Rabu, 25 Mei 2011

KALIMAT TANPA SUBJEK/PREDIKAT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Salah dan benar tampaknya merupakan dua hal yang bergandengan dan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang dalam mencapai kebenaran atau kesempurnaan tidak luput dari kesalah-kesalahan. Kebenaran tidaklah selalu bisa diraih dengan mudah tanpa disertai dengan kesalahan. Banyak orang mengatakan kesalahan adalah alat untuk mencapai kebenaran. Oleh karena itu, perlulah disadari bahwa kesalahan merupakan bagian dari usaha seseorang untuk mencapai sesuatu yang dianggap benar.
Dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan disadari atau tidak ternyata banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi. Kesalahan-kesalahan itu cenderung lebih banyak terjadi pada wacana lisan, karena wacana lisan itu bersifat temporer yang fana, dalam artian setelah diucapkan langsung hilang. Walaupun wacana lisan cenderung menyebabkan kesalahan, tidak menutup kemungkinan kalau wacana tulis ternyata mampu juga mengakibatkan hal itu. Kesalahan dalam wacana tulis dapat diidentifikasi dari kehadiran subjek dan predikat dalam kalimat tersebut. Unsur subjek dan predikat merupakan unsur yang kehadirannya selalu wajib dalam kalimat. Ketidakhadiran subjek dan predikat dapat menimbulkan kesalahan atau mengganggu proses komunikasi.Selain dapat mengganggu proses komunikasi, ketidakhadiran subjek dan predikat ternyata dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda dari pembaca, yang secara otomatis tidak ada kepastian referensi yang dimaksud oleh penulis.

1.2            Rumusan Masalah
Masalah adalah suatu hal keadaan atau kejadian yang menimbulkan pertanyaan untuk mengetahui keadaan dan kedudukan serta hal yang menimbulkan hasrat ingin tahu. Seanada dengan uraian diatas maka dalam masalah ini akan dikedepankan masalah yaitu :
1.      Apa hakikat kalimat?
2.      Bagaimana kehadiran subjek dan predikat dalam kalimat?
3.      Bagaimanakah analisis kesalahan dari data yang diperoleh?

1.3            Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan yang ingin dicapai yaitu.
1.      Untuk mengetahui hakikat kalimat
2.      Untuk mengetahui bagaimana kehadiran subjek dan predikat dalam kalimat.
3.      Untuk mengetahui analisis kesalahan dari data yang diperoleh.

1.4             Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup yang dianalisis dalam makalah ini.
  1. Maklah agama hindu
  2. Proposal penelitian
  3. Makalah seminar pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat kalimat
    Dalam bahasa Indonesia, kalimat  ada yang terdiri atas satu kata, misalnya Tadi ; ada yang terdiri atas dua kata , misalnya Dia peragawati ; ada yang terdiri atas tiga kata ; misalnya Ia sedang belajar ; ada yang terdiri aras empat kata , lima kata , enam kata , tujuh kata , dan seterusnya .Sesungguhnya yang menentukan satuan kalimat  bukannya banyaknya kata yang menjadi unsurnya , melainkan intonasinya .Setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik ( Ramlan , 1996 ) . Dalam wujud lisan , kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut , disela jeda , dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yangb mencegah terjadinya perpaduan asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainya . Dalam wujud tulisan , kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik , tanda tanya atau tanda seru ( Alwi , et . al , 1998 ; Kridalaksana , 1985 )
    Berdasarkan uraian tersebut , dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir naik atau turun .

a.     Konstituen Kalimat
    Pada bagian sebelumnya telah disinggung , bahwa kalimat merupakan konstruksi besar yang terdiri atas satu kata , dua kata , atau lebih .Ini berarti bahwa kalimat merupakan satuan terbesar untuk pemerian sintaksis dan kata yang terkecil.Walaupun kalimat dapat diuraikan menjadi untaian kata , penguraian itu tidak langsung dari kalimat ke kata. Di antara kalimat dan kata biasanya ada satuan antara berupa kelompok kata . Baik kalimat , maupun kelompok kata  yang menjadi unsur kalimat dapat dipandang sebagai suatu konstruksi disebut konstituen konstruksi tersebut ( Alwi , et . ai , 1998 ) . Kelompok kata atau  ( frase ) merupakan susunan  kata-kata yang berfungsi dalam struktur kalimat dapat disebut konstituen ( Burton – Roberts , 1997 ) .

            Pada dasarnya , analisis struktural suatu kalimat telah menetapkan pola hubungan konstituennya yang memperlihatkan secara lengkap hierarki konstituen-konstituen kalimat itu .

  1. Unsur Wajib dan Unsur Tak Wajib
             Minimal , kalimat terdiri atas unsur subjek dan predikat . Kedua unsur kalimat itu merupakan unsur yang kehadirannya selalu  wajib ( Suparman , 1988 ) . Di samping kedua unsur itu , dalam suatu kalimat kadang-kadang ada kata atau kelompok kata yang dapat dihilangkan tanpa memengaruhi status bagian yang tersisa sebagai kalimat , tetapi ada pula yang tidak . Hal ini akan lebih jelas jika kita memerhatikan contoh kalimat berikut ini .

(1)    Mungkin dia mengirim buku itu tadi pagi .
Kalimat tersebut terdiri atas lima konstituen , yaitu (i) mungkin , (ii) dia , (iii) mengirim , (iv) buku itu ,dan (v) tadi pagi. Dari kelima konstituen itu , hanya mungkin dan tadi pagi yang dapat dihilangkan tanpa memengaruhi status bagian yang tersisa sebagai kalimat , sedangkan yang lain tidak . Jadi , pada contoh berikut ini , kalimat (2-4) dapat kita terima , tetapi kalimat (5-7) tidak.                                                                  
(2)    Dia mingirim buku itu tadi pagi .
(3)    Mungkin dia mengirim buku nitu tadi pagi.
(4)    Dia mengirim buku itu .
(5)    ( Mungkin ) dia buku itu ( tadi pagi ).
(6)    ( Mungkin ) mengirim buku itu (tadi pagi ).
(7)    ( Mungkin ) dia mengirim ( tadi pagi ).

            Berdasarkan uraian singkat tersebut , dapat dibedakan unsur kalimat atas unsur wajib dan unsur tidak wajib ( manasuka ) . Unsur wajib terdiri atas konstituen kalimat yang tidak dapat dihilangkan , sedangkan unsur tidak wajib terdiri atas konstituen kalimat yang dapat dihilangkan .Dengan demikian , bentuk dia mengirim buku itu pada kalimat tersebut termasuk unsur wajib , sedangkan mungkin dan tadi pagi merupakan unsur tidak wajib.
            Perbedaan unsur kalimat atas unsur yang wajib dan tidak wajib tidak berkaitan langsung dengan bentuk dan fungsi konstituen kalimat .Pada umumnya , konstituen yang berfungsi sebagai keterangan , seperti mungkin dan tadi pagi pada contoh kalimat tersebut dapat dihilangkan .Demikian pula halnya dengan keterangan  ( alat ) dengan pisau pada kalimat Ibu mengupas mangga dengan pisau  , keterangan ( tempat ) ke sekolah pada kalimat Anak itu sudah berangkat ke sekolah .Akan tetapi , pada kalimat tertentu konstituen yang berfungsi sebagai keterangan wajib hadir . Perhatikan contoh kalimat berikut ini !
(8)    a. Dia menuju ke Bandung.
b. Dia menuju
   (9) a. Upacara pembukaan konferensi itu dilangsungkan pada pagi hari.
         b. Upacara pembukaan konferensi itu dilangsungkan.
              Bentuk ke Bandung pada (8a) dan pada pagi hari pada (9a) tidak dapat dihilangkan karena bentuk (8b) dan (9b) bukan kalimat dalam bahasa indonesia .Dalam hal tertentu ada kemungkinan (9b0 dipakai orang , tetapi secara lepas tidak mungkin dapat ditafsirkan bila konteks situasi pemakaiannya tidak diketahui .

2.2            Kalimat Tanpa Subjek dan atau Predikat

            Pada umumnya: setiap kalimat terdiri atas beberapa unsur yaitu Subjek (S), Predikat (P), Objek (0), dan Keterangan (K}, Akan tetapi, pada dasarnya setiap kalimat terdiri atas dua bagian yang saling melengkapi yaitu S dan P. O dan K hanyalah keterangan lebih lanjut terhadap P atau bagian kalimat yang menerangkan P.
                Akhdiah dkk.. mengatakan bahwa setiap kalimat yang baik harus memiliki Subjek dan Predikat ( 1985;3 ). Ini berarti jika salah satu atau kedua unsur kalimat ( S dan P ) tidak ada, kalaimat itu terasa janggal dan tidak efektif karena kedua unsur itu merupakan sendi atau dasar kalimat yang mendukung ide pokok suatu kalimat. I:barat sebuah bangunan, jika tidak memiliki dasar yang kokoh, bangunan itu menjadi kurang kuat sehingga mudah roboh.
            Memang, dua unsur kalimat ini ( S dan P ) tidak       sama sifatnya dengan dua unsur kalimat lainnya. 0 dan K tidaklah se­lalu mesti hadir'dalam suatu kalimat. Dengan kata lain, tidaklah setiap kalimat mesti mengandung 0 dan K. Dalam Bahasa Indo­nesia memang dikenal istilah kalimat tak sempurna yaitu kalimat yang tidak bersubjek atau tidak berpredikat atau tidak bersubjek dan tidak berpredikat, Kalimat semacam ini juga disebut ka­limat yaitu kalimat yang salah satu atau kedua unsurnya tidak ada. Istilah tidak ada ini hanya ditinjau seca.ra ekspli­sit, sesunnguhnya.tidak ada istilah kalimat  Marilah kita perhatikan beberapa kalimat berikut.
1. Lemparkan
3. Dian
4. Perampok
5.  Kemarin pagi

Lepas dari situasi dan kondisi lahirnya kalimat-kalimat di atas jelas ada unsur inti kalimat yang dielipkan Akan tetapi, dengan memahami bagaimana situasi dan kondisi laihirnya ka­limat-kalimat Itu, kenyataannya menjadi lazim. Secara eksplisit, kalimat 1 dan 2 di atas tidak bersubjek. Dia hanya dibentuk oleh P. Akan tetapi, secara implisit S kalimat itu ada yaitu lawan bicara. Selanjutnya, kalimat 3, 4, dan 5 bisa saja me­rupakan kalimat jawab singkat terhadap pertanyaan berikut,
- Siapa menyapu di halaman ? Dian
- Siapa dipukuli warga ? Perampok
- Kapan peristiwa itu terjadi ? Kemarin pagi

P
 
S
 
Dengan menghubungkan kalimat-kalimat tanya dengan kali­mat-kalimat jawabnya seperti di atas dapatlah dikatakan secara eksplisit kalimat “Dian” dan "Perampok'' tidak mengandung P, te­tapi secara implisit P kalimat itu ada yaitu masing-masing menyapu dan dipukuli. Selanjutnya kalimat "Kemarin pagi”tidak  mengandung S dan P (seca­ra eksplisit ), Akan tetapi, secara implisit S dan P kalimat itu ada yaitu masing-masing Peristiwa itu/ terjadi……      dan
                                                             
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa kalimat tak sempurna hanya ada jika sebuah kalimat ditin jau se­cara tersendiri, Dalam satu unit wacana yang lebih luas tidak ada istilah kalimat tak sempurna ( kalimat elips ) karena apa yang dianggap tidak ada itu sesungguhnya ada. Secara eksplisit kedua unsur inti kalimat itu tidak ada, tetapi secara implisit kedua unsur inti kalimat itu ada. Jadi, setiap kalimat yang baik harus memiliki S dan P. Dalam kenyataan sehari-hari, sering kita menjumpai kalimat yang sulit kita ketahui atau kita cari S dan atau P-nya.
Misalnya :
- Kepada undangan harap berdiri,
- Bagi yang belum melunasi uang SPP harap menghadap ke kantor

Kedua kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku secara jelas. boleh dikatakan kedua kalimat itu tidak memili­ki S. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kata tugas kepada dan bagi di depan kata-kata yang semuanya berfungsi sebagai ya­itu hadirin dan ano belum melunasi_ uang_ SPP_. Dengan rnenghi.langkan kedua kata tugas itu kita akan mendapat dua buah ka­limat yang baku yaitu :
Kesalahan serupa ini bisa juga diatasi dengan mengubah
fakultas kita masih memerlukan tenaga pengajar bisa            diubah menjadi kalimat yang baku di fakultas kita masih diperlukan


2.3 Pemaparan Data dan Analisis Kesalahannya
            Diambil dari makalah yang berjudul: Agama Dijadikan Tameng Keangkuhan Manusia. Oleh: I Putu Yogi Santosa. Adapun datanya adalah sebagai berikut:

  1. Sifat angkuh dan sombong ada pada setiap manusia.

Pembahasan :
Keterangan
 
S
 
Sifat angkuh dan sombong,  ada pada setiap manusia.
Kalimat di atas menunjukan bahwa kalimat tersebur belum lengkap. Kalimat tersebut hanya terdiri atas dua unsur yaitu subyek dan keterangan, sedangkan syarat mutlak sebuah kalimat adalah terdiri atas sebuah subyek dan sebuah predikat. Agar kalimat tersebut menjadi kalimat baku, maka dilengkapi dengan kata dimiliki oleh yang berfungsi sebagai predikat. Dengan menambahkan predikat, kita akan mendapat kalimat yang baku, yaitu:
O
 
P
 
S
 
Sifat angkuh dan sombong dimiliki oleh setiap manusia.


  1. Sebagai daerah tujuan wisata tidak bisa menghindar dari masalah yang timbul sebagai akibat dari perkembangan pariwisatannya.
Pembahasan :
Kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku, karena tidak sesuai dengan kaidah yang ada khusunya menyangkut tata kalimat. Kalimat tersebut belum menampakan subyek secara jelas. Boleh dikatakan kalimat tersebut tidak memiliki subyek. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kata tugas sebagai di depan kata-kata yang sebenarnya berfungsi sebagai S, yaitu daerah tujuan wisata. Dengan menghilangkan kata tugas itu, kita akan mendapat kalimat yang baku yaitu:
O
 
P
 
S
 
Daerah tujuan wisata tidak bisa menghindar dari masalah yang timbul

sebagai akibat dari perkembangan pariwisatannya.


Diambil dari makalah yang berjudul: Perspektif dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global. Oleh Nyoman Dantes. Adapun datanya adalah sebagai berikut:

  1. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai intrumental, sampai pada nilai operasional.

Pembahasan :
keterangan
 
S
 
Tata nilai itu sendiri, kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai intrumental, sampai pada nilai operasional
Kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku, karena tidak sesuai dengan kaidah yang ada khusunya menyangkut tata kalimat. Kalimat tersebut belum menampakan predikat secara jelas. Boleh dikatakan kalimat tersebut tidak memiliki predikat. Predikat adalah bagian yang memberikan keterangan tentang sesuatu yang berdiri sendiri atau subjek itu.
            Kalimat tersebut seharusnya dilengkapi dengan predikat, seperti di bawah ini.
P
 
S
 
Keterangan
 
Tata nilai itu sendiri, bersifat   kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai intrumental, sampai pada nilai operasional


Diambil dari usulan penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Narasi pada Siswa Kelas VI SDN 1 Pujungan dengan Menggunakan Media Gambar Berseri, oleh I Ketut Elik Sastrawan.

1.    Menjelaskan pengertian karangan naratif, cara membuat karangan naratif, serta contoh karangan naratif.

Pembahasan :
P
 
O
 
Menjelaskan pengertian karangan naratif, cara membuat karangan naratif, serta contoh karangan naratif
Kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku, karena tidak sesuai dengan kaidah yang ada khusunya menyangkut tata kalimat. Kalimat tersebut belum menampakan subyek secara jelas. Boleh dikatakan kalimat tersebut tidak memiliki subyek.
Seharusnya, dalam kalimat tersebut, di depan predikat diberikan sebuah nomina sehingga kalimat tersebut menjadi lengkap dan baku, seperti di bawah.
0
 
S
 
P
 
Guru menjelaskan pengertian karangan naratif, cara membuat karangan naratif, serta contoh karangan naratif.

2.    Memasang gambar di papan tulis.

Pembahasan :
K
 
O
 
P
 
Memasang  gambar  di papan tulis

Kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku, karena tidak sesuai dengan kaidah yang ada khusunya menyangkut tata kalimat. Kalimat tersebut belum menampakan subyek secara jelas. Boleh dikatakan kalimat tersebut tidak memiliki subyek.
Seharusnya, dalam kalimat tersebut, di depan predikat diberikan sebuah nomina sehingga kalimat tersebut menjadi lengkap dan baku, seperti di bawah.
S
 
P
 
O
 
K
 
Budi memasang  gambar  di papan tulis

3.    Menjelaskan peranan gambar dalam menulis karangan naratif.
Pembahasan :
P
 
O
 
Menjelaskan peranan gambar dalam menulis karangan naratif
Kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku, karena tidak sesuai dengan kaidah yang ada khusunya menyangkut tata kalimat. Kalimat tersebut belum menampakan subyek secara jelas. Boleh dikatakan kalimat tersebut tidak memiliki subyek.
Seharusnya, dalam kalimat tersebut, di depan predikat diberikan sebuah nomina sehingga kalimat tersebut menjadi lengkap dan baku, seperti di bawah.
S
 
P
 
O
 
Guru    menjelaskan peranan gambar dalam menulis karangan naratif


4.    Menginformasikan cara-cara penilaiaan diri.
Pembahasan :
P
 
O
 
Menginformasikan cara-cara penilaiaan diri

Kalimat di atas tergolong kalimat yang tidak baku, karena tidak sesuai dengan kaidah yang ada khusunya menyangkut tata kalimat. Kalimat tersebut belum menampakan subyek secara jelas. Boleh dikatakan kalimat tersebut tidak memiliki subyek.
Seharusnya, dalam kalimat tersebut, di depan predikat diberikan sebuah nomina sehingga kalimat tersebut menjadi lengkap dan baku, seperti di bawah.
S
 
P
 
O
 
 Dosen    menginformasikan  cara-cara penilaiaan diri











BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir naik atau turun . Minimal , kalimat terdiri atas unsur subjek dan predikat . Kedua unsur kalimat itu merupakan unsur yang kehadirannya selalu  wajib ( Suparman , 1988 )
Akhdiah dkk.. mengatakan bahwa setiap kalimat yang baik harus memiliki Subjek dan Predikat ( 1985;3 ). Ini berarti jika salah satu atau kedua unsur kalimat ( S dan P ) tidak ada, kalaimat itu terasa janggal dan tidak efektif karena kedua unsur itu merupakan sendi atau dasar kalimat yang mendukung ide pokok suatu kalimat. I:barat sebuah bangunan, jika tidak memiliki dasar yang kokoh, bangunan itu menjadi kurang kuat sehingga mudah roboh.
Ternyata banyak kita temukan adanya kesalahan dalam pemakaian bahasa tulis. Setelah dilakukan analisis ditemukan ada beberapa kesalahan pemakaiaan subyek dan predikat dalam sebuah karya tulis.

3.2 SARAN
          Untuk menghindari kesalahan penggunaan bahasa, terutama menyangkut penggunaan unsur subyek dan predikat dalam kalimat, sebaiknya penulis memahami penggunaan tata bahasa baku. Dengan memahami tata bahasa baku, kita akan terhindar dari kesalahan berbahasa tersebut. Penguasaan terhadap keterampilan analisi kesalahan juga sangat membantu penulis dalam membuat karya yang baik, terutama menyangkut karya ilmiah.







KEGIATAN PENYUNTINGAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan komunikasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Boleh dikatakan, tiada hari dalam hidup kita yang terlewat tanpa komunikasi. Dalam berkomunikasi, terjadi penyaluran informasi dari satu pihak kepada pihak lain melalui sarana tertentu. Sarana ini tentu saja beragam bentuknya, mulai dari yang paling sederhana seperti bahasa tubuh, sampai yang paling canggih seperti internet. Salah satu sarana komunikasi yang sudah akrab dengan kehidupan kita adalah media massa, baik media cetak maupun elektronik.
Secara umum, media massa menyampaikan informasi yang ditujukan kepada masyarakat luas. Karena ditujukan kepada masyarakat luas, maka informasi yang disampaikan haruslah informasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, atau yang menarik perhatian mereka
Agar informasi dapat sampai ke sasaran (khalayak masyarakat) sesuai yang diharapkan, maka media massa harus mengolah informasi ini melalui proses kerja jurnalistik. Dan informasi yang diolah oleh media massa melalui proses kerja jurnalistik ini merupakan apa yang selama ini kita kenal sebagai berita. Secara umum, kita dapat menyebutkan bahwa media massa merupakan sarana untuk mengolah peristiwa menjadi berita melalui proses kerja jurnalistik.
Dengan demikian, jelaslah bahwa peristiwa memiliki perbedaan yang sangat konseptual dengan berita. Peristiwa merupakan kejadian faktual yang sangat objektif, sementara berita merupakan peristiwa yang telah diolah melalui bahasa-bahasa tertentu, dan disampaikan oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain yang memerlukan atau siap untuk menerimanya.
Agar informasi  yang ingin disampaikan kepada masyarakat dapat diterima dengan baik. Maka salah satu proses kerja jurnalistik adalah bagian peyuntingan. Bagian ini bertugas khusus dalam hal yang berkaitan langsung dengan naskah yang akan diterbitkan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan cermat dan seksama oleh penyunting adalah masalah ejaan, tatabahasa, kebenaran fakta, legalitas, konsistensi, gaya penulis, konvensi penyuntingan naskah, dan gaya penerbit/gaya selingkung.

1.2 RUMUSAN MASALAH
      Dari latar belakang yang disamapaikan pada latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dihadapi.
  1. Bagaimana latar belakang penyuntingan?
  2. Apa hakikat penyuntingan?
  3. Apa tujuan penyuntingan?
1.3 TUJUAN PENULISAN
      Dari latar belakang dan rumusan masalah yang disampaikan di atas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan penulisan makalah ini.
  1. Mengetahui latar belakang penyuntingan.
  2. Mengetahui secara jelas hakikat penyuntingan.
  3. Mengetahui tujuan dari kegiatan penyuntingan.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1 LATAR BELAKANG PENYUNTINGAN
Menjadi seorang penyunting (editor) ternyata bukanlah tugas yang biasa saja. Jika ingin menyandang jabatan itu, seseorang harus memikirkan bahwa dia memiliki tanggung jawab untuk melengkapi dirinya dalam dunia yang luas, yaitu dunia literatur. Jadi, seorang penyunting tidak hanya bermodal ejaan yang baik dan benar saja, akan tetapi harus memiliki "beban" sebagai seorang penyunting yang baik dan benar pula.
"Buku Pintar Penyuntingan Naskah" yang ditulis oleh Pamusuk Eneste benar-benar dapat dijadikan salah satu referensi bagi para penyunting, khususnya yang baru saja menggeluti bidang ini. Isinya tidak hanya hal-hal teknis seputar penyuntingan, akan tetapi beberapa bab menjelaskan mengenai tugas-tugas, syarat, dan hal-hal yang harus diperhatikan seorang editor. Bagian-bagian tersebut dapat membangkitkan semangat untuk lebih mengembangkan diri atau untuk menguji apakah saat ini seseorang telah menjadi editor yang baik dan benar.
Dalam menjaga kemantapan atau bahkan peningkatan mutu berkala, fungsi penyaring harus dijalankan ketat walaupun dalam pelaksanaanya dapat dilakukan baik secara pasif maupun aktif. Begitu sautu berkala ilmiah terbit, secara tidak langsung telah tercipta saringan terhadap karangan yang akan dimasukkan. Dari nomor perdata suatu ilmiah berkala sudah dapat terbaca ruang lingkup bidang            , kedalaman spesialisasi, macam bahasa  sebaran dan cakupan.
Geografi, keteknisan, serta corak pembaca yang menjadi sasarannya. Petunjuk penulis merupakan saringan kedua sebab hanya karangan yang sesuai dengan petunjuk tadi diterima  untuk diterbitkan. Saringan ketiga dilakukan secara aktif oleh penyaring dengan menelaah nilai dan kadar ilmiah dwn mgengevakuasi makna sumbangannya untuk memajuk,an ilmu dan teknologi. Hanya karangan ilmiah yang lolos bentuk saringan ini yang diproses lebih lanjut untuk di terbitkan.
Untuk mencapai semua sasaran prsyaratan yang dibakukan ini menjadi hak para penyunting untuk memperbaiki , merevisi, mgengatur kembali isi dan menyelaraskan atau terkadang mengubah gaya karya ilmiah yang ditujukan dseseorang untyuk diterbitkan dalam berkala  yang diasuhnya.
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa tugas penyunting karya terbatas pada pengolahan naskah menjadi suatu bahan yang siap       , dan menawasi pelaksaan segi teknis sampai naskah tadi     . penyunting bukan penerbit, jadi mereka tidak bertanggung jawab atas masalahkeuangan, penyebaluasan serta pengelolaan         suatu penerbitan. Para penyunting bertanggung jawab atas isi dan bukan atas produksi  bahan yang diterbitkan.
Untuk memapankan peran danm kedudukan penyunting sebagai agen yang ikut berperan dalam memajukkan ilmu dan teknologi. Sebagai sepak terjang kegiatan penyunting haruslah didasarkan pada            seperangkat kode etik cara bersikap dan bekerja. Kesadaran akan fungsi terhormat yang harus diisinya diharapkan menumbuhkan tebinanya korps penyunting dan mitra bestari yang terandalkan. Berikut ini adalah rangkuman berbagai sikap dan cara kerja yang sangat doisarankan dipatuhi dalam penyunting dalam menurunkan tugas dan fungsinya.
Buku pintar ini juga memberikan tuntunan kepada para penyunting tentang pentingnya setiap proses penyuntingan. Seperti, proses Pra penyuntingan naskah yang meliputi pengecekan kelengkapan naskah, ragam naskah, daftar isi, bagian-bagian bab, ilustrasi/tabel/gambar, catatan kaki, informasi mengenai penulis, dan membaca naskah secara keseluruhan.
Dalam proses penyuntingan itu sendiri, yang perlu diperhatikan dengan cermat dan seksama oleh penyunting adalah masalah ejaan, tatabahasa, kebenaran fakta, legalitas, konsistensi, gaya penulis, konvensi penyuntingan naskah, dan gaya penerbit/gaya selingkung.
Tidak kalah pentingnya juga proses pasca penyuntingan naskah. Dalam proses ini setiap editor harus memeriksan kembali kelengkapan naskah, nama penulis, kesesuai daftar isi dan isi naskah, tabel/ilustrasi/gambar, prakata/kata pengantar, sistematikan tiap bab, catatan kaki, daftar pustaka, daftar kata/istilah, lampiran, indkes, biografi singkat, sinopsis, nomor halaman, sampai siap diserahkan kepada penulis atau penerbit.
Ternyata tidak begitu sederhana juga tugas seorang penyunting naskah itu, bukan? Semua membutuhkan kemauan dan kerja keras untuk dapat menjdi penyunting yang baik dan benar. Semua kerja keras itu bahkan tidak boleh berhenti pada satu puncak, harus terus ditingkatkan hari demi hari.


2.2  HAKIKAT PENYUNTINGAN
Penyuntingan berasal dari kata dasar sunting melahirkan bentuk turunan menyunting (kata kerja), penyunting (kata benda), dan peyuntingan (kata benda).
Kata menyunting bermakna (1) mempersiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi istematika penyajiannya, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat); mengedit; (2) merencanakan dan mengarahkan penerbitan (surat kabar, majalah); (3) menyusun dan merakit (film, pita rekaman) dengan cara memotong-motong dan memasang kembali (KBBI, 2001 : 1106)
Orang yang melakukan pekerjaan menyunting disebut penyunting, yaitu orang yang bertugas menyiapkan naskah (KBBI, 2001:1106). Selanjutnya kata penyunting bermakna proses, cara, perbuatan sunting-menyunting; segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan menyunting; pengeditan. Dengan demikian, penyuntingan naskah adalah pross, cara, perbuatan menyunting naskah
Berdasarkan perkembangan bahasa Indonesia akhir-akhir ini, istilah penyuntingan disepadankan dengan kata inggris “ editor “ atau “ redaktur . Kata yang pertama diturunkan dari bahasa latin “ editor, edi “ yang berarti menghasilkan atau mengeluarkan ke depan umum. Adapun kata yang ke dua juga dijabarkan dari perkataan latin “ redigore “ yang bermakna membawa kembali lagi. Kedua perkataan inggris tadi kemudian berkembang menjadi berarti, menyiapkan, menyeleksi dan dan menyesuaikan naskah orang lain untuk penerbitan, dengan catatan bahwa istilah editor lebih sering dipergunakan orang. Dengan demikian istilah penyuntingan yang kini di populerkan  di Indonesia merupakan istilah yang di selangkan dengan istilah redaksi. Istilah yang terakhir ini sebelumnya lebih sering di pakai orang berdasarkan hasil serapannya dari bahasa belanda “ Redactic”
Konotasi yang berkembang di Indonesia lebih mengaitkan istilah redaksi pada surat kabar dan majalah berkala. Istilah ini sulit diterima untuk kegiatan seperti mempersiapkan buku buat penerbitan, atau pemeriksaan tugas tesis mahasiswa sebelum diuji. Perkataan pnyuntingan yang bari digali dari kosakata pribumi itu dianggap lebih neutral untuk memenuhi berbagai keperluan yang maksudnya semakin luas. Oleh karena itu, penyuntingan dapat didefenisikan sebagai orang yang mengatur, memperbaiki, merevisi, mengubah isi dan gaya naskah orang lain, serta menyesuaikan dengan suatu pola yang dilakukan untuk kemudian membawanya ke depan umum dalam bentuk terbitan.
Pekerjaan penyuntingan karya ilmiah untuk diterbitkan bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga tidak dapat dijadikan kegiatan sampingan. Namu , sudah bukan rahasia lagi bahwa penyuntingan berkala tidak pula pekerjaan berat. Pada pihak lain penyuntingan menuntut banyak dari seseorang, sebab disamping itu       secara sempurna menguasai bidang. Umumya ia harus mempunyai kesempurnaan bahasa yang tinggi. Selanjutnya ia pun perlu memahami gaya penyuntingan dan proses penerbitan ataupun redaksi penernbitan karya termaksud. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi fungsinya dengan baik seorang penyunting haruslah  mempunyai modal waktu, kemauan, kemampuan, dsiplin kerja serta pemahan teori.
Karena pentingnya fungsi penyunting sebagai penghubung, haruslah tersedia saluran akrab dan terbuka diantara penulis-penyunting-pembaca. Semuanya harus satu nada, satu irama, dan satu gelombang. Keselarasan tersebut akan sangat menentukan keteraturan isi karya yang disusun oleh penulis, kemudian diolah penyunting dan dikeluarkan penerbit serta akhirnya di telaah pembaca. Pengaturan dan penyelarasan semua parameter tadi berada di tangan penyunting yang kemudian menghasilkan berbagai kategori terbitan berkala.
Menjadi hak penyunting untuk menggariskan dalam menentukan tingkat keteknisan berkala yang diasuhnya. Begitu pula para penyuntinglah yang memutuskan bentuk penampilan majalah, besar ukuran kertas, tata letak dan perwajahan, serta tebal atau jumlah halaman per nomor atau per jilid. Dalam mengeluarkan petunjuk pada calon penyumbang naskah, para penyunting majalah bermaksud telah memformulasikan gaya selingkung yang mutlak harus diisi demi kekosistenannya. Tetapi,  begitu pola ditetapkan, menjadi kewajiban penyunting pula untuk menjaga kemantapan semua yang telah digariskan tadi.
Penyuntingan bermaksud mengenal pasti masalah yang terdapat dalam taipskrip dan menyelesaikannya. Penyuntingan melibatkan tugas-tugas menulis semula, menyusun semula, melengkapkan, membaiki dan menyelaraskan taipskrip bagi mengawal dan meningkatkan mutunya untuk tujuan penerbitan.
Untuk bisa menjadi seorang editor atau penyunting yang baik, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh penyunting. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut.
  1. Editor hendaklah mempunyai kelayakan dan pengetahuan dalam bidang yang dinilai.
  2. Mempunyai waktu yang cukup untuk menilai taipskrip dalam tempoh yang ditentukan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka.
  3. Bertanggungjawab terhadap laporan penilaiannya.

2.3 TUJUAN PENYUNTINGAN
Tujuan Penyuntingan yang dilakukan oleh para penyunting adalah sebagai berikut.
   1. Untuk menjadikan taipskrip sebagai karya yang sempurna yang dapat dibaca dan dihayati dengan mudah oleh pembaca apabila diterbitkan kelak.
   2. Untuk memastikan isi dan fakta taipskrip berkenaan disampaikan dengan jelas, tepat, dan tidak bercanggah atau menyalahi agama, undang-undang, etika dan norma masyarakat.
   3. Untuk memastikan pengaliran atau penyebaran idea daripada penulis kepada pembaca dapat disampaikan dalam bahasa yang gramatis, jelas, indah dan menarik.
   4. Untuk menjadikan persembahan e-buku yang akan diterbitkan itu dapat menggambarkan nilai dan identiti karya itu sendiri sehingga dapat menarik minat pembaca.
   5. Menonjolkan identiti penerbit dengan memastikan e-buku itu menepati gaya penerbitan penerbit.
Dalam penyuntingan, kita mengenal dua tahap penyuntingan, yaitu penyuntingan substansif dan penyuntingan kopi. Berdasarkan tahap-tahap penyuntingan yang ada, maka ada beberapa tujuan lain dari penyuntingan.
1.      Penyuntingan Substantif
Tujuan penyuntingan subtantif dilakukan adalah untuk memastikan hasrat atau idea penulis dapat disampaikan setepat, sepadat, dan sejelas yang mungkin. Semasa membuat penyuntingan subtantif, editor akan membaca taipskrip sepintas lalu dengan memberikan tumpuan kepada kandungan, pendekatan secara menyeluruh, bahasa, susunan atau konsep taipskrip berkenaan.
Berdasarkan penelitian tersebut, editor akan membuat teguran dan cadangan kepada penulis untuk sama ada melengkapkan taipskrip, menulis semula, menyusun semula, menggugurkan atau memotong bahagian teks atau ilustrasi yang tidak perlu, dan membuat tambahan.
Berikut ialah perkara yang perlu diteliti semasa penyuntingan substantif:
    * Tajuk tepat dan jelas
    * Pembahagian bab dan tajuk kecil jelas
    * Adanya kesinambungan antara bahagian, bab dan paragraf.
    * Keseimbangan antara setiap bab dan paragraf.
    * Taipskrip tidak bercanggah dengan undang-undang, moral dan agama.
    * Penguasaan bahasa.
    * Keselarasan istilah dan ejaan.
    * Bahan awalan, teks dan akhir hendaklah lengkap mengikut halaman
      kandungan.
    * Memastikan fakta tepat, mencukupi dan fakta yang tidak relevan tidak dimasukkan.
    * Petikan bahan daripada karya lain telah mendapat keizinan.

   2. Penyuntingan Kopi
Tujuan penyuntingan kopi adalah untuk menghapuskan semua halangan yang wujud antara pembaca dengan apa yang hendak disampaikan oleh penulis. Penyuntingan kopi memerlukan perhatian yang teliti terhadap setiap butiran di dalam taipskrip.
Editor perlu berpengetahuan tentang apa yang patut disunting dan gaya yang patut diikuti di samping mempunyai kebolehan untuk membuat keputusan dengan cepat, lojik, dan yang boleh dipertahankan. Semasa membuat suntingan kopi, editor akan membaca taipskrip berkenaan dengan teliti, iaitu membaca perkataan demi perkataan, ayat demi ayat, baris demi baris dan kadang-kadang melihat huruf demi huruf. Kebanyakan daripada masa penyuntingan itu, editor akan berurusan dengan hal penyusunan, bahasa dan kebolehbacaan taipskrip itu.
Tahapan  dalam penyuntingan kopi:
  • Membuat penyuntingan baris demi baris.
  • Memberi tumpuan khusus kepada fakta dan bahasa.
  • Memastikan kapsyen bagi ilustrasi ringkas, tepat, padat dan lengkap.
  • Memastikan keselarasan ejaan, istilah dan gaya bahasa.
  • Memastikan ketepatan dan keselarasan ilustrasi dan bahan lain dalam teks tersebut.
  • Menandakan teks dengan kaedah tanda atau piawaian sebagai arahan teknikal mengatur huruf.
  • Memberi tumpuan kepada gaya penerbitan.
Berikut ialah hal-hal yang perlu diteliti semasa penyuntingan kopi:
a)      Fakta - Pastikan semua butiran dalam teks betul. Editor perlu menyemak dengan teliti untuk memastikan ketepatan. Kadang-kadang kesilapan fakta boleh berlaku semasa teks ditaip. Contohnya, papan lapis menjadi papan lapik dan tidak mahal harganya menjadi mahal harganya. Selain itu ada sesetengah pernyataaan yang tidak tepat dan berunsur negatif sehingga boleh membawa kepada tindakan undang-undang.
b)      Bahasa, bahasa yang dimaksud mencakup.
  • Diksi ialah pemilihan penggunaan kata-kata. Dalam hal ini editor kopi perlu memastikan:
i) kata-kata yang dipilih berkesan dari segi maksud dan
iii) kata-kata yang dipilih sesuai dengan laras bahasa yang digunakan.
Contohnya, laras bahasa sains, laras bahasa undang-undang dan lain-lain.
Semasa menyemak diksi, editor kopi mungkin perlu membuang atau menggantikan perkataan yang;
(i) tidak tepat
(ii) sukar difahami
(iii) tidak tersusun dengan baik
(iv) terlalu umum atau samar
(v) terlalu banyak
(vi) bentuknya tidak konsisten
(vii) tidak menarik dan tidak sesuai untuk pembaca
·  Perbendaharaan kata - Editor kopi perlu memastikan perbendaharaan kata tersebut sesuai dengan peringkat dan golongan pembaca sasarannya.
  • Tatabahasa - Aspek-aspek tatabahasa yang digunakan dalam teks seperti:


(i) kata terbitan
(ii) kata sendi
(iii) kata ganti singkat
(iv) partikel
(v) unsur imbuhan asing
(vi) rangkai kata setara
(vii) hukum DM
(viii) kata ulang
(ix) kata majmuk


Editor kopi hanya perlu membaiki kesalahan dari segi tatabahasa tanpa mengubah gaya asas atau idea yang hendak disampaikan oleh penulis.

  • Pembinaan Ayat dan Pemerengganan Dalam aspek ini editor kopi perlu melihat wujudnya:
(i)   Kepelbagaian dalam struktur dan panjang ayat sesuatu penulisan itu perlu mempunyai binaan ayat aktif dan pasif.
(ii) Ayat-ayat yang berkesan, iaitu ayat-ayat yang tidak terlalu panjang, munasabah mengikut urutan idea atau penekanan dalam ayat.
(iii)       Pembentukan perenggan yang baik dan sesuai mengikut ideanya. Sebaik-baiknya setiap perenggan membicarakan satu idea sahaja dan setiap idea hendaklah dihuraikan dengan ayat-ayat gramatis, tepat dan berkesan. Panjang pendek sesuatu perenggan bergantung pada sepanjang mana sesuatu idea dapat dihuraikan dengan sempurna. Selain itu pastikan tidak terdapat ayat tergantung atau tidak lengkap, dan ayat-ayat yang ditulis dalam bahasa yang berbelit-belit. Ayat tersebut haruslah diperbaiki dan dipermudahkan, sekiranya perlu ditulis semula.
·       Ejaan - Pastikan perkataan dieja dengan betul. Kesalahan ejaan kadangkala boleh menyebabkan kesalahan fakta. Contohnya, perkataan yang patut dieja sebagai lancang menjadi lancung.
·       Istilah - Editor kopi perlu mengenal pasti istilah yang tidak tepat, tidak kemas kini atau tidak selaras. Dalam hal ini, editor kopi perlu membaiki, mengemas kini dan menyelaraskan penggunaannya.
·       Gaya, Editor kopi perlu mengambil perhatian terhadap gaya persembahan supaya menepati dan selaras penggunaannya. Berikut perkara yang perlu diberi perhatian:
i) Tanda baca
ii) Singkatan, akronim dan simbol
iii) Huruf besar dan huruf condong
iv) Penomoran
v) Cara/Gaya penyampaiaan















BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Berdasarkan perkembangan bahasa Indonesia akhir-akhir ini, istilah penyuntingan disepadankan dengan kata inggris “ editor “ atau “ redaktur . Kata yang pertama diturunkan dari bahasa latin “ editor, edi “ yang berarti menghasilkan atau mengeluarkan ke depan umum. Adapun kata yang ke dua juga dijabarkan dari perkataan latin “ redigore “ yang bermakna membawa kembali lagi. Kedua perkataan inggris tadi kemudian berkembang menjadi berarti, menyiapkan, menyeleksi dan dan menyesuaikan naskah orang lain untuk penerbitan, dengan catatan bahwa istilah editor lebih sering dipergunakan orang. Dengan demikian istilah penyuntingan yang kini di populerkan  di Indonesia merupakan istilah yang di selangkan dengan istilah redaksi. Istilah yang terakhir ini sebelumnya lebih sering di pakai orang berdasarkan hasil serapannya dari bahasa belanda “ Redactic”
      Tujuan Penyuntingan yang dilakukan oleh para penyunting adalah sebagai berikut.
   1. Untuk menjadikan taipskrip sebagai karya yang sempurna yang dapat dibaca dan dihayati dengan mudah oleh pembaca apabila diterbitkan kelak.
   2. Untuk memastikan isi dan fakta taipskrip berkenaan disampaikan dengan jelas, tepat, dan tidak bercanggah atau menyalahi agama, undang-undang, etika dan norma masyarakat.
   3. Untuk memastikan pengaliran atau penyebaran idea daripada penulis kepada pembaca dapat disampaikan dalam bahasa yang gramatis, jelas, indah dan menarik.
   4. Untuk menjadikan persembahan e-buku yang akan diterbitkan itu dapat menggambarkan nilai dan identiti karya itu sendiri sehingga dapat menarik minat pembaca.
   5. Menonjolkan identiti penerbit dengan memastikan e-buku itu menepati gaya penerbitan penerbit.
3.2  SARAN
Jurnalistik merupakan ilmu terapan yang bisa didapatkan secara otodidak, kursus, baca, dan latihan secara intensif. Namun jika hendak mendalaminya secara keilmuan/akademis, tentu saja harus masuk pendidikan formal. Dalam jurnalistik penyuntingan merupakan sebuah bagian atau proses dari terbitnya sebuah berita atau sebagainya. Dalam mendalami tentang dunia jurnalistik terutama penyuntingan, sangat dituntut pemahaman tentang penggunaan kaidah bahasa Indonesia. Karena hal ini akan menunjang profesionalisme seorang penyunting. Selain itu, pemahaman tentang teori atau ilmu tentang penyuntingan akan sangat bermanfaat.




















DAFTAR PUSTAKA
Eneste, Pamusuk. 2005. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta : Gramedia pustaka utama

      Bintang, Putri.2007. Seluk Beluk Jurnalisme di Indonesia.. http://angeliadewicandra.blogsome.com/feed/. (diakses pada tanggal 5 Maret 2008)
Dana, Davida Welni.2008. Seputar Penyuntingan Naskah. http://www.sabda.org/pelitaku/seputar_penyuntingan_naskah. (diakses pada tanggal 5 Maret 2008)
Sulistyono,Arif Gunawan.2007. Edit dan sunting. http://mywritingblogs.com/jurnalisme/xmlrpc. (diakses pada tanggal 5 Maret 2008)














Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators