi sosial. Harus diakui, sebagian besar situasi sosial melibatkan perasaan. Ketiga, bertindak dalam situasi sosial. Inilah langkah kongkret anda yang bisa dilihat orang lain dalam situasi sosial. Mungkin anda menolong orang yang jatuh dari sepeda motor. Mungkin anda mengajak bersalaman dan berkenalan dengan orang yang baru anda temui. Mungkin anda memaki orang yang menyusahkan anda. Mungkin anda menyebarkan kebohongan. Mungkin anda mendatangi undangan pernikahan, atau yang lainnya. Sangat beragam bentuk-bentuk tindakan sosial manusia.
Tindakan sosial sangat dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan atau emosi. Tidak ada tindakan sosial yang terjadi tanpa pengaruh keduanya. Oleh karena itu, meskipun buku ini khusus membahas tindakan sosial manusia, baik pikiran maupun emosi yang mempengaruhi tindakan sosial juga akan dikupas secara berbarengan.
Tindakan sosial adalah tindakan individu yang diarahkan pada orang lain dan memiliki arti, baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain. Dalam tindakan sosial mengandung tiga konsep, yaitu tindakan, tujuan dan pemahaman. Ciri-ciri dari tindakan sosial adalah: tindakan memiliki makna subjektif, tindakan nyata yang bersifat membatin dan bersifat subjektif, tindakan berpengaruh positif, tindakan diarahkan pada orang lain dan tindakan merupakan respons terhadap tindakan orang lain. Berdasarkan tingkat pemahamannya, terdapat rasionalitas instrumen, rasionalitas berorientasi nilai dan tindakan afektif serta tindakan tradisional.
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial (www.wikipedia.com)
2.3 OUTBOUND
Outbound Management Training merupakan sebuah metode pengembangan diri melalui pengalaman (learning by experience) sebagai salah satu bentuk aktivitas luar ruang (outdoor activities) yang penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Efektivitas pelatihan dicapai melalui lima tahapan proses, yaitu aksi, diskusi, refleksi, perencanaan perbaikan dan implementasi.
Adapun tujuan dari pelatihan Outbound adalah untuk membantu peserta memperoleh karakter, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi baik secara pribadi maupun sebagai anggota dari satu tim kerja.
Outbound Management Training mempunyai sasaran untuk menjadikan pembangunan sumber daya manusia yang tangguh, bermartabat dan sikap yang kokoh dengan berlandaskan pada empat nilai utama, yaitu profesionalisme, inovasi, patriotisme dan cinta alam dengan sasaran utama Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Manfaat OMT bagi peserta/partisipan akan memberikan peningkatan/pengembangan potensi diri (sikap, wawasan, daya inovasi, kepemimpinan, kerjasama tim dan kepercayaan diri).
2.3.1 Tujuan Outbound
Kegiatan outbound sendiri bertujuan menumbuhkan dan menciptakan suasana saling mendorong, mendukung, serta memotivasi dalam sebuah kelompok. Selain mengembangkan kemampuan apresiasi atau kreativitas dan penghargaan terhadap perbedaan dalam sebuah kelompok, juga memberikan kontribusi memupuk jiwa kepemimpinan, dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi. Para peserta tak hanya dihadapkan tantangan kemampuan intelegensi, tapi juga fisik dan mental, dan ini akan terus terlatih menjadi sebuah pengalaman yang membekali dirinya dalam menghadapi tantangan lebih nyata dalam persaingan di kehidupan sosial masyarakat
Tentu saja yang namanya experiental learning tidak hanya identik dengan pembelajaran dialam terbuka atau outbound training. Banyak yang bisa dikreasikan dalam pembelajaran semacam ini. Misalnya melakukan karya wisata, kunjungan ke pabrik-pabrik, mengelola koperasi, menyelenggarakan suatu pertunjukan dan sebagainya, hal tersebut merupakan contoh bentuk experiental learning. Dengan catatan, dilakukan refleksi yang mendalam setelah aktivitas itu berlangsung dikaitkan dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap uyang diperoleh sebagai bahan pelajaran.
2.3.2 Materi Outbound
Ada beberapa materi atau sesi yang biasanya disajikan dalam outbound training ini, yaitu.
1. Ice Breaking, pada sesi ini, peserta diharapkan dapat saling mengenal satu sama lainya secara efektif dapat menghilangkan hambatan serta Personal Block dan Interpersonal Block dalam menumbuhkan kedekatan dan rasa saling percaya.
2. Building Trust, melalui sesi ini, peserta dilatih untuk mengembangkan keberanian, keyakinan, dan kepasrahan total serta membangun kepercayaan terhadap tanggung jawab yang dibebankan. Selain itu juga bisa mengbangkitkan sikap yakin dan percaya pada kemampuan diri. Sehingga segi Self-Respect meningkat pula.
3. Communication, membina hubungan antara sesama rekan kerja yang dapat diperoleh secara efektif dengan cara berkomunikasi secara efektif. Melalui materi ini peseta dilatih untuk dapat mengungkapkan gagasannya dan bisa juga menerima gagasan dari luar.
4. Team Building, pada sesi ini diharapkan peserta dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan aktifitas perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan pelaksanaan kegiatan di mana hal ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerjasama tim yang sinergis dan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.
5. Competition Games, pada sesi ini diharapkan peserta dapat memberikan kontribusi kepada kelompoknya dalam menghadapi sebuah tantangan dimana pada sesi ini peserta mendapatkan simulasi tentang bagaimana menghadapi suatu ajang kompetisi yang sportif.
6. Personal Challenge, pada sesi ini di harapkan peserta mempunyai kemampuan dalam pengelolaan diri, tidak kehilangan kontrol emosi dalam menghadapi tantangan, tidak menarik diri bila menghadapi kesulitan dan tantangan serta tegar dalam menghadapi situasi panik
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 METODE PENGUMPULAN DATA
Suatu penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak tergantung dari data yang diperoleh. Kualitas suatu penelitian juga didukung pula oleh proses pengolahan yang dilakukan. Oleh sebab itu, variabel yang digunakan, alat-alat pengumpulan data, desain penelitian, dan alat-alat analisis serta hal-hal yang dianggap perlu dalam penelitian harus tersedia. Metode penelitian dianggap paling penting dalam menilai kualitas hasil penelitian. Keabsahan suatu penelitian ditentukan oleh metode penelitian. Pemilihan metode penelitian sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian. Metode penelitian merupakan cara yang digunakan untuk menentukan arah, kemana penelitian itu. Maka metode sangat penting untuk memecahkan masalah dalam penelitian, di samping teori-teori yang disajikan dalam penelitian.
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis meggunakan metode dokumentasi. Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengumpulkan informasi, dokumentasi serta data yang terkait baik dalam bentuk tulisan, bagan, maupun gambar.
Selain itu, penulisan juga menggunakan metode data kepustakaan, yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber tertulis. Sumber tersebut berasal dari beragam literatur, buku, dan internet.
3.2 ANALISIS-SINTESIS
Proses pendidikan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia harus mampu meningkatkan kualitas intelektualitas yang juga harus dibarengi dengan kualitas emosional yang terefleksikan dalam perilaku sehingga peserta didik secara psikomotorik mampu mengimplementasikan dan mengejawantahkan kemampuan intelektualitas dan kecakapan emosionalnya dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pendidikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mencapai tujuan dari sistem pendidikan nasional di Indonesia karena keluaran dari proses pendidikan bermuara pada psikomotorik atau perilaku peserta didik. John Locke pernah berkata bahwa manusia itu bagaikan kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja. Oleh karena itu, pendidikan diperlukan untuk mengisi lembaran kertas kosong. Pendidikan adalah sebuah pena yang akan memberikan pengalaman dan mengembangkan kemampuan peserta didik tidak hanya pada ranah kognisi tetapi juga pada ranah afeksi dan psikomotorik atau perilaku.
Mengacu pada Bloom taksonomi maka proses pendidikan seharusnya melibatkan dua aktivitas yaitu, aktivitas berbagi dan membagi pengetahuan yang disebut dengan aktivitas belajar-mengajar (tranfer of knowledge) serta aktivitas berbagi nilai bersama (transfer of value). Kedua aktivitas pendidikan ini diharapkan mampu membentuk manusia yang mampu menerapkan pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan nilai-nilai bersama dan mampu berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan nilai yang dimiliki dan diketahuinya agar menjadi manusia yang terdidik menurut GBHN, yaitu individu yang memiliki jiwa patriotik dan cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi pada masa depan.
Deskripsi manusia terdidik yang termaktub dalam GBHN memperjelas bahwa proses pendidikan di Indonesia harus mampu membentuk manusia yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual tetapi juga memiliki jiwa patriotik dan cinta tanah air atau nasionalisme yang tinggi.
Agar bangsa Indonesia memiliki sikap nasionalisme yang tinggi maka diperlukan berbagai upaya yang mengarah pada terciptanya tata kehidupan masyarakat yang mantap dengan tetap mengacu kepada UUD 1945 dan Pancasila. Pembinaan sikap nasionalisme bagi rakyat Indonesia menjadi tanggungjawab pemerintah dan masyarakat terutama melalui dunia pendidikan. Dalam hal ini pendidikan sejarah memegang peranan yang penting ditinjau dari tujuan pendidikan sejarah, sehingga para sejarahwan maupun guru sejarah mampu mencari solusi agar sejarah dapat menumbuhkan sikap nasionalime pada anak didik.
Mereka dapat belajar secara alami dan bersosialisasi dengan lingkungannya di kegiatan outbound. Menurut Ardianus dan Yufiarti (2006: 44) ”outbound sebagai permainan kecerdasan.” Oleh karena itu, berbagai manfaat didapat mereka dalam proses belajar mengajar dengan kegiatan outbound. Seperti halnya outbound sebagai sarana untuk melatih dalam mengembangkan fungsi mata, telinga, dan latihan otot. Anak penyandang autis dapat melatih memfokuskan diri dalam memecahkan masalah saat kegiatan berlangsung. Kegiatan itu juga dapat menimbulkan rasa percaya diri pada anak. Adrianus dan Yufiarti mengatakan:
Metode outbound ini sangat efektif karena memanfaatkan seluruh potensi dalam diri siswa melalui berbagai aktivitas permainan. Dengan demikian kegiatan outbound ini tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga melibatkan ranah afektif dan konasi (psikomotor) (2006: 42).
Outbound memberikan pengaruh dalam pengembangan kreativitas anak penyandang autisme dalam menentukan keputusan yang akan diambil. Misalnya pada anak penyandang autisme menjadi lebih konsentrasi dalam mendengarkan setiap instruksi yang diberikan oleh guru dan fasilitator dalam setiap outbound. Walaupun, dalam jangka waktu yang relatif lama dalam merespon semua rangsangan. Selain itu Ancok memperjelas lagi dalam bukunya Outbound Management Training (2003: 3), bahwa metode pelatihan di alam terbuka juga digunakan untuk kepentingan tera-pi kejiwaan (Gass, Adventure Therapy, 1993). Lanjutnya lagi pelatihan ini digunakan untuk meningkatkan konsep diri anak-anak yang nakal, anak pencandu narkotika, dan kesulitan di dalam hubungan sosial.
Aktifitas outbound juga dapat menjaga otak agar terus bergerak dalam melaksa- nakan kegiatan. Adrianus dan Yufiarti (2006: 44) mengatakan bahwa ”selain itu outbound terdapat, unsur-unsur pengembangan kreativitas, komunikasi, mendengarkan efektif, kerjasama, motivasi diri, kompetisi, problem solving dan percaya diri.” Oleh karena itu, perlu diada-kan penelitian mengenai pengaruh outbound terhadap kemampuan menyimak dalam mematuhi aturan pada anak penyandang autis.
Pengajaran menganai rasa nasionalisme itu tidak bisa dilakukan hanya dengan mendikte anak didik dengan teori-teori tentang nasionalisme saja. Jika hal ini dilakukan, maka rasa nasionalisme yang dimiliki oleh siswa hanya terbatas pada teori tanpa ada aplikasi yang nyata dalam bentuk tindakan sosialnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah langkah baru guna mengatasi permasalahan tersebut. Outbound menjadi salah satu alternatifnya.
Penerapan permainan outbound sangat efektif untuk menumbuhkembangkan rasa nasionalisme. Ini dikarenakan dalam kegiatan outbound anak didik diajak berbagai kegiatan yang nantinya mereka lakukan dan temukan dalam kehidupannya di masyarakat. Sehingga rasa nasionalisme yang tumbuh, tidak sekedar rasa nasionalisme dalam teori, tetapi yang lebih nyata dalam bentuk tindakan sosial.
Ada beberapa materi atau sesi yang biasanya disajikan dalam outbound training ini, yaitu.
1. Ice Breaking, pada sesi ini, peserta diharapkan dapat saling mengenal satu sama lainya secara efektif dapat menghilangkan hambatan serta Personal Block dan Interpersonal Block dalam menumbuhkan kedekatan dan rasa saling percaya.
2. Building Trust, melalui sesi ini, peserta dilatih untuk mengembangkan keberanian, keyakinan, dan kepasrahan total serta membangun kepercayaan terhadap tanggung jawab yang dibebankan. Selain itu juga bisa mengbangkitkan sikap yakin dan percaya pada kemampuan diri. Sehingga segi Self-Respect meningkat pula.
3. Communication, membina hubungan antara sesama rekan kerja yang dapat diperoleh secara efektif dengan cara berkomunikasi secara efektif. Melalui materi ini peseta dilatih untuk dapat mengungkapkan gagasannya dan bisa juga menerima gagasan dari luar.
4. Team Building, pada sesi ini diharapkan peserta dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan aktifitas perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan pelaksanaan kegiatan di mana hal ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerjasama tim yang sinergis dan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.
5. Competition Games, pada sesi ini diharapkan peserta dapat memberikan kontribusi kepada kelompoknya dalam menghadapi sebuah tantangan dimana pada sesi ini peserta mendapatkan simulasi tentang bagaimana menghadapi suatu ajang kompetisi yang sportif.
6. Personal Challenge, pada sesi ini di harapkan peserta mempunyai kemampuan dalam pengelolaan diri, tidak kehilangan kontrol emosi dalam menghadapi tantangan, tidak menarik diri bila menghadapi kesulitan dan tantangan serta tegar dalam menghadapi situasi panik
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 PERLUNYA MEMPERKOKOH NASIONALISME
Memperkokoh nasionalisme (kebangsaan Indonesia) pada akhirnya adalah keharusan; sebab nasionalisme Indonesia itu memberikan energi dan daya juang bangsa dimana di dalamnya terpatri nilai-nilai moral yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku bangsa. Padahal kita tahu bahwa fitur-fitur yang menyangkut pemikiran, perbuatan, kebiasaan merupakan karakter. Dalam konteks kebangsaan Indonesia, karakter tersebut adalah karakter bangsa. Karenanya jika kita berbicara tentang karakter bangsa, hal itu berarti kita membicarakan substansi nilai-nilai kebangsaan sebagaimana dijelaskan di atas. Kokohnya nasionalisme Indonesia pada gilirannya memerlukan implementasi dinamik sesuai dengan perkembangan zaman, yang menderetkan sejumlah usaha, pekerjaan dan kegiatan antara lain (1) Komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. (2) Membangun kesadaran bersama untuk mengapresiasi ke- bhinneka-an. (3) Meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Memerangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan. (5) Memerangi segala isme yang bertentangan dengan ideologi Pancasila (liberalisme, kolonialisme, kapitalisme, anarkhisme, feodalisme, dan lain-lain).
4.2 KRETERIA PENILAIAN RASA NASIONALISME
Beberapa kreteria yang bisa digunakan untuk melihat rasa nasionalisme seseorang, sebagai berikut.
1) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
Realiatas menunjukan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menganugrahkan kepada kepada bangsa Indonesia pluralitas di berbagai hal seperti: suku, budaya, ras,agama, bahasa dan sebagainya. Anugrah tesebut patut disyukuri dengan cara menghargai kemajemukan tetap dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan demi kemajuan dan kejayaan bangsa. (Soegito,2006:95).
Kehendak untuk hidup bersama dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang-orang yang suku bangsanya berbeda, ataupun agamanya. Heterogenitas bangsa yang berbeda tentunya memerlukan sikap rela berkorban bagi setiap warganya.
2) Mengutamakan Persatuan dan kesatuan
Kata persatuan dan persatuan berasal dari kata “satu“ yaitu sesuatu yang tidak terpisah-pisah. Nilai persatuan Indonesia mengandung usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat membina nasionalisme dalam negara. Mengutamakan persatuan dan kesatuan merupakan suatu proses terwujudnya nasionalisme.
Dengan modal dasar nilai persatuan semua warga negara indonesia baik yang asli maupun keturuanan asing dari macam-macam suku bangsa dapat menjalin kerjasama yang erat dalam gotong royong, kebersamaan.
3) Cinta tanah Air
Cinta tanah air atau patriotisme merupakan modal yang penting dalam membangun suatu negara. Suatu negara yang dihuni oleh orang-orang yang cinta tanah air akan membawa kearah emajuan. Sebaliknya negara yang tidak didukung oleh cinta tanah air dari penduduk tersebut maka negara tersebut menunggu kehancuran.
Pergerakan nasional yang tumbuh dan berkembang pada masa kolonial, merupakan wujud cinta tanah air yang puncaknya dengan diproklamirkan kemerdekaan negara kesatuan RI.
Wujud warga negara yang cinta tanah air ialah melestarikan budaya bangsa ditengah globalisasi dunia, meningkatkan etos kerja, mempunyai disiplin dalam arti luas, Penghargaan terhadap pahlawan, Peringatan hari besar bersejarah mempunyai semangat kerja dan pengabdian terhadap bangsa dan negara dan sebagainya.
4) Berjiwa pembaharu dan tidak kenal menyerah
Kesadaran bernegara dari seseorang ditentukan oleh kualitas mental sumber daya manusia itu sendiri. Kualitas mental yang diharapkan adalah manusia yang memanfaatkan waktu, hidup sederhana, disiplin, suka berkerja keras dan jujur. Untuk mencapai manusia yang berkualitas tersebut maka diperlukan manusia yang berjiwa inovatif dan tidak kenal menyerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Usaha mempertahankan kelangsungan bangsa dan tanah air, Giat mempelajari sejarah bangsa.
4.3 OUTBOUND UNTUK MENINGKATKAN NASIONALISME SISWA
Problematika pendidikan yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah proses belajar mengajar yang diberikan di kelas umumnya hanya mengemukakan konsep-konsep dalam suatu materi. Proses belajar mengajar yang banyak dilakukan adalah model pembelajaran ceramah dengan cara komunikasi satu arah (teaching directed), di mana yang aktif 90% adalah pengajar. Sedangkan siswa biasanya hanya memfungsikan indera penglihatan dan indera pendengarannya. Pengenalan akan konsep ini bukan berarti tidak diperlukan, akan tetapi yang biasanya terjadi hanya sampai sebatas pengertian konsep, tanpa dilanjutkan pada aplikasi.
Model pembelajaran seperti tersebut di atas dianggap kurang mengeksplorasi wawasan pengetahuan siswa, sikap dan perilaku siswa. Karena selama proses belajar mengajar, apabila konsentrasi siswa kurang optimal, maka siswa akan mendapat kesulitan untuk menerima materi yang diajarkan pada saat itu, sehingga juga sulit bagi siswa harus menyimpan materi pelajaran tersebut dalam ingatan/memori/kesan siswa. Menurut Bartlet cara pembelajaran ini dianggap kurang bermakna.
Selanjutnya, bagaimana agar proses pembelajaran lebih bermakna oleh Bartlet adalah proses pembelajaran yang membangun makna (input), kemudian prosesnya melalui struktur kognitif sehingga akan berkesan lama dalam ingatan/memori (terjadi rekonstruksi). Sementara itu, menurut John Dewey, pembelajaran sejati adalah lebih berdasar pada penjelajahan yang terbimbing dengan pendampingan daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pembelajaran merupakan individual discovery. Pendidikan memberikan kesempatan dan pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan bagi kehidupannya sendiri.
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah pembelajaran dengan menggunakan sepasang perspektif, yaitu fokus pada individu pembelajar (keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, dan kebutuhan) dengan fokus pada pembelajaran (pengetahuan yang paling baik tentang pembelajaran dan bagaimana hal itu timbul serta tentang praktek pengajaran yang paling efektif dalam meningkatkan tingkat motivasi, pembelajaran, dan prestasi bagi semua pembelajar. Fokus ganda ini selanjutnya memberikan informasi dan dorongan pengambilan keputusan pendidikan.
Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif siswa ini berarti guru tidak mengambil hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas siswa.
Tantangan bagi guru sebagai pendamping pembelajaran siswa, untuk dapat menerapkan pembelajaran yang berpusat pada siswa perlu memahami tentang konsep, pola pikir, filosofi, komitmen metode, dan strategi pembelajaran. Untuk menunjang kompetensi guru dalam proses pembelajaran berpusat pada siswa maka diperlukan peningkatan pengetahuan, pemahaman, keahlian, dan ketrampilan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran berpusat pada siswa. Peran guru dalam pembelajar berpusat pada siswa bergeser dari semula menjadi pengajar (teacher) menjadi fasilitator. Fasilitator adalah orang yang memberikan fasilitasi. Dalam hal ini adalah memfasilitasi proses pembelajaran siswa. Guru menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai pendamping (guide on the side) bagi siswa.
Bekal bagi para guru untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator salah satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ada lima faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip psikologis pembelajaran berpusat pada siswa, yaitu: (a) Faktor metakognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana siswa berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman; (b) Faktor Afektif yang menggambarakan bagaimana keyakinan, emosi, dan motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi siswa untuk belajar; (c) Faktor Perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual, emosional, dan sosial dipengaruhi oleh factor genetik yang unik dan faktor lingkungan; (d) Faktor Pribadi dan sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan bahwa dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual; (e). Faktor Perbedaan Individual yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik dan kapasitas masing-masing berpengaruh dalam pembelajaran. Prinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.
Gagne (1992:70) menyatakan bahwa strategi kognitif merupakan keterampilan kognitif untuk memilih dan mengarahkan proses-proses internal dalam belajar dan berpikir. Dengan demikian objek strategi kognitif adalah keterampilan yang membedakannya dengan keterampilan intelektual lain. Konsep dan aturan-aturan yang menunjuk pada lingkungan objek-objek dan kejadian-kejadian seperti pernyataan-pernyataan, grafik-grafik, atau rumus matematis, merupakan objek keterampilan intelektual sedangkan objek strategi- strategi kognitif adalah proses-proses kognitif yang dimiliki siswa.
Strategi kognitif yang digunakan siswa dapat menentukan bagaimana ia belajar, bagaimana ia memanggil kembali dan menggunakan apa yang dipelajari, dan bagaimana ia berpikir. Strategi- strategi kognitif memberikan fungsi khusus selama pemrosesan informasi. Secara khusus, Baker dan Anderson bahwa menyatakan metakognisi merupakan pengetahuan seseorang dan kontrol terhadap proses-proses kognitif yang dimilikinya (Lawson, 1984:90). Dengan demikian orang yang mempunyai strategi-strategi metakognitif adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas berpikir dan belajarnya (Hsiao, 1997:1).
Pembelajaran yang inovatif dengan metode yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning) memiliki keragaman model pembelajaran yang menuntut partisipasi aktif dari siswa. Metode-metode tersebut diantaranya adalah:
1. Berbagi informasi (Information Sharing) dengan cara: curah gagasan (brainstorming), kooperatif, kolaboratif, diskusi kelompok (group discussion), diskusi panel (panel discussion), simposium, dan seminar;
2. Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah (Problem Solving Based) dengan cara: Studi kasus, tutorial, dan lokakarya.
3. Belajar dari pengalaman (Experience Based) dengan cara: simulasi, bermain peran (roleplay), permainan (game), dan kelompok temu;
Salah satu metode alternative yang saat ini sedang digemari dan diyakini lebih berhasil dari kegiatan ceramah adalah Pendidikan Luar Ruang (Outbound Education), yang sarat dengan permainan yang menantang, mengandung nilai-nilai pendidikan, dan mendekatkan siswa dengan alam.
Alam sebagai media belajar merupakan solusi ketika terjadinya kejenuhan terhadap metodologi pendidikan di dalam ruangan. Berangkat dari dasar pemikiran inilah Walt Whitmant mencoba memperbaharui motodologi pendidikan tersebut dengan memberikan penekanan pada proses aktivitas tersebut dilakukan luar ruangan.
Pendidikan dan latihan di alam dapat mengantikan proses pendidikan konvensional (ruangan) yang selama ini dilakukan secara masif. Akibatnya model pendidikan tersebut lebih berorientasi pada nilai-nilai kuantitatif bukannya berorientasi pada proses pengenalan lebih dalam atas sumber-sumber pengetahuan tersebut.
Banyak manfaat ketika materi pendidikan dan latihan disatukan dengan aktifitas di alam. Menurut Wurdinger (1995), pendidikan dan pelatihan di alam akan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh setiap induvidu berdasarkan kemampuan yang ia miliki. Penelitian yang dilakukan oleh Kraft (1985) terhadap generasi muda di Amerika menyatakan metodologi pendidikan dan latihan yang sangat efektif manfaatnya adalah mengunakan alam sebagai media untuk pengetahuan.
Sementara itu Murphy (1995), menyatakan bahwasanya pendidikan di alam adalah metodologi pendidikan dan latihan di masa akan datang, metode ini akan mengantikan metode tradisional. Pendidikan tradisional yang menjadikan guru (instruktur) adalah sumber pengetahuan segala-galanya, sehingga tidak ada ruang bagi setiap individu untuk berfikir di luar dari koridor yang disampaikan oleh instruktur tersebut. Di sinilah letak pendidikan di alam dengan mengunakan metodologi yang berangkat dari pengalaman. Secara psikologis proses pengetahuan akan maksimal apabila pengalaman yang ia miliki menjadi pengetahuan bagi mereka sendiri.
Besarnya muatan “manfaat” ilmu pengetahuan yang diperoleh, akan direfleksikan ke dalam sikap dan perilaku, pola fikir dan motivasi keseharian “memecahkan masalah saat ini dan mencegah timbulnya permasalahan yang baru dimasa akan datang”.
Untuk itu pilihan pendekatan proses belajar dan kemasan program dapat dilakukan dengan metode “Experiential Learning (EL)”.
Terpilihya metode ini dipandang relevan terhadap subjek pendidikan dan kondisi wilayah. Metode pembelajaran EL diharapkan peserta akan dapat mengevaluasi tindakan, selanjutnya menentukan tujuan yang akan dicapai dengan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi. Peserta akan dihadapkan dengan keadaan yang nantinya dapat diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari, dan juga membuat pemahaman terhadap suatu permasalahan akan semakin tinggi sehingga implementasinya juga semakin mudah.
Apa yang terjadi selama proses pembelajaran dengan menggunakan program pendidikan luar ruang adalah kompleksitas interaksi antara individu (I), lingkungan/environment (E), aktivitas (A), program belajar (P), kelompok/group (G), instruktur/fasilitator (F), dan budaya/culture (C) setempat.
Dengan Penerapan pembelajaran yang berbasis outbound, siswa akan lebih mampu menumbuhkembangkan rasa nasionalismenya. Pendekatan dengan aktifitas outdoor dapat mengakomodasi pembelajaran model orang dewasa yaitu belajar dari apa yang dialami (action), yang mana praktisasinya dihubungkan (Reflection) dengan permasalahan hidup sehari-hari.
Pelatihan outbound dengan media outdoor memberikan beberapa nilai tambah, metode ini terbukti efektif untuk meningkatkan rasa nasionalisme anak didik. Ini bisa terjadi karena berbeda dengan pelatihan dalam ruang atau training center (indoor) yang konvensional dan hanya menyentuh aspek kognisi saja.
Ruang terbuka (Outdoor) merupakan media atau prasarana (training center) yang memberikan keleluasaan baik pada gerak fisik (psikomotorik), maupun emosi (afeksi) dan berpikir (kognisi) bagi peserta dari provider outbound.
4.4 BENTUK KEGIATAN
Agar tujuan yang diiginkan melalui kegiatan ini bisa tercapai, ada beberapa kegiatan yang dilakukan dalam outbound.
1. Simulasi Permainan
Kegiatan permainan yang dirancang dengan aturan-aturan yang dapat memberikan stimulus yang mendekati kenyataan sehari-hari. Dari sini dapat dilihat respon yang muncul, dan kemudian digunakan sebagai ‘alat’ evaluasi diri.
2. Aktifitas Nyata
kegiatan yang memang harus dilakukan, seperti : berjalan di jalan setapak, membuka tenda regu, tinggal bersama dengan tenda di alam terbuka, adalah kegiatan nyata, yang memunculkan reaksi-reaksi spontan. Kegiatan nyata tidak fokus pada objective dalam hal ini tidak luput dari perhatian dan mendapatkan ‘pembahasan’ yang memadai, karena aktifitas nyata ini spontan dan alamiah.
3. Rangkaian Pemecahan Masalah
kegiatan yang ‘memaksa’ peserta mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk memecahkan masalah-masalah, dari sini akan muncul sikap dasar dari seseorang dalam menghadapi masalah dan proses pemecahan masalah.
4. Diskusi Kelompok
merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran adalah ‘sharing experience’ untuk menambahkan pengalaman-pengalaman orang lain pada pengalaman otentik diri sendiri. Dengan berbagi pengalaman seperti ini diharapkan muncul nilai-nilai umum yang berlaku.
Agar penyampaian materi mencapai tujuan yang diinginkan, ada beberapa tahap yang perlu dilakukan. Setiap tahap memiliki fungsi dan tujuan berbeda. Secara umum, tahapan tersebut adalah:
  1. Ice breaking
Umumnya, di awal suatu kegiatan, peserta seringkali masih merasa malu, ragu, maupun takut, terutama jika antar saling peserta belum saling mengenal. Permainan yang bersifat pemecah kebekuan (ice breaking) ini memegang peranan penting untuk bisa merangsang rasa ingin tahu dan membangun konsentrasi peserta karena kegiatan ini berfungsi sebagai sarana perkenalan antar peserta maupun fasilitator, membangkitkan semangat dari para peserta, maupun untuk meminimalkan kepasifan dari para peserta.
  1. Materi/Antusiasme
Materi dan antusiasme, merupakan pokok dan tujuan sebuah permainan itu dilalakukan. Umumnya permainan ini menimbulkan keingin tahuan peserta dari sebuah permainan tersebut. Atau sebuah permainan untuk memberikan pengetahuan tentang alam kepada peserta, melalui permainan.
Misalnya pengetahuan tentang jaring-jaring kehidupan. Mahluk hidup di alam saling tergantung satu sama lain. Apabila salah satu terputus, makan kehidupan mereka di alam akan terganggu. Hal ini dapat ditunjukkan dengan permainan yang mudah dihayati oleh peserta. Masih bayak contoh permainan lainnya.
  1. Evaluasi
Evaluasi ini dapat dilakukan dengan sebuah permainan juga. Misalnya membuat puisi, ceritera, lukisan dsb. Hal ini dapat menjadi kenangan pengunjung setelah meninggalkan lokasi pendidikan.
  1. Sharing
Tukar pengalaman setelah kunjungan lapangan sangat penting artinya dalam sebuah pendidikan konservasi alam. Tidak semua pengunjung mengetahui atau menemui sesuatu yang dianggap menarik bagi mereka. Ada yang suka serangga, tapi ada pula yang suka dengan tumbuhan dsb. Untuk itu tukar pengalaman setelah kembali dari lapangan, tukar pengalaman ini diharapkan dapat menambah wawasan peserta atau pengetahuan tentang kehidupan di alam.
BAB V
PENUTUP
5.1 SIMPULAN
Tidak dipungkiri, sekilas outbound memang terkesan sebagai aktivitas santai, rekreasi, senang-senang, ketawa-ketawa atau main-main belaka. Namun, jangan lupa, sekali lagi bahwa di permainan tersebut ada suatu “hidden objective” yang telah disusun sebelumnya sehingga menghasilkan desain pelatihan yang mengembangkan segala potensi individu. Jadi, dibalik kesan santai dan senang-senang, ada segudang manfaat outbound. Salah satunya adalah mampu meningkatkan rasa nasionalisme siswa.
Agar tujuan yang diiginkan melalui kegiatan ini bisa tercapai, ada beberapa kegiatan yang dilakukan dalam outbound. Kegiatan itu berupa Simulasi Permainan, Aktifitas Nyata, Rangkaian Pemecahan Masalah, dan Diskusi Kelompok.
5.2 SARAN
Pelaksanaan kegiatan outbound sangat bagus diterapkan. Kegiatan ini menunjang dan mengembangkan kreatifitas peserta didik. Namun, kegiatan yang bersinggungan dengan ala mini juga memiliki resiko yang cukup besar. Oleh karena itu, memerlukan pendamping dan pengawasan dari instruktur.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators