Jumat, 05 Desember 2008

KEARIFAN LOKAL DI NUSA PENIDA


Kehidupan dan kebudayaan masyarakat antara daerah yang satu dengan lainnya tidak mungkin sama. Selalu saja ada perbedaan dan cirri khas dari masing-masing kelompok. Keragaman etnik tentu saja akan memperkaya khasanah kebudayaan bangsa.

Bahasa, sebagai hasil budaya, mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dari bahasa yang disampaikan kita bisa melihat sejauh mana kebudayaan dan peradaban suatu keompok sosial atau etnik masyarakat.

Masyarakat Bali sangat terkenal karena kebudayaannya dan nilai-nilai adiluhung yang membangunnya. Salah satu nilai dasar yang membangun keharomonisan dan budaya masyarakat Bali adalah Mulat Sarira (Introspeksi diri/ merenung).

Ada beberapa ujaran yang mendukung nilai dasar Mulat Sarira.

Misalnya ketika seorang anak berbicara kepada ibunya mengenai rencananya yang ingin liburan ke Denpasar dalam rangka menyaksikan Pesta Kesenian Bali (PKB). Si anak sangat ngotot bahwa ia harus berangkat, sedangkan ibunya hanya bisa menasihati dan memberitahu bagaimana keadaan mereka. Berikut adalah ujaran yang digunakan.

Ketut : mè, kole lakar melali ke Badung nah?

Meme : ngelah pipis ide?

Ketut : ndok.

Meme : èngkènang de ke Badung?

Ketut : mèmè bang kole ngidèh.

Meme : jape jemak?

Dari kutipan ujaran di atas, kita bisa melihat percakapan dua orang, antra ibu dengan anaknya. Si anak berusaha berangkat ke Denpasar dan meminta uang kepada ibunya. Namun karena ibunya tidak memiliki uang, maka si ibu hanya mengatakan jape jemak? (dimana ambil?). penggunaan ujaran ini mengisyaratkan agar anak tahu diri. Si anak diharapkan mau melihat bagaimana kehidupan mereka. Jangan hanya mengikuti keinginan sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya dan kehidupan ekonomi keluarganya.

Ungkapan senada maknanya dengan nilai dasar Mulat sarira adalah awak sangkur de mabet jamprah (badan kecil jangan bertingkah seperti orang yang besar). Ungkapan ini memberikan kita pelajaran untuk menerima apa yang ada dalam diri dengan penuh keikhlasan dan rendah diri. Jangan pernah merasa seperti orang yang paling berkuasa atau pemberani. Ungkapan ini sarat dengan nilai penghayatan diri, menerima semua kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri. Dia harus instropeksi diri terhadap apa yang telah dia lakukan atau inginkan.

Ketika seorang anak berusaha membicarakan keinginan besarnya untuk dapat melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran pada ibunya. Si anak rupanya tidak bisa memahami keadaannya yang serba pas-pasan. Ibunya berusaha menasihati dan memberitahukan bagaimana keadaan mereka. Berikut ujaran yang digunakan.

Wayan : mè, kole lakar ngelanjutin kuliah di Fakultas Kedokteran nah?

Mèmè : yan, jape jemak pis?

Wayan : pokoknè kole harus masuk ditu! Amen ndok masukin de kole ditu, kole ndok nyak masuk.

Mèmè : yan, ingetang ibé. Awak sangkur, de mabet jamprah.

Dari contoh percakapan tersebut, kita bisa melihat bagaimana si ibu berusaha mengingatkan anaknya yang memiliki keinginan yang sangat tinggi. Si anak tidak memikirkan antara keinginannya dengan kenyataan yang dihadapinya. Ujaran japé jémak pis dan awak sangkur de mabet jamprah merupakan sebuah ujaran yang bertujuan untuk mengingatkan si anak untuk mau introspeksi diri dan menyadari sebatas mana kemampuannya dan keluarga.kol

Ungkapan senada yang ada dalam masyarakat Nusa Penida adalah ingetang metilsang rage (ingat sadar akan kemampuan/diri). Ungkapan ini mengisyaratkan agar kita sebagai manusia selalu ingat akan apa yang kita miliki. Jangan pernah lupa akan kodrat yang telah kita terima. Ingetang metilsang rage juga bisa kita maknai sebagai ajaran moral tentang baigaimana belajar rendah diri, tidak merasa bahwa kita adalah orang yang paling berkuasa. Kita dituntut untuk menyadari sebatas mana kemampuan kita.

Selain itu, masyarakat Bali jugs memiliki konsep Tri Hita Karana, yang artinya tiga penyebabab kebahagiaan. Salah satu penyebab tersebut yaitu Pawogan, yaitu hubungan yang harmonis antar manusia. Nilai keharmonisan menjadi nilai dasar masyarakat Bali untuk tetap eksis dan menjaga keberagamannya.

Dalam bahasa bali kita mengenal sebuah ungkapan Edé ngadèn awak bisa, dépang anakè ngadanin (jangan merasa diri pintar, biar saja orang lain yang memberikan penilaiaan) yang mendukung atau menunjang konsep keharmonisan. Secara sederhana ungkapan ini memiliki pengertian agar kita sebgai manusia jangan sombong. Karena apapun yang kita miliki tidak ada yang sempurna. Bisa kita perhatikan ilustrasi berikut.

Dewik : gèk,aji kude maan ulangan matematika?

Gek : maan 90, paling gedéne di kelas.

Dewik : oh, tapi Dian maan nilai 100.

Gek : apah….

Selain itu, kita masih sering mendengar sebuah ungkapan di duur langit masih ada langit (di atas langit masih ada langit). Secara harfiah, kita memang mengetahui bahwa lapisan bumi ini tersusun dari beberapa lapisan. Namun kita tidak bisa menyamakan banyaknya jumlah lapisan bumi dengan kehidupan. Ungkapan tersebut mengandung sebuah pesan yang adi luhung. Sebuah pesan moaral dalam menjalani kehidupan.. kita hendaknya tidak merasa sombong atas apa yang kita peroleh. Semua keberhasilan yang telah kita peroleh selama ini belum ada apa-apanya. Masih banyak orang lain yang melebihi kesuksesan atau kepintaran kita.

Ada juga ungkapan panjak nambet (masyarakat bodoh), sebuah ungkapan yang sangat lazim digunakan untuk merendahkan diri sehingga orang tidak merasa tersinggung. Sebuah ungkapan yang sarat pesan moral dalam menjalani kehidupan. Bagaimana seharusnya bertingkah laku di masyarakat. Biasanya ungkaan panjak nambet digunakan ketika seorag masyarakat biasa berbicara dengan pejabat, dengan harapan pejabat atau orang penting yang diajak berbicara tidak tersinggung. Ungkapan panjak nambet juga biasa digunakan ketika seseorang merasa melakukan kekeliruan di sebuah tempat yang dianggap atau diyakini di tempat tersebut ada zat yang melebihi kemampuan manusia.

Untuk merendahkan diri, masayarakat Nusa Penida juga lazim menggunakan ungkapan tiang belog (maaf saya bodoh). kalau kita cermati ungkapan ini sarat dengan nilai sopan santun. Nilai-nilai yang sudah hampir terkikis dari kebudayaan masyarakat. Karena kecendrungannya sekarang, orang yang memiliki pengetahuan sedikit merasa sebagai orang yang paling pintar. Ungkapan ini menyiratkan pengertian bahwa kita sebagai manusia harus selalu rendah diri. Menerima kelebihan yang kita miliki dengan syukur dan keihlasan tanpan perlu merasa bahwa diri yang paling pintar.

Dewa : gus, jape gaèn de tugas fisika te?

Agus : di buku latihante

Dewa : ngude kènè jawaban de

Agus : èmang èngkèn Déwa?

Dewa : salah to.

Agus : nah, tiang belog

Pada ujaran di atas, kita melihat bagaimana ungkapan ting belog di gunakan untuk merendahkan diri. Ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan hubungan antar teman. Ketika seseorang merasa apa yang dilakukan kurag berkenan dengan apa yang diinginkan orang lain, maka ungkapan ini digunakan. Sangat penting adanya rasa rendah diri, agar keharmonisan bisa tercipta dan tumbuh subur.

Ungkapan senada maknanya dengan edé ngadèn awak bisa adalah awak sangkur de mabet jamprah (badan kecil jangan bertigkah seperti orang yang besar). Ungkapan ini memberikan kita pelajaran untuk menerima apa yang ada dalam diri dengan penuh keikhlasan dan rendah diri. Jangan pernah merasa seperti orang yang paling berkuasa atau pemberani. Ungkapan ini biasanya diartikan sebagai sebuah sindiran. Orang yang diberikan ungkapan ini harusnya merasa tersindir. Dia harus instropeksi diri terhadap apa yang telah dia lakukan atau inginkan. Kita bisa melihat secara diteil dalam contoh percakapan berikut.

Wayan : mè, kole lakar ngelanjutin kuliah di Fakultas Kedokteran nah?

Mèmè : yan, jape jemak pis?

Wayan : pokoknè kole harus masuk ditu! Amen ndok masukin de kole ditu, kole ndok nyak masuk.

Mèmè : yan, ingetang ibé. Awak sangkur, de mabet jamprah.

Dari contoh percakapan tersebut, kita bisa melihat bagaimana meme berusa mengingatkan anaknya yang memiliki keinginan yang sangat tinggi. Si anak tidak memikirkan antara keinginannya dengan kenyataan yang dihadapinya.

Ungkapan senada yang ada dalam masyarakat Nusa penida adalah ingetang metilesang rage (ingat sadar akan kemampuan/diri). Ungkapan ini mengisyaratkan agar kita sebagai manusia selalu ingat akan apa yang kita miliki. Jangan pernah lupa akan kodrat yang telah kita terima. Ingetang metilesang rage juga bisa kita maknai sebagai ajaran moral tentang baigaimana belajar rendah diri, tidak merasa bahwa kita adalah orang yang paling berkuasa. Kita dituntut untuk menyadari sebatas mana kemampuan kita.

Ungkapan bisa tejadi dalam bergabai konteks. Misalnya ketika seorang siswa berbicara kepada gurunya mengenai keinginannya untuk menjadi juara kelas. Sedangkan guru sudah mengetahui bagaimana karakteristik anak didiknya. Dia anak yang malas dan susah dinasihati. Ungkapan ini akan diguanakan oleh guru untuk mengingatkan anak supaya mau sadar dengan kemampuannya dan mau merubah sikap sehingga keinginannya bisa tercapai.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators