Rabu, 22 Februari 2012

Ilmu Pragmatik

Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.
(2) “Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)
Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.

Fenomena Pragmatik
Kancah yang dijelajahi pragmatik ada empat: (a) deiksis, (b) praanggapan (presupposition), (c) tindak ujaran (speech acts), dan (d) implikatur percakapan (conversational implicature) (Purwo, 1990: 17).
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen yang berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Cahyono, 1995: 217).
Praanggapan (presupposition) adalah apa yang diasumsikan oleh penutur sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui pendengar (Cahyono, 1995: 219). Menurut Nababan (1987: 46), praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu, dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat, dsb) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Nababan memberikan contoh penggunaan presuposisi sebagai berikut:
(1) Wanita Indonesia membeli burung.
terdapat praanggapan bahwa:
(3.1) Ada seorang wanita Indonesia, dan
(3.2) Ada burung.
Jika kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (3) mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca.
Tindak ujaran (speech acts) ialah pengucapan suatu kalimat di mana si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu, tetapi ia juga menindakkan sesuatu (Purwo, 1990: 19). Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (1969: 23-24) dalam Wijana (1996: 17-22), mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni:
1. Tindak lokusi, yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Sebagai contoh:
(4) Jari tangan jumlahnya lima.
Kalimat (4) di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
2. Tindak ilokusi, yaitu sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh:
(5) Saya tidak dapat datang.
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf.
3. Tindak perlokusi, yaitu sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Sebagai contoh:
(6) Kunjungilah restoran Oshin!
Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa.
Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai taulan, dan rekan sekerja Anda. Dijamin halal.

Dalam wacana di atas, ditemukan penggunaan tindak perlokusi. Ini dapat diketahui karena penutur -pengelola restoran- selain mengatakan mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa juga meyakinkan pendengar/pembaca bahwa masakannya benar-benar halal.
Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1983: 97). Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Sebagai contoh:
(7) A : Jam berapa sekarang?
B : Korannya sudah datang.
Tampaknya kalimat (7A) dan (7B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan.
Dari keempat bidang kajian pragmatik tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk memahami makna sesuai dengan konteks yang terjadi. dalam penelitian ini. Kajian pragmatik tersebut digunakan untuk memahami makna dan fungsi deiksis pronomina persona.
(diunduh dari http://lisadypragmatik.blogspot.com)

Idialek dalam Kajian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakatpenuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasamasyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami.Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhiperbedaan aspek sosiokultural dalam masyarakat. Kelahiran Sosiolinguistik merupakan buah dariperdebatan panjang dan melelahkan dari berbagai generasi dan aliran. Puncak ketidakpuasankaum yang kemudian menamakan diri sosiolinguis ini sangat dirasakan ketika aliranTransformasional yang dipelopori Chomsky tidak mengakui realitas sosial yang sangat heterogendalam masyarakat. Oleh Chomsky dan pengikutnya ini, heterogenitas berupa status sosial yangberbeda, umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan sebagainya diabaikansebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan-pilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi yang memandang bahwa bahasatidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa melibatkan aspek-aspek sosial yang mencirikanmasyarakat.
Idiolek adalah ragam bahasa yang unik pada seorang individu. Hal ini diwujudkan dengan pola pilihan kosakata atau idiom (leksikon individu), tata bahasa, atau pelafalan yang unik pada setiap orang.
Para ahli bahasa sepakat bahwa konsep bahasa adalah suatu hal yang abstrak yang tergantung dari penutur dan pendengarnya. Menurut pandangan tersebut, sebuah bahasa adalah sebuah "rangkaian idiolek" dan bukan merupakan sebuah entitas tersendiri.[1] Ahli bahasa mempelajari bahasa tertentu dengan mengamati pengucapan yang dihasilkan dari orang yang menuturkan bahasa tersebut.
Pandangan ini berlawanan dengan pandangan umum kaum awam (nonlinguis), terutama di Amerika Utara, bahwa bahasa timbul dari sistem ketatabahasaan dan kosakata yang ideal, dan penggunaan/penuturannya sehari-hari didasarkan atas sistem kebahasaan eksternal tersebut.[2]
Bahasaan yang memahami bahasa sebagai gabungan dari idiolek-idiolek yang mandiri dan unik tetap harus memperhatikan bahwa anggota-anggota suatu komunitas penutur yang besar, bahkan penurut dialek yang berbeda dari bahasa yang sama, dapat mengerti satu sama lain. Pada dasarnya semua manusia tampak menghasilkan bahasa dengan cara yang sama.[3] Hal ini telah berujung pada pencarian suatu tata bahasa universal, termasuk usaha-usaha untuk mendefinisikan natur/hayat suatu bahasa tertentu.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators