Kunci sukses pengajaran bukan terletak pada kecanggihan kurikulum atau
kelengkapan fasilitas sekolah, melainkan bagaimana kredibilitas seorang guru di
dalam mengatur dan memanfaatkan mediator yang ada di dalam kelas.
Pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan
hidup negara dan bangsa. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana untuk
meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Guna mewujudkan
tujuan di atas diperlukan usaha yang keras dari masyarakat maupun pemerintah.
Masyarakat Indonesia
dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah berat, terutama berkaitan
dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pendidikan dan telah melakukan pembaharuan sistem
pendidikan. Usaha tersebut antara lain adalah penyempurnaan kurikulum,
perbaikan sarana dan prasarana, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar.
Dalam pengajaran atau proses belajar mengajar guru memegang peran sebagai
sutradara sekaligus aktor. Artinya, pada gurulah tugas dan tanggung jawab
merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah. Guru sebagai tenaga
profesional harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori
belajar dalam bidang pengajaran, kemampuan memilih dan menerapkan metode
pengajaran yang efektif dan efisien, kemampuan melibatkan siswa berpartisipasi
aktif, dan kemampuan membuat suasana belajar yang menunjang tercapainya tujuan
pendidikan.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai
peranan yang penting dalam dunia pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran
bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Siswa menghargai dan membanggakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa Negara, (2)
Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan,
dan keadaan, (3) Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan
sosial. (4) Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan
menulis), (5) Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa, (6) Siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia .
Untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia , pengajarannya dilakukan
sejak dini, yakni mulai dari sekolah dasar yang nantinya digunakan sebagai
landasan untuk jenjang yang lebih lanjut. Pembelajaran bahasa Indonesia ini diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia . Penguasaan bahasa Indonesia
yang baik dapat diketahui dari standar kompetensi yang meliputi, membaca,
menulis, berbicara, dan mendengarkan (menyimak).
KURIKULUM
didesain sebagai pedoman atau garis besar bagi guru untuk membelajarkan siswa.
Kurikulum seyogianya peka terhadap tantangan zaman agar siswa mampu menari
mengikuti irama musik zaman. Sebagai perbandingan, peluncuran Sputnik oleh Uni
Soviet pada tahun 1957 dianggap sebuah ancaman bagi AS. Maka kurikulum di
review untuk mengimbangi kemajuan teknologi Uni Soviet. Sekolah-sekolah
menekankan matematika, sains, bahasa asing, dan mata-mata pelajaran yang
terkait dengan pertahanan.
Sesuai dengan
filsafat yang dianut Dewey (1859-1952), sekolah mesti mencetak siswa sebagai warga
negara yang demokratik, berpikir bebas dan cerdas. Progresivisme sebagaimana
dikembangkan oleh Dewey menghormati perorangan, sains, dan menerima perubahan
sesuai dengan perkembangan. Aliran ini mendorong sekolah untuk mengembangkaan
kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa.
Bagi Dewey, ilmu
pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan mengaplikasikan
pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan baru. Pendidikan dengan
demikian adalah rekonstruksi pengalaman. Untuk memecahkan problem, ia
mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Sadari
problem yang ada; (2) Definisikan peroblem itu; (3) Ajukan sejumlah hipotesis
untuk memecahkannya; (4) Uji telik konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat
pengalaman silam; (5) Alami; dan (6) Uji coba solusi yang paling memungkinkan.
Para pendidik
pengikut aliran Dewey sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya
dalam lima hal: (1) guru yang otoriter, (2) metode yang terlampau mengandalkan
buku teks, (3) pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, (4) filsafat empat
tembok, yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan (5) hukuman
badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
Bila pada era
tahun 1960-an AS mendapat ancaman dari Uni Soviet, adakah ancaman yang kurang
lebih sama bagi Indonesia
sekarang ini? Mestinya ada, namun mungkin mayoritas bangsa Indonesia tidak menyadari esensi-dan
sesungguhnya ancaman--yang dikatakan Huntington
lewat bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1997)
bahwa kultur Eropa akan menjadi kultur universal di muka bumi.
Dengan melihat
tantangan global, khususnya imperialisme kultural sebagaimana dibentangkan oleh
Huntington, kurikulum bahasa Indonesia, khususnya, mesti didesain untuk
menjawab tantangan imperialisme kultural tersebut. Guru bahasa seyogianya
tampil di lini terdepan sebagai pendekar kebudayaan. Mereka ditantang untuk
memiliki kompetensi profesional.
Peran guru
bahasa dalam pendidikan sangat mendasar dengan melihat tiga prinsip yaitu: (1)
bahasa adalah media pembelajaran segala mata pelajaran di sekolah, (2) bahasa
adalah alat berpikir, dan (3) bahasa adalah alat komunikasi. Bukankah
pendidikan diniati untuk meningkatkan kualitas berpikir, dan untuk menyiapkan
siswa agar mampu bersosialisasi dan berkomunikasi secara fungsional dalam
lingkungannya? Penguasaan bahasa, dengan demikian, merupakan dasar bagi
pendidikan sebagai proses maupun pendidikan sebagai hasil.
Sekadar
perbandingan, mereka yang memilih profesi guru bahasa (Inggris) di AS adalah
mereka yang gila baca dan gila tulis. Lewat pendidikan guru, mereka dibekali
pemahaman bagaimana berbagai kelompok siswa belajar baca-tulis dan metodologi
pengajarannya. Dengan kata lain, guru bahasa seyogianya memiliki kompetensi
profesional di atas rata-rata. Mereka harus mampu menulis.
Mengapa sastra?
Kedua, karya
sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan
masalah pribadi dan lewat sastra pembaca belajar bagaimana orang lain menyikapi
semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang
seyogianya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan.
Keempat, berbeda
dengan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis), sastra
dalam dirinya ada isi, yakni nilai-nilai dan interpretasi kehidupan. Sastra
jauh lebih mantap daripada buku teks untuk mengembangkan keterampilan berbahasa
karena, antara lain, dalam sastra fokus utama pada makna bukan pada
keterampilan berbahasa atau kosakata yang cenderung terisolasi dan tidak
konstekstual.
Kelima, melalui
sastra siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang
mengkoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan
pengalaman personal dan kolektif. Dengan kata lain, siswa diterjunkan langsung
ke dalam dunia nyata lewat rekayasa imajiner.
Keenam,
pembiasaan terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan naratif atau narrative
intelligence, yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan memproduksi
narasi. Sastra menawarkan ragam
struktur cerita, tema, dan gaya penulisan dari para penulis. Dengan narasi
dimaksudkan sejumlah teks seperti fiksi, biografi, autobiografi, memoar, dan
esai historis atau materi faktual lainnya.
Ketujuh, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan pengajaran tata bahasa, pengajaran sastra lebih
berkontribusi terhadap kemampuan menulis. Dengan membaca sastra, siswa dengan
sendirinya-tanpa disadari--akan mengenal tata bahasa. Selain itu, apresiasi
terhadap berbagai karya sastra meninggalkan pada benak siswa model-model karya
sastra yang dapat dijadikan contoh dalam mengarang. Siswa belajar mengarang
lewat praktik mengarang. Kegiatan saling baca (peer editing) dan menulis sejumlah
draf karangan (multiple drafting) sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas
karangan dan untuk membangun paguyuban pembaca-penulis.
Dengan alasan-alasan di atas, guru sesungguhnya
dapat menggunakan karya sastra sebagai basis bagi pengajaran bahasa. Berikut
ini dijelaskan sejumlah konsep, teknik, dan kegiatan belajar-mengajar yang
dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum Bahasa Indonesia dari SD sampai SMA.
Pertama, tema atau topik dipilih oleh guru dan
siswa. Sebuah tema sastra akan bermakna manakala tema itu dipilih bersama-sama.
Setelah beberapa tema diselesaikan, akan diketahui adanya minat khusus siswa
yang bisa dijadikan tema studi mandiri (independent reading) atas bimbingan
guru. Pembelajaran literasi seyogianya menjunjung kepemilikan (ownership) pada
pihak siswa atas seleksi dan panduan guru.
Kedua, diskusi berbasis topik. Diskusi sastra
dimaksudkan untuk membiasakan siswa melakukan sintesis ihwal materi sastra dan
membuka wawasan untuk bacaan selanjutnya, mungkin dengan melakukan penelitian
di perpustakaan. Setelah beberapa diskusi kecil, siswa dibiasakan melakukan
diskusi besar (diskusi kelas).
Ketiga, pengalaman sastra. Ini merupakan inti dari
pendekatan sastra. Guru membaca beberapa pilihan karya sastra dan
menghubungkannya dengan bacaan-bacaan lainnya-misalnya pelajaran IPA atau
agama--yang terkait dengan tema tertentu. Respons siswa terhadap sastra dapat
berupa respons kognitif atau afektif. Membaca nyaring karya sastra, khususnya
pada kelas-kelas rendah, dapat dilakukan untuk berbagi pengalaman sastra ini.
Keempat, eksplorasi individual terhadap sastra.
Siswa dibiasakan melakukan eksplorasi sastra secara mandiri, misalnya dengan
berkunjung ke perpustakaan. Setiap siswa memiliki koleksi pilihannya untuk
dipajangkan di kelas. Siswa disarankan untuk saling berbagi informasi ihwal
koleksi ini. Koleksi ini membentuk portofolio kelas.
Kelima, memahami perbedaan sudut pandang. Sebagai
gambaran kehidupan masyarakat, karya sastra sering kali menggambarkan sudut
pandang, nilai-nilai sosial yang berbeda, bahkan bertentantangan satu sama
lain. Hal demikian itu seyogianya diakomodasi dalam pengajaran sastra, sehingga
siswa sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat.
Keenam, memahami konvensi penulisan. Lewat karya
sastra siswa mesti dilatih terbiasa dengan konvensi penulisan untuk memahami
pesan bahasa tulis. Hal-hal seperti penulisan cetak miring, cetak tebal,
garis bawah, garis miring, penggunaan tanda baca dan huruf besar seyogianya
diajarkan sejak SD.
Ketujuh,
penggunaan seni kreatif dan ekspresif. Sastra membangkitkan imajinasi yang
dapat disalurkan lewat seni. Siswa dilatih terbiasa mendengar dan memproduksi
bahasa kreatif dan ekspresif. Siswa yang mendapat kesulitan berekspresi kreatif
lewat tulisan mungkin dapat melakukannya lewat media lain seperti seni rupa,
seni pertunjukan, tarian, dan lain sebagainya.
Kedelapan,
penggunaan media. Penggunaan media seperti film, gambar, slide, dan sebagainya
dapat mengembangkan topik bahasan. Siswa seyogianya didorong untuk
mengeksplorasi berbagai media untuk mengapresiasi dan berekspresi diri secara
perorangan atau kolektif.
Kesembilan,
berkisah (story telling). Keterampilan berkisah, khususnya buat anak, sangat
diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi siswa. Ini bukanlah sesuatu yang mewah,
tetapi sering kali diabaikan padahal penting dilakukan. Dalam program
pengajaran sastra, guru bisa saja melatih siswa berkisah ihwal fiksi yang sudah
dibaca di kelas atau bahkan melombakannya pada tingkat kelas atau bahkan
sekolah.
Pengajaran
bahasa Indonesia
berbasis sastra bukan tanpa tantangan. Dalam kurikulum sekolah selama ini,
sastra sering terpinggirkan oleh linguistik, karena dalam pengamatan saya kini
lebih banyak guru yang menguasai linguistik daripada guru yang menguasai
sastra.
Realisasi
pendekatan ini mesti berpedoman pada empat hal, sebagai berikut. Pertama, ada
keseimbangan dalam kategori materi sastra, sehingga hampir semua genre sastra
terwakili, misalnya komedi, epik, lirik, legenda, dan fabel, dan sebagainya. Kedua, kurikulum sastra tidak boleh dibatasi
pada tradisi etnis atau aliran tertentu saja. Karya sastra daerah, nasional,
bahkan asing seyogianya terwakili asalkan karya-karya itu cocok untuk usia
siswa.
Ketiga,
keseimbangan untuk memenuhi kebutuhan dan minat kelompok di satu pihak dan
individu siswa pada piak lain. Guru harus peka terhadap berbagai faktor seperti
usia, pengalaman, perkembangan akademik, cara belajar, dan lingkungan sosial
siswa. Keempat, keseimbangan dalam hal kualitas karya sastra. Pada tahap awal
bisa jadi siswa dibiarkan membaca apa saja yang disukainya, tetapi lambat laun
mereka mesti diperkenalkan kepada karya sastra yang berkualitas, yakni yang
memenuhi empat kriteria yang relatif universal, yaitu adanya (1) kebenaran, (2)
kejujuran, (3) keindahan, dan (4) keabadian
Persoalan utama
yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah
menengah umum (SMU) adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada mata
pelajarah bahasa (Indonesia ).
Persoalan utama ini sudah sering digugat oleh para akademisi sastra dan
sastrawan, misalnya Suminto A Sayuti dan Taufiq Ismail, tapi masih saja
berlangsung seperti itu.
Posisi
pengajaran sastra yang melekat pada pelajaran bahasa Indonesia itu
mengisyaratkan, bahwa pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu
aspek pengajaran bahasa -- aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca,
menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga
masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang ini.
Dengan posisi
melekat pada pelajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan
sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki
apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan
perhatian yang lebih. Karena memang berminat, sang guru akan terdorong untuk
mengajarkan apresiasi sastra secara sungguh-sungguh dan kreatif mencari solusi
atas sempitnya waktu yang tersedia.
Tetapi, jika
sang guru bahasa Indonesia tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki
apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan
dilaksanakan apa adanya sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak
akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan
minat baca siswa terhadap karya sastra. Apalagi, memperkaya materi pelajaran
yang ada.
Dengan hanya
menjadi bagian dari pelajaran bahasa Indonesia ,
maka prestasi siswa dalam pengajaran sastra tidak muncul sebagai nilai (rapor)
tersendiri, tapi hanya menyumbang sedikit (kurang dari 20 persen) pada nilai
bahasa Indonesia .
Akibatnya, para siswa tidak terdorong untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti
dan menguasai pelajaran sastra.
Cukup logis,
jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran
apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan
menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya --
persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca,
menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang
rendah.
Selain itu,
pelajaran bahasa Indonesia juga banyak dibebani semacam 'titipan' pengetahuan
bidang lain, seperti kesehatan, lingkungan, politik, dan budaya, bahkan
transmigrasi, teknologi dan olahraga. Sehingga, yang muncul pada sub-sub judul
buku pelajaran bahasa dan sastra bukan aspek-aspek bahasa dan sastra itu
sendiri, tapi bidang-bidang pengetahuan yang lain.
Lihat saja,
misalnya, buku Bahasa dan Sastra Indonesia
susunan Dra N Sukartinah dkk (CV Thursina, Bandung , 2003). Sub-sub judul yang
dimunculkan pada buku ini 90 persen justru non-sastra dan non-bahasa, yakni
Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Terja, Teknologi, Pendidikan, Pertanian,
Transmigrasi, Lingkungan, Peristiwa, serta Olahraga. Sehingga, sepintas, kita
malah bingung, itu buku pelajaran bahasa atau pengetahuan umum.
Keanehan itu,
selain membuat siswa tidak terkonsentrasi pada masalah bahasa dan sastra, juga
menutup peluang untuk meningkatkan sentuhan materi sastra dalam pengajaran
bahasa. Untuk aspek membaca, mendengarkan dan berbicara, misalnya, bukan
membaca, mendengarkan, dan berbicara dengan materi karya sastra, baik esei,
cerpen, maupun puisi; tetapi dengan materi tentang kesehatan, lingkungan,
teknologi, dan bidang-bidang lain yang tidak ada kaitannya dengan sastra.
Mungkin, hal itu
dilakukan agar pengajaran bahasa dapat diberikan secara menarik dan variatif
topiknya, tapi bisa saja siswa malah bingung, itu pelajaran bahasa atau bukan.
Akibatnya, fokus atau konsentrasi siswa pada pelajaran bahasa dan sastra juga
malah terpecah ke bidang lain, sehingga malah mendangkalkan pelajaran bahasa
dan sastra Indonesia
itu sendiri.
Karena itu,
seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mendesakkan
kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia ,
terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara yang paling tepat
agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.
Dengan pemisahan
seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan
menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai kelulusan siswa. Pemisahan
itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itulah penguasaan bahasa siswa
rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada
usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh
lebih menonjol, termasuk bakat di bidang sastra.
Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari
pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot. Kita tidak tahu kapan
kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh
penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah
sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran
radio yang diterbangkan angin, atau seperti teriakan di tengah padang pasir.
Barangkali diperlukan unjuk rasa besar-besaran oleh para guru sastra dan
sastrawan untuk meloloskan ide pemisahan tersebut menjadi kebijakan pemerintah.
Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran
bahasa, pada akhirnya, sekali lagi, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk
meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung
pada guru bahasa Indonesia. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap
sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap
akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif.
Jika kebanyakan
guru bahasa Indonesia berkarakter seperti itu, maka pengajaran sastra akan
tetap menuai kegagalan demi kegagalan seperti selama ini. Maka, sekali lagi,
tidak ada jalan lain untuk meningkatkan pengajaran apresiasi sastra di SMU
dalam rangka ikut meningkatkan apresiasi sastra masyarakat kecuali memisahkan
pelajaran sastra dari pelajaran bahasa
KEBERHASILAN
seorang guru dalam mengajar ditentukan oleh beberapa faktor, baik faktor
internal maupun eksternal. Faktor
internal terdiri atas motivasi, kepercayaan diri, dan kreativitas guru itu
sendiri. Sedangkan faktor eksternal lebih ditekankan kepada sarana serta iklim
sekolah yang bersangkutan.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba membahas
tentang kreativitas seorang guru dalam mengajar, sebagai asumsi yang dinilai
mampu meningkatkan motivasi belajar siswa.
Kreativitas pada dasarnya merupakan anugerah yang
diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang, yakni berupa kemampuan untuk mencipta
(daya cipta) dan berkreasi. Implementasi dari kreativitas seseorang pun
tidaklah sama, bergantung kepada sejauh mana orang tersebut mau dan mampu
mewujudkan daya ciptanya menjadi sebuah kreasi ataupun karya.
Dalam hal ini pula, seorang guru misalnya harus
mampu mengoptimalkan kreativitasnya, khususnya yang tertuang dalam sebuah
bentuk pembelajaran yang inovatif. Artinya, selain menjadi seorang pendidik,
seorang guru pun harus bisa menjadi seorang kreator.
Sebagai contoh, kreativitas yang bisa diterapkan
oleh seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, adalah dengan
menciptakan sebuah model pembelajaran yang dekat dengan keseharian siswa secara
nyata. Artinya, seorang guru harus mampu menyinergikan pelajaran, dengan
kenyataan yang biasa ditemukan dalam kesehariannya.
Misalnya, dalam pembelajaran apresiasi puisi
(mengingat kapasitas penulis adalah sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia).
Minat siswa terhadap puisi misalnya, diakui atau tidak responsnya pasti akan
berbeda. Artinya, ada siswa yang suka dan ada pula yang tidak.
Tetapi pada sisi lain, hampir keseluruhan siswa
menyukai musik maupun lagu. Kedua hal tersebut apabila dikonvergenkan atau
digabungkan, maka akan menjadi sebuah solusi yang cukup menarik.
Menyiasati
Karena itu, seorang guru sebagai seorang kreator
harus mampu menyiasati kedua hal tersebut. Misalnya, dengan cara mengubah pola
pikir di kalangan siswa tentang mengapresiasikan puisi. Bahwa puisi tidak hanya
bisa dinikmati melalui deklamasi maupun pembacaan, tetapi sebuah puisi bisa
juga dihadirkan dan diapresiasikan. Misalnya dengan cara mengubahnya menjadi
sebuah lantunan lagu. Atau juga apa yang lebih dikenal dengan musikalisasi
puisi.
Dengan cara memusikalisasikan sebuah puisi
misalnya, maka motivasi para siswa dalam belajar mengapresiasi sebuah puisi
menjadi lebih baik. Hal ini terbukti dari respons dan antusiasme siswa dalam
mengapresiasi puisi-puisi lain, yang telah digubah menjadi sebuah musikalisasi
puisi.
Respons mereka pun bermacam-macam, ada yang
mengatakan bahwa dengan dimusikalisasikan mengapresiasi (menemukan tema, irama,
dan amanat) puisi menjadi lebih mudah. Namun ada pula yang mengatakan, dengan
dimusikalisasikan perasaannya menjadi lebih peka dan hanyut dalam lantunan
lagu, dan masih banyak lagi respons yang lainnya.
Hal tersebut mengindikasikan, bahwa pembelajaran
yang kreatif dan inovatif, cukup ampuh untuk memotivasi siswa dalam berkarya,
baik dalam hal menulis maupun menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Yang paling
menarik, adalah ketika siswa mendapatkan sesuatu yang baru dan mereka
menyukainya, maka besar kemungkinan motivasi mereka dalam mempelajari hal yang
lainnya akan terus meningkat.
Karena itu, apa
pun bidang studi yang digelutinya dan bagaimanapun pelajaran tersebut
disampaikan, maka kreativitas serta aktivitas kita sebagai seorang guru, harus
mampu menjadi inspirasi bagi para siwanya. Sehingga siswa akan lebih terpacu
motivasinya untuk belajar, berkarya, dan berkreasi. Karena pembelajaran yang
berhasil adalah pembelajaran yang terealisasi dalam keseharian siswa itu
sendiri dengan baik.***
0 komentar:
Posting Komentar